Di Madura, pada umumnya pernikahan dilakukan atas dasar perjodohan. Anak-anak dari keluarga masyarakat Madura sebagian besar dijodohkan oleh orang tua mereka. Hal ini sudah menjadi budaya dan tradisi yang dianggap lumrah di kalangan masyarakat Madura. Tradisi tersebut dikenal dengan istilah abhekalan, yakni proses mengikat dua orang berlainan jenis (remaja, bahkan anak-anak: perjodohan dini) dalam sebuah ikatan yang mirip dengan tunangan (Zubari: 2013).
Dalam keluarga masyarakat Madura, banyak yang melakukan perjodohan tersebut pada anak usia dini yang lazimnya kedua pasangan anak tersebut berusia sebanding. Yang menarik, tidak jarang pula mereka menjodohkan putra-putrinya ketika mereka masih berada dalam kandungan atau saat baru dilahirkan.
Fenomena perjodohan dini semacam ini merupakan kebiasaan turun-temurun. Saking lamanya kebiasaan ini berjalan, masyarakat Madura menjadikannya sebagai bentuk tradisi yang wajib dan patut diikuti oleh setiap anak. Anak atau remaja yang tidak mengikuti tradisi ini akan mendapatkan sanksi sosial, karena mereka bertindak di luar norma, aturan dan tatakrama yang berlaku.
Dalam pandangan Islam, perjodohan dini ini menurut saya sama sekali bukanlah sebuah hal yang melanggar ajaran agama, karena memang tidak ada dalil, baik Alquran atau pun hadis, yang mengatur tentang usia perjodohan atau usia perkawinan. Hal ini seakan menjadi tantangan tersendiri bagi dai dalam memberikan pemahaman yang bijak kepada masyarakat tentang dibolehkannya perjodohan dini ini.
Seorang dai dalam menjalankan misinya hendaklah melihat secara proporsional dalam mengemban amanahnya menata aktivitas penyebaran dakwah agama secara lebih komprehensif. Melihat keadaan masyarakat setempat dengan tidak memaksakan kehendak. Dai di sini haruslah memperhatikan kearifan sosial dan mampu mengelola konflik yang ada menjadi “social energy” bagi pemenuhan kepentingan bersama.
Terkait dengan tradisi abhekalan ini, umumnya dalam menjodohkan putra-putri mereka, para orang tua meminta izin atau saran kepada kiai terlebih dahulu.
Sependek pengetahuan saya dan berdasarakan hasil interaksi dengan beberapa dai atau kiai, mereka memaknai tradisi perjodohan dini ini (abhekalan) sebagai sebuah i’tikad baik. Artinya, sebagai sebuah usaha untuk memenuhi kebutuhan faktor-faktor penyebab dilakukannya perjodohan dini. Diketahui bahwa ada beragam faktor yang menyebabkan terjadinya perjodohan dini di masyarakat Pamekasan dan Sumenep, yakni faktor nasabiyah dan persahabatan, faktor kekhawatiran akan pergaulan negatif, faktor khawatir tidak mendapatkan jodoh, dan fakto kepemilikan.
Secara garis besar, para dai mempersepsikan bahwa masyarakat Pamekasan dan Sumenep yang melakukan perjodohan dini adalah masyarakat yang sama-sama memiliki kecenderungan yang sama. Yakni, sama-sama memiliki kekhawatiran dan sama-sama ingin melindungi anak dan keluarga, baik yang muncul dari faktor nasabiyah atau kekerabatan, faktor kekhawatiran akan pergaulan negatif, faktor kekhawatiran tidak mendapatkan jodoh, maupun faktor kepemilikan.
Faktor-faktor di atas memiliki tujuan di antaranya adalah: pertama, agar hubungan kekeluargaan tetap terjalin, tidak putus dan tidak jauh, serta harta yang dimiliki keluarga tidak jatuh kepada orang lain; kedua, agar anak ada yang memantau sehingga tidak terjerumus kepada pergaulan negatif; ketiga, agar anak terikat dan masyarakat lain mengetahui bahwa anak tersebut sudah memiliki pasangan (jodoh) sehingga nantinya dapat mencegah orang lain mengganggu atau mendekatinya.
Selain itu, para dai Madura juga mengatakan bahwa perjodohan dini di Madura akan bernilai dakwah apabila dilaksanakan sesuai dengan tuntunan Islam di satu sisi, dan menimbang berbagai kemaslahatan dakwah dalam setiap langkahnya, pada sisi yang lain.
Dalam memilih jodoh, dipikirkan kriteria pasangan hidup yang bernilai optimal bagi dakwah. Dalam menentukan siapa calon jodoh tersebut, para orang tua umumnya mempertimbangkan soal kemaslahatan secara lebih luas. Kemaslahatan ini, misalnya, terkait apakah perjodohan tersebut dapat memberikan dampak yang optimal bagi dakwah, ataukah sekedar mendapatkan kemaslahatan bagi dirinya sendiri.
Nilai-nilai dakwah atau ajaran Islam dalam prakteknya berpengaruh terhadap tradisi perjodohan dini. Pengaruh tersebut lebih kepada pergaulan anak perempuan dan laki-laki agar di dalam bergaul tidak melanggar ajaran agama Islam; yaitu larangan mendekati zina.
Para dai Pamekasan dan Sumenep percaya bahwa pengaruh nilai-nilai ajaran agama tersebut memberikan batasan-batasan pergaulan pada lain jenis yang belum memiliki hubungan seperti tunangan (khithbah) atau menikah.
Langkah tersebut memberikan nilai positif atau nilai dakwah bagi masyarakat karena dengan menjodohkan putra-putrinya di usia dini telah menjunjung moral pergaulan di masyarakat. Dakwah dalam perjodohan dini di sini adalah upaya untuk meminimalisir pelanggaran ajaran islam yaitu yang terkait dengan larangan mendekati zina. [AA]