Dalam sudut bayangan seseorang tersebut terdapat kata lupa, yang membuta terhadap dirinya. Bahkan orang berpikir tentang bagaimana ia bisa kemana-mana masih perlu dipertanyakan. Sebagai “perantau” bisa dikatakan, dirinya pergi ke satu tempat ke tampat lainnya.
Wajahnya mulai keriput dan juga rambut nan hitamnya mulai beruban membuat wajahnya bila dipandang layaknya seperti orang yang telah lama menelan rasa sepah pengalaman hidup. Bahkan, keilmuan tentang agama dan juga sosial budaya setempat ia tahu betul. Maklum ia adalah pengembara dari muda. Sekarang pun masih sama, tetap tenang hidup tanpa berdampingan dengan sosok wanita.
“Nur” Suara seseorang memanggilnya. “Pesenan lemari Pak Huda sudah selesai ya? besok kamu kirim sama Edi ya.” Perintahnya.
Pak Nur, begitulah ia biasa dipanggil oleh masyarakat sekitar. Dia sudah bekerja sebagai pengrajin kayu di pulau garam Madura.
Sebelum bekerja ditempat yang sekarang, pak Nur merantau di pulau seberang, Bali. Sebuah pulau dengan mayoritas pengikut agama Hindu. Sebuah pulau seribu pura, yang pasti dapat dilihat pada setiap halaman rumah penduduk di sana. Dengan kata lain ia tahu betul bahwa Madura dan Bali memiliki kesamaan dan juga perbedaan yang mencolok dari pengalamannya tersebut.
“Enggih, Bah.” Jawabnya dengan berusaha meniru logat Madura kepada Abah Takim, mandor dan juga sekaligus pemilik pengusaha kerajinan kayu tempatnya ia bekerja. Pak Nur merasa sangat nyaman saat bekerja dengannya. Keramahan orang Madura ia rasakan. Sebelumnya ia mengira bahwa orang Madura adalah orang yang memiliki pribadi keras dengan ciri khas budaya caroknya yang mengerikan.
Tapi setelah lama bekerja, prasangka itu pun berubah 360 derajat. Ia melihat bahwa orang Madura memiliki sifat toleran bagi sesama. Bahkan setiap orang dianggap saudara. Tanpa memandang dirinya atau dirimu keturunan siapa. Dan, ia pun menjadi sangat kagum pada budaya toleransi yang ada di Madura.
Pak Nur adalah seorang Jawa tulen. Sebagai orang Jawa memang harus disadari bahwa keadaan di Jawa dan di Madura sangat berbeda sekali.
Setelah lama bekerja di tempat pak Takim, pak Nur pun sangat fasih berbahasa Madura, seakan-akan ia adalah seorang yang lahir dan besar di tempat ini. Maklum saja, dirinya setiap hari ia terbiasa berkomunikasi dengan Bahasa Madura, apalagi ia juga tak pernah kembali ketanah asalnya. Bahkan, budaya Madura pun telah melekat dengan dirinya.
Pak Nur adalah sosok pria yang relijius. Meskipun ia seorang pekerja keras tapi ia tak akan meninggalkan salat bahkan tak ada kata telat dalam persoalan ibadah.
Pak Nur selalu memperhatikan sekelilingnya. Ia menganggap ada persamaan di Madura dan juga Bali, yaitu: setiap rumah memiliki tempat ibadah masing-masing. Di Madura setiap rumah pasti dibagun tempat salat tersendiri yang dinamakan “Langger” (langgar/musola). Sedangkan di Bali, setiap halaman rumah pasti dibangun Pura kecil untuk tempat bersemayam beribadah kepada Tuhan.
***
“Hei Nur kau tak kawin kah? umurmu sudah hampir 40 tahun loh”. Tanya Abah Takim kepada pak Nur. Namun, pak Nur terlihat biasa saja. Hanya nampak wajah yang datar yang terpantul bila dilihat pada cermin kelopak mata. Seperti Ia sudah biasa mendapat lontaran pertanyaan seperti itu.
“Enggak, Bah. Masih belum punya keinginan.” Sahut pak Nur dengan datar.
“Loh, memang “heddeh terro” (kamu mau) membujang selamanya tah?Apa disini wanitanya kurang cantik-cantik ?Apa kau ingin aku jodohkan dengan Sulasti, wanita desa sebelah itu?” Tanya Abah Takim yang heran sambil menggoda pak Nur.
“Lah, mboten-mboten, Bah.” Jawab pak Nur.
Pak Nur memang sudah tahu tentang Sulasti. Wanita desa sebelah yang terkenal kecantikannya yang menjadi rebutan kaum adam ini. Tetapi Sulasti selalu menolak lamaran siapapun yang ingin meminangnya. Entah mengapa. Meskipun umurnya sudah sudah hampir berkepala tiga. tetapi kecantikannya masih sangat menggoda.
“Hmmm, kamu kok aneh sih, Nur. Yang lain di sini sudah dijodohkan dari kecil, umur muda sudah berani kawin. Lah kamu, enggak nikah-nikah.”
“Nur… Aku tanya kamu, ya! Kamu pernah jatuh cinta enggak sama perempuan. Masa kamu enggak pernah jatuh cinta sama sekali sama perempuan?”
Pertanyaan Abah Takim membuat pak Nur teringat masa lalunya, saat ia jatuh cinta pada sosok perempuan beragama hindu di Bali. Kadek Revi namanya. Perempuan manis yang bisa meluluhkan hati pak Nur.
“Pernah, Bah.” Jawabnya datar. namun sejurus kemudian diwajahnya terlihat sendu.
“Sudahlah, Bah. wanita itu hanya masa lalu. Kini ia sudah punya suami pasti sekarang.”
Terlihat tragis memang saat dua hati yang saling mencintai terhalang oleh tembok raksasa keyakinan yang berbeda. Antara cinta atau mempertahankan keyakinan.
Mungkin itu yang terasa dalam kisah pak Nur yang terkena nestapa.
“Lah, terus kau tak ada niat kawin kah?” Tanya abah Takim sekali lagi.
“Masih belum Bah.”
“Saya ingin merasa seperti Rabiatul Adawiyah, bah. Tak akan menduakan cinta-Nya kepada Tuhan”. Jawab Pak Nur dengan santai. Terlihat wajah terdiam tak tahu mengapa, Abah Takim mematung kagum seribu bahasa kepada sosok yang ada didepannya.
“Pasti suatu saat kau kawin Nur.”
“Itu hanya Tuhan saja yang tahu, Bah.” Sahut Pak Nur. [AA]