Martinus Joko Lelono Pastor Katolik dan Pengajar Kajian Agama dan Dialog di Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma

Obituari Daniel Dhakidae: Pemberi Wacana yang Hidup

3 min read

Indonesia kehilangan seorang cerdik cendekia dalam diri Daniel Dhakidae jurnalis, mantan kepala Litbang Kompas, sekaligus seorang akademisiyang menghadap Sang Khalik pada 6 April 2021. Kepergiannya meninggalkan duka, tetapi pada saat yang sama kepergiannya menghidupkan kembali mimpi memiliki generasi kritis di negeri ini. Seperti

Sebagai seorang akademisi, ia pernah mendapatkan penghargaan dari Lauriston Sharp Prize dari Southeast Asian Program Cornell University. Penghargaan tersebut diberikan atas disertasinya yang berjudul “The State, the Rise of Capital, and the Fall of Political Journalism, Political Economy of Indonesian News Industry” karena dianggap memberi sumbangan besar bagi perkembangan ilmu di bidang tersebut.

Jika Sokrates di masa kejayaan filsafat Yunani pernah mengatakan “satu-satunya kebijaksanaan adalah mengetahui bahwa anda tidak mengetahui sesuatu;” juga pernah mengatakan hal yang menurut saya esensiya tidak terlalu jauh berbeda.

Biarkan setiap teks bertempur dengan teks lain, bergabung dengan teks lain dan dalam bergabung membuang teks lain lagi – kalau tidak untuk menunjukkan sekurang-kurangnya membongkar kenyataan yang lebih sering diterima sebagai mitos dengan menganyam fiksi dari satu ujung ke ujung lainnya.” (Daniel Dhakidae: Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru, xxxvi).

Dari sini, kita diajaknya untuk belajar tentang pentingnya perang wacana di dalam pergulatan intelektual.

Suatu Ketika, seorang teman mengatakan kepada saya, “Ilmu dan agama memiliki titik perbedaan. Sementara agama kalau terus menerus berubah akan ditertawakan orang, sebaliknya ilmu pengetahuan kalau tidak berubah dan berkembang akan dicemooh sebagai ilmu yang basi dan ketinggalan zaman.”

Lebih lanjut, teman saya ini menegaskan bahwa maksudnya adalah seperti ini; dalam arus masyarakat Indonesia yang sedang berkembang dalam keinginan untuk mencapai kemajuan, agama tetap penting sebagai dasar moral dan tindakan, tetapi tak kalah penting sumbangan ilmu pengetahuan supaya hidup bersama tidak membeku oleh karena dominasi oleh karena pihak-pihak tertentu.

Baca Juga  Alif dan Mim (5): Tangis Bahagia, Tangis Duka Datang Bersama

Pergulatan Seorang Intelektual

Membincang tentang pergulatan intelektual, tentu orang akan diingatkan kepada tokoh George Wilhelm Friedrich Hegel yang memperkenalkan dialektika sebagai sarana untuk berpikir kritis. Dialektika ini mengandaikan adanya tesis atau pernyataan umum yang selalu siap untuk dipertentangkan dengan anti-tesis sebagai wacana tandingan sehingga siap melahirkan tesis yang baru yang disebut sebagai sintesis.

Sintesis ini pada saatnya akan menjadi tesis baru yang akan dipertentangkan dengan antithesis. Demikian seterusnya sehingga pergulatan intelektual menjadi proses pencarian terus menerus. 

Rasa-rasanya semangat inilah yang dihidupi oleh Daniel Dhakidae dalam pergulatannya sebagai seorang intelektual. Selain sebagai Kepala Litbang Kompas, dia juga dikenal sebagai sebagai inisiator terbitnya kembali jurnal pemikiran Sosial Ekonomi Prisma sekaligus menjadi pemimpin redaksi (2009) dan merangkap sebagai Pemimpin umum (2011).

Pada tahun 1982-1984, dia menjadi Wakil Direktur Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES).  Selain itu, ia dikenal pula di kalangan aktivis lintas iman, terutama dalam keterlibatannya di dalam pendirian Institute Dialog Iman di Indonesia (Insitut DIAN) atau dikenal juga dengan nama Interfidei (Institue for Inter-Faith Dialogue in Indonesia) yang didirikan pada 20 Desember 1991.

Bersama dengan alm. Dr. Th. Sumartana, Alm. Pdt. Eka Darmaputra, Ph. D, alm. Zulkifly Lubis, dan alm. Dr. Djohan Effendi, Daniel Dhakidae menawarkan sebuah forum yang menawarkan pemikiran keagaman dan konsep keyakinan di tengah dinamika keberagaman di Indonesia supaya menjadi hal yang bisa mempertemukan satu dengan yang lain.

Belum lagi kita mengenalnya sebagai salah satu pendiri dan penggagas Yayasan Tifa, sebuah organisasi yang mempromosikan terwujudnya masyarakat yang terbuka dengan kerjasama di bidang isu-isu strategis antar berbagai organisasi sipil di Indonesia, baik itu di tingkat lokal maupun nasional. 

Baca Juga  Kesadaran Ekologis Ormas NU dan Jejak Fatwa-Fatwa Ekologis dalam Menjaga Lingkungan Hidup

Melihat betapa kayanya pemikiran dan ruang lingkup pemikiran dan perhatian Daniel, kita melihat sebuah contoh nyata seorang pribadi yang rindu akan munculnya masyarakat kritis. Ia menawarkan wacana yang hidup.

Hal ini kentara dalam pembacaannya tentang buku “Imagined Communities, karya Benedict Anderson yang diterima sebagai pembenaran atas nasionalisme di Indonesia oleh beberapa kalangan.

Dengan keras, Daniel Dhakidae mengatakan, “Meski Buku ini diterima dengan penuh gairah oleh kalangan mudanya, masih bisa dirasakan adanya keguncangan dalam kalangan politisi, wartawan dan kaum cendekiawan Indonesia pada umumnya. Karena, buku ini, pada dasarnya, mengguncang kepercayaan penuh dan keyakinan yang tak terusik pada nasionalisme sebagai sebentuk ‘mantra’ yang bukan saja harus akan tetapi pasti mempersatukan bangsa ini, terlepas apa pun yang terjadi di ‘bawah’.” 

Dengan cara ini, Daniel menunjukkan bahwa nasionalisme kalau tidak hati-hati bisa menjadi mantra yang melegalkan penjajahan atas masyarakat minor yang harus menerimanya sebagai harga mati. Dengan cara yang sama pula, ia mencoba untuk menawarkan sebuah ragam dialog nasionalisme yang memungkinkan terjaminnya keadilan di bumi yang bernaung dalam nasionalisme Indonesia ini.

Lagi-lagi, si pemikir ini menawarkan wacana baru sehingga tidak membeku kepada ‘dominasi’ yang diterima sebagai kebenaran padahal menyengsarakan sebagian orang. 

Selamat Jalan

Pilihan hidup sebagai intelektual ini menjadi penting terutama di era media sosial yang membiarkan orang hidup berdasarkan perasaan-perasaan sesaat atau ikatan-ikatan primordial. Daniel Dhakidae melampaui semua bentuk sumbu pendek itu untuk mendapatkan makna yang lebih dalam dan membagikannya kepada khalayak.

Di era post-truth ini, intelektual memang sedang dipertentangkan dengan berbagai bentuk argumen sentimentil yang terkadang tak masuk akal, namun lebih mudah diterima oleh masyarakat. Di sinilah peran intelektual dan mereka yang bernalar kritis menjadi penting.

Baca Juga  Beribadah Itu Harus Ikhlas

Negeri ini tak pernah kehabisan generasi baru cerdik-cendekia sampai hari ini, tetapi perlu diwaspada kemungkinan jika di masa depan negeri ini hanya melahirkan orang-orang yang berpikir kaku karena lupa menggunakan nalar kritisnya. 

Selamat jalan Pak Daniel! Terima kasih atas kisah hidup yang baik sebagai seorang intelektual yang terus berjuang menjaga nalar kritis masyarakat Indonesia. Adalah sebuah anugerah bahwa negeri ini pernah melahirkan seorang intelektual besar dalam diri Anda.

Tentu tiap pribadi harus menziarahi kehidupannya masing-masing. Semoga semakin banyak penerus di negeri ini yang setia menziarahi jalan sunyi cendekia yang telah Engkau setiai hingga akhir nafas. [AA]

Martinus Joko Lelono Pastor Katolik dan Pengajar Kajian Agama dan Dialog di Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma