Banyak negara meyakini, bahwa cara paling efektif memutus sebaran covid-19 adalah dengan melakukan gerakan social distancing atau physical distancing. Yakni langkah pencegahan dengan mengurangi atau bahkan menghindari kontak sosial dan kontak fisik.
Dampaknya adalah dilarangnya acara-acara yang melibatkan massa dalam jumlah besar. Tentu acara-acara keagamaan masuk di dalamnya. Misalnya salat Jum’at dan jama’ah di masjid pada lokasi tertentu harus ditiadakan dan diganti dengan ibadah di rumah.
Respon umat Islam pun beraneka rupa. Sebagian menerima dengan keyakinan bahwa hal tersebut demi kemaslahatan, ada yang menolak diam-diam, tapi tetap patuh. Namun juga ada yang secara esktrem menolak dan melakukan gerakan-gerakan penolakan dengan nyata.
Kelompok ini, kerap menyatakan bahwa pelarangan acara keagamaan seperti salat jamaah dan salat Jum’at adalah bentuk kekurangpercayaan kepada kuasa Allah SWT. Bahkan adapula yang menyatakan bahwa ini adalah upaya menjauhkan manusia dari agamanya. Pendapat sedemikian itu, bisa berasal dari jama’ah dan bahkan pengurus masjid sendiri.
Ironinya, diantara pengurus masjid itu bahkan ada yang hendak merobohkan masjidnya sebagai bentuk protes, karena merasa larangan itu sebagai bentuk upaya “mengkerdilkan” masjid.
Sebenarnya, ajakan untuk salat di rumah sendiri bukan lah hal yang baru dalam tradisi Islam. Hal sama pernah dilakukan pada zaman sahabat bahkan juga pada zaman Rasulullah. Seerti yang terekam jelas pada hadis-hadis riwayat Bukhari dan Muslim.
Diriwayatkan bahwa Ibnu Umar pada malam yang dingin memerintahkan muazinnya untuk mengumandangkan azan dengan redaksi “Salatlah kalian di rumah kalian.” Ibnu Umar menyatakan bahwa Rasulullah juga pernah berbuat hal yang sama pada malam dingin atau ketika hujan.
Pun demikian sebaliknya, penolakan atas anjuran salat di rumah juga pernah dicatat dalam sejarah. Sahabat Abdullah Ibnu Abbas, seperti yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dalam masing-masing hadisnya adalah sosok yang pernah mengalami kejadian tidak menyenangkan karena menyarankan salat di rumah.
Diriwayatkan oleh Bukhari dalam sebuah jamaah Jum’at ketika muazin mengumandangkan azan dan sampai pada bagian hayya ‘ala shalah. Ibnu Abbas memerintahkan muazin itu mengumandangkan, “Salatlah kalian di rumah.” Mendengar itu maka beberapa orang saling pandang, seakan-akan mereka mengingkari apa yang dilakukan oleh Ibnu Abbas.
Ibnu Abbas yang menyaksikan itu kemudian berkata, “Sepertinya kalian mengingkari apa yang kuperbuat. Sesungguhnya hal ini pernah dilakukan oleh orang yang lebih mulia dariku (yakni Rasulullah). Sesungguhnya salat Jum’at ini wajib, tapi aku tak ingin kalian keluar rumah untuk salat sedangkan kalian berjalan di tanah yang becek.”
Dari segi sanad, hadis ini diriwayatkan oleh Bukhari dari jalur Muhammad bin Ismail yang dalam pandangan Ibnu Hajar Al-Asqalaniy merupakan orang yang hafalannya kuat, bahkan imam dalam fiqh al-hadis.
Beliau mendapatkan hadis ini dari gurunya Abdullah bin Abdul Wahab, yang dinilai oleh Ibnu Hajar sebagai seorang yang tsiqah. Selanjutnya beliau mendapatkan hadis ini dari Hammad bin Zaid bin Dirham, atau yang dijuluki Al-Azraq. Tentang Al-Azraq ini Ibnu Hajar berkomentar bahwa ia adalah sebagai seorang yang tsiqah dan faqih. Komentar itu diamini oleh Al-Ijliy.
Tentang Hammad bin Zaid atau Al-Azraq ini dalam kitab Tahdzibul Kamal diterangkan adalah sosok tunanetra, namun hafalan hadisnya luar biasa. Sedangkan Al-Azraq mengambil riwayatnya dari Abdul Hamid bin Dinar yang dalam kitab Al-Taqrib, Ibnu Hajar memujinya sebagai seorang yang tsiqah.
Selanjutnya hadis disandarkan pada Abdullah bin Al-Harits Al-Anshari yang meriwayatkan langsung dari Abdullah bin Abbas. Ibnu Abbas ini adalah keponakan Rasulullah, bergelar turjuman al-Qur’an kefahamannya pada tafsir atau ta’wil Al-Qur’an. Sehingga pendapatnya kerap jadi rujukan di kitab-kitab tafsir. Beliau adalah putra dari pamanda beliau Al-Abbas yang namanya masyhur di langit dan di bumi. Melihat ini, kiranya secara sanad hadis ini tidak mengandung masalah.
Kembali pada kejadian-kejadian di lapangan. Takmir-takmir masjid kita hari ini, juga mengalami kondisi seperti hadis Ibnu Abbas tersebut. Ada yang dicemooh dan ditentang jamaahnya serupa orang-orang yang menentang Ibnu Abbas.
Adapula yang berposisi bak umat yang menentang Ibnu Abbas. Hal tersebut tak lepas dari perspektif pemahaman keagamaan dan pandangannya atas maslahah umat Islam sendiri. Namun patut direnungkan, jika karena di masjid terdapat penularan virus secara massif dan berakibat fatal. Maka, kita akan menjadikan masjid sebagai “tertuduh” atas sebaran virus.
Bahwa jika terjadi sebaran virus di masjid, maka kita ikut serta melemahkan agama dan umat Islam. Karena jelas umat Islam-lah yang berada di masjid, sedangkan umat yang penyakitan jelas bukan umat yang kuat menegakkan agamanya. Wallahu a’lam. (AA)