Bagi penikmat kajian keislaman, nama Abū Hāmid al-Ghazālī (w. 1111 M) bukanlah sosok yang asing. Teramat banyak sumbangan pemikiran al-Ghazālī sehingga susah mengabaikan sosoknya dalam diskursus islamic studies. Al-Ghazālī adalah ulama ensiklopedis yang dikenal sebagai bukti kebenaran Islam (hujjat al-Islām).
Sebagai teolog Islam, peran al-Ghazālī dalam mempertahankan akidah Ahlussunnah sangat signifikan. Banyak karya ilmiahnya yang merupakan produk pemikiran teologisnya yang menjadi sumbangan penting dalam khazanah Islam. Misalnya, buku Fayshal al-Tafriqah Bayn al-Islām wa al-Zandaqah, al-Iqtisād fī al-I’tiqād, Kitab al-Arba’īn fī Ushūl al-Dīn dan lainnya.
Dalam bukunya Fayshal al-Tafriqah Bayn al-Islām wa al-Zandaqah, al-Ghazālī membuat tiga kategori umum non-Muslim: (1) Non-Muslim yang tidak pernah mendengar dakwah Nabi Muhammad saw.; (2) Non-Muslim yang menolak dan mengingkari risalah Islam setelah mengalami perjumpaan dengan Islam yang benar; dan (3) Non-Muslim yang hanya mendengar hal-hal negatif tentang Nabi dan Islam (hlm. 84).
Selanjutnya, al-Ghazālī juga menyebut satu jenis non-Muslim lainnya dalam buku tersebut. Yaitu, mereka orang-orang non-Muslim yang mencari kebenaran Islam dengan tulus. Mereka ini, berbeda dengan non-Muslim yang kaum “pencela” dan sentimen terhadap Islam.
Meskipun mereka ini sudah berjumpa dengan risalah Islam yang benar, namun mereka tetap berada di luar (Islam). Mereka pun terus mau belajar Islam dan tidak enggan mencari tahu lebih dalam tentang klaim kenabian Muhammad. Sayangnya, mereka mati sebelum mendapatkan hidayah dari-Nya. (hlm. 87).
Bagi al-Ghazālī, non-Muslim jenis kedua saja yang kelak disiksa di neraka selama-lamanya. Yakni, non-Muslim yang telah mendapatkan informasi risalah Islam secara benar dan dakwah Islam telah sampai kepadanya. Dan. mereka ini justru menolaknya. Bahkan, mereka mengingkari kebenaran Islam itu sendiri.
Lebih jauh lagi, mereka juga terkadang memerangi, membenci dan menghalangi dakwah Islam. Golongan ini, menurut al-Ghazālī yang kelak mendapat balasan setimpal atas kekafirannya dan sikap sentimennya terhadap Islam.
Sementara itu, jenis non-Muslim lainnya, menurut al-Ghazālī, bahwa mereka “ada” kemungkinan untuk dimaafkan Allah. Misalnya, non-Muslim jenis pertama yang tidak menerima dakwah Nabi Muhammad tergolong ahl al-fatrah. Golongan ini kelak tidak disiksa di akhirat karena tidak sampainya dakwah Islam kepada mereka (QS. al-Isrā [17]: 15).
Sama halnya, non-Muslim yang menerima informasi Islam dalam bentuk negatif, atau dakwah Islam yang terdistorsi, juga dikategorikan golongan yang dimaafkan. Golongan ini, tidak mendapatkan dakwah Islam yang benar sehingga menurut al-Ghazali tergolong orang-orang non-Muslim jenis pertama ahl al-fatrah. Demikian halnya, ketegori terakhir kemungkinan dimaafkan jika meninggal sebelum mendapatkan hidayah.
Memahami klasifikasi ini tentu tidak sesederhana yang dibayangkan. Hidup di era digital seperti sekarang, tentu saja tidak sama dengan hidup di zaman al-Ghazali. Non-Muslim di era sekarang bisa dengan mudah mengakses informasi dan dakwah Islam dengan valid dan benar. Oleh karena itu, masih relevankah klasifikasi ini?
Pada akhirnya, minimal dengan membaca buku al-Ghazālī ini, kita bisa belajar untuk bersikap lebih rendah hati dalam menilai iman orang lain, sesama umat manusia. Karena pada ujungnya, “hanya minoritas kecil non-Muslim” yang menghuni neraka selama-lamanya, karena Kasih Sayang Tuhan lebih luas dari Murka-Nya, sebagaimana disampaikan al-Ghazālī. [MZ]