Said Hoedaini Pemimpin Redaksi TV9 dan Penikmat Sastra

Alif dan Mim (5): Tangis Bahagia, Tangis Duka Datang Bersama

2 min read

Ruang auditorium itu sudah penuh. Wisudawan dan wisudawati duduk tertib menunggu prosesi utama dengan dada penuh debar. Ini momen mahapenting yang mereka tunggu sejak mula terdaftar sebagai mahasiswa. Para orang tua mahasiswa juga tak kalah girangnya. Melihat putra putri mereka dengan seluruh rasa bangga. Inilah buah dari doa dan segala ikhtiar. Tidak sia-sia perjuangan dan pengorbanan membanting tulang demi bisa membiayai anak di sekolah tinggi. Tidaklah mubazir memeras otak dan keringat demi meraih cita-cita mengantar anak hingga lulus sarjana.

Di antara 865 mahasiswa yang diwisuda hari itu, Mim duduk di deretan tengah. Di barisan terdepan ada para lulusan terbaik tiap-tiap fakultas. Para bintang yang akan mendapat kehormatan diwisuda dan dikukuhkan langsung oleh rektor. Menyusul di belakangnya para wisudawan program doktor dan magister. Setelah itu baru para wisudawan program sarjana.

Mim beberapa kali menengok ke atas dan ke belakang, mencari posisi duduk bapaknya. Tapi tak ketemu. Beberapa saat lagi namanya akan dipanggil. akan dikukuhkan sebagai sarjana. Ia ingin memastikan bapaknya tidak melewatkan momen sakral itu. Dalam hati Mim berdoa agar bapaknya baik-baik saja di tempat duduk yang entah di mana. Semoga tidak sedang terjebak antre di toilet karena kebelet pipis dan akhirnya terlambat kembali ke ruangan. Semoga juga bapaknya tidak tergoda keluar ruangan untuk merokok, karena sedari pagi sudah dipenjara di ruangan wisuda yang bebas asap rokok.

Di sudut yang lain, Pak Dullah tak tenang duduk di kursi. Ia seperti gelisah sendiri sejak pembawa acara meminta para wisudawan dari Fakultas Dakwah untuk bersiap. Kata Mim, kalau nama fakultas itu sudah disebutkan, itu tandanya tidak lama lagi ia akan maju ke depan dan Pak Dullah harus melihat.

Baca Juga  Covid-19 Menyadarkan Cinta Kasih Seorang Istri

Berkali-kali Pak Dullah menangkupkan kedua telapak tangan seperti orang hendak meminta maaf, lalu meletakkannya di atas dada. Begitu hingga beberapa kali.

Ia langsung mengusap kedua mata dengan tangannya. Tangisnya pecah saat nama itu disebut. Hamimah Latifah. Putrinya.

__________________

Dengan cara apapun kau akan kujaga. Sekuat jiwa ragaku kau akan kulindungi, Nak. Pak Dullah masih diserang bergelombang-gelombang rasa haru Mim, anak gadis semata wayangnya. Buah cinta yang ia jaga dan rawat sendiri semenjak istrinya meninggal. Anak yang ia sayang hingga ruas belulang.

“Kamu harus pintar dan jadi sarjana. Agar hidupmu tidak susah,” begitu selalu pesan Pak Dullah setiap kali Mim berpamitan berangkat sekolah. Mim yang tak terlampau mengerti mengangguk dan iya iya saja. Sampai akhirnya dia masuk SMP. Mulai mengerti dan tahu bahwa bapaknya bisa melakukan apa saja demi menjadikan Mim sebagai sarjana.

“Bapak akan lakukan apa saja agar kamu bisa sekolah tinggi. Apa saja!”

Ya. Apa saja. Mim pernah melihat bapaknya melompat bangun dari ranjang, lalu setengah berlari menuju sawah saat di luar hujan turun deras. Itu habis Magrib. Dan beberapa jam sebelumnya Pak Dullah meringkuk di kamar karena demam. “Saat hujan deras, irigasi di sawah harus dibereskan. Kalau sawah terendam, SPP sekolahmu dibayar pakai apa?”

Di waktu yang lain, Mim juga pernah menyaksikan suatu pagi bapaknya menggadaikan arloji kesayangannya. Itu setelah malam harinya Mim bercerita kalau ada beberapa buku pelajaran baru yang harus dibeli. Teman-temannya di sekolah sudah punya, Mim sendiri yang belum. Tak sampai dua hari kemudian buku-buku itu sudah terbeli dan ada di meja belajar Mim. Dan sejak hari itu pula Mim tidak pernah melihat jam tangan bapaknya kembali. Tentu masih banyak lagi peristiwa serupa yang Mim tidak tahu dan memang sengaja disembunyikan Pak Dullah.

Baca Juga  Cerpen: Pak Guru Budi dan Pemuda Harapan Bangsa

Dengan berhasil lulus menjadi sarjana, Mim paling tidak telah membayar satu utang kebahagiaan bagi bapaknya. Air matanya menetes. Selintas ia membayangkan wajah ibunya.

__________________

Di luar auditorium suasana sangat ramai. Para wisudawan, orang tua, dan handai taulan berkumpul. Bercampur dengan para tukang foto yang berkeliling menawarkan jasa.

Mim menghambur ke pelukan bapaknya. Menangis.

Pak Dullah menepuk-nepuk punggung putrinya. Mengirim pesan sayang, haru, dan bangga yang jadi satu, lewat jemari tangannya yang menepuk pelan. Putri kecil yang dulu ia besarkan kini sudah dewasa.

Suasana haru itu dibuyarkan tiba-tiba oleh kehadiran beberapa teman kampus Mim yang sengaja datang untuk mengucapkan selamat. Mim yang semula menangis mendadak berubah cerah ceria menyambut kehadiran teman-temannya. Mereka saling peluk. Cium pipi kanan pipi kiri. Dan tidak lupa cekrak cekrek foto di sudut-sudut terbaik sekitar auditorium. Sesekali Pak Dullah juga ikut berfoto bersama sahabat-sahabat anak gadisnya. Semua larut dalam kegembiraan yang sama.

__________________

Semua larut dalam kegembiraan yang sama? Iya.

Ah bisa iya bisa tidak.

Sejak malam sebelum wisuda Mim menunggu seseorang yang berjanji akan datang di acara wisudanya. Ia menunggu kabar. Menunggu kepastian. Tapi yang ditunggu seperti tidak tahu. Mim berandai-andai, kalau berangkat dari Jogja malam hari, tentu habis Subuh sudah bisa sampai Surabaya.

Tapi, hingga Mim dan bapaknya meninggalkan auditorium tempat wisuda, yang ditunggu tak menampakkan batang hidungnya. Bahkan tak memberi kabar apa-apa.

Mim berjanji tidak akan menangis untuk urusan ini. Ia tidak mau merusak kebahagiaannya sendiri. Kebahagiaan bapaknya. Kebahagiaan atas doa-doa yang sudah dikabulkan.

Tidak menahan diri untuk tidak menangis.

Tapi nyatanya ia tidak bisa.

Baca Juga  Nasihat-nasihat Dokter kepada Pasien [1]

Kalau kalian ingin bertanya bagaimana sesaknya dada yang menanggung bahagia dan sedih menjadi satu, bertanyalah kepada Mim. Ia sungguh-sungguh merasakannya hari itu. Bersambung… (AA)

Said Hoedaini Pemimpin Redaksi TV9 dan Penikmat Sastra

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *