Senata Adi Prasetia Alumni UIN Sunan Ampel Surabaya, saat ini aktif di Center for Research and Islamic Studies (CRIS) Foundation

Kajian Tafsir: Makna Kata “Permusuhan” dalam Alquran

2 min read

Diksi keindahan bahasa Al-Qur’an selalu menarik untuk dikaji. Sebagai kalam Ilahi, Allah swt tidak akan pernah salah apalagi tertukar dalam menempatkan diksi-diksi tertentu sebab memiliki fungsi dan peran masing-masing dalam konteks dan tujuannya.

Misalnya, diksi kata “permusuhan” yang dituturkan oleh Al-Qur’an dengan redaksi أَعْدَاءُ.  Ibn Abi Bakar al-Razi dalam Mukhtar al-Shihah menjelaskan lafadz ini merupakan bentuk jamak dari ‘aduww عدو)), bermakna musuh, lawan daripada wali dan teman.

Kitab al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam memaparkan lafadz tersebut memunculkan derivasi kata al-‘adi dalam bentuk mudzakkar dan al-‘adiyah sebagai muannats-nya, yang bermakna “orang yang melanggar, yang menganiaya, yang merampas hak milik orang lain.” Selain itu, muncul lafadz al-a’da’ yang bermakna melampaui batas kezaliman atau kesibukan yang memalingkan daripada sesuatu ataupun bermakna jauh.

Derivasi kata permusuhan lainnya adalah al-‘adawah yang berarti permusuhan dan al-‘udwah bermakna tempat yang jauh, tepi lembah atau tempat yang tinggi. Sedangkan al-‘udawa artinya tanah yang kering dan keras. Penyebutan أَعْدَاءُ dalam Al-Qur’an disebutkan sebanyak lima kali, yakni dalam Q.S. ‘Ali Imran [3]: 103, al-A’raf [7]: 150, Fussilat [41]: 19 dan 28, al-Ahqaf [46]: 6, al-Mumtahanah [60]: 2.

Tafsir Redaksi Permusuhan

Al-Zamakhsyari dalam Tafsir al-Kasysyaf menafsirkan kata a’da’ dalam surah Ali Imran ayat 103, “Sesungguhnya ketika zaman kejahilan berlaku antara mereka permusuhan dan peperangan yang berterusan, maka Allah menyatukan hati-hati mereka dengan Islam.”

Ia menandaskan bahwa ayat ini turun sebagai sebuah larangan untuk mengucapkan kata-kata yang menyebabkan bercerai-berai sebagaimana yang terjadi pada masa jahiliyah. Adapun Ibn Katsir dalam Tafsir al-Qur’an al-Adzim menafsirkan a’da’ dalam surah Fussilat ayat 19 dengan pengertian “seorang musyrik.”

Baca Juga  Menjaga Iman di Tengah Wabah

Al-Thabari dalam Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil ay al-Qur’an juga menerangkan bahwa yang dimaksud dalam ayat ini adalah orang musyrik karena mereka adalah musuh-musuh Allah. Sedangkan dalam surah al-Ahqaf ayat 6, beliau menafsirkan lafadz a’da  (bermusuhan) dalam ayat ini menunjukkan keadaan tuhan-tuhan berhala itu kepada penyembahnya. Karena ketika manusia dikumpulkan pada hari kiamat untuk dihisab, maka tuhan-tuhan yang mereka jadikan sesembahan di dunia beralih memusuhi mereka, dan tuhan-tuhan itu akan melepaskan diri dari mereka.

Al-Asfahani dalam al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an mengemukakan bahwa kata ‘ada mempunyai beberapa makna di antaranya Pertama, sebagai ekspresi keadaan yang berseberangan dengan hati, misalnya tidak sesuai dengan fitrah yang dimiliki manusia, maka disebut al-‘adawah dan al-mu’adah (permusuhan). Kata ‘adawah dapat dimaknai sebagai permusuhan di mana dapat menjauhkan serta menutup hati dan pikiran dalam bertindak. Juga dapat dipahami bahwa permusuhan menyalahi fitrah kemanusiaan.

Kedua, menggambarkan perbuatan atau tindakan yang menyimpang dari norma yang seharusnya, maka disebutlah al’adwu (lari).

Ketiga, pengekspresian sesuatu yang merusak keadilan terutama dalam hal muamalah, misal perampasan hak milik orang lain, penindasan, dan seterusnya maka disebut al-‘udwan dan al’adwu (aniaya, zalim).

Keempat, bermakna penyakit atau segala sesuatu yang menyebabkan kerusakan dan keburukan, disebut sebagai ‘adwa.

Wahbah al-Zuhaili dalam Tafsir al-Munir menafsiri kata ‘aduww sebagai musuh dan antonim daripada kata shadiq (teman). Dalam surah al-Baqarah, ia menafsiri kata tersebut dengan beberapa penafsiran, yaitu setan, bapak Nabi Ibrahim (karena meninggal dalam keadaan kafir), orang-orang yang ingkar kepada wahyu Allah dan mendustakan kerasulan Nabi, istri yang mendurhakai dan melalaikan suaminya serta orang-orang kafir yang menjadi musuh umat Islam tatkala perang tabuk.

Baca Juga  [Resensi Buku] Memotret Wajah Wahhabi yang Sebenarnya

Islam sebagai Agama Nirpermusuhan

Semenjak awal kemunculannya, Islam menjadi solusi atas kebuntuan peradaban yang amoral sekaligus sarana menyatukan puing-puing elemen masyarakat yang saling berserakan dan terpecah belah.

Sebagaimana perkataan Sayyid Muhammad al-Maliki dalam Manhaj al-Salaf fi Fahmi al-Nushush baina al-Nadhariyyah wa al-Tathbiq, Islam datang untuk mengajak umat manusia agar saling mencintai dan menyayangi serta membendung segala perbuatan yang dapat menyebabkan perpecahan dan permusuhan. Bahkan beliau menegaskan bercerai-berai merupakan sebab dari segala fitnah dan musibah serta kebodohan.

Akhirnya, saya kira permusuhan bermanfaat sama sekali tidak akan memberikan dalam hidup kita.  Sebalikya, memafkan justru mendatanganbanyak kemanfaan dan tentu lebh mulia. Memaafkan tak akan menghinakan diri, begitu pula tak meruntuhkan harga diri, justru saling memaafkan membuat diri kita mulia. Semoga kita termasuk golongan orang-orang yang saling memaafkan dan mendapat ridha-Nya. Wallahu A’lam (AA)

Senata Adi Prasetia Alumni UIN Sunan Ampel Surabaya, saat ini aktif di Center for Research and Islamic Studies (CRIS) Foundation

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *