Deny Kurniawan seorang aktivis disabilitas tunanetra di Kabupaten Pasuruan pernah dituduh melakukan kemaksiatan, yakni saat dirinya menginisiasi dan memfasilitasi teman-teman tunanetra untuk mendapatkan pendamping yang membantu dalam aktivitas sosial, belajar, hingga urusan pekerjaan. Seperti contoh, pendamping laki-laki dengan tunanetra perempuan atau sebaliknya, boleh saling menyentuh saat menuntun, meski bukan mahram.
Ketika mendengarkan pernyataan itu, lebih-lebih Deny, kita juga telah mempertanyakan bagaimana hukum atas inisiasi dan fasilitasi yang dilakukan tersebut. Penulis menjadi sangat emosional: sedih, marah, dan prihatin. Betapa sempit dan dangkalnya pemahaman seseorang yang melontarkan tuduhan di atas.
Bagi penulis, tentu usaha yang dilakukan oleh Deny adalah sebuah kemuliaan. Bahkan, semestinya, bukan Deny yang melakukan inisiasi dan fasilitasi disabilitas dalam mendapatkan seseorang yang bersedia menjadi pendamping disabilitas tunanetra.
Perihal hukum fikih atas sentuhan antara pendamping dalam membantu disabilitas, tentu saja hal itu diperbolehkan, bukan kemaksiatan. Dalam buku Fiqih Penguatan Penyandang Disabilitas (2018) yang diterbitkan oleh Lembaga Bahtsul Masail (LBM) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dijelaskan, persentuhan antara pendamping lawan jenis dalam membantu penyandang disabilitas disamakan dengan hukum orang berobat kepada dokter yang lawan jenis.
Belajar dari pengalaman di atas, menjadi sebuah kebutuhan mendesak untuk menyampaikan materi keagamaan yang berhubungan dengan disabilitas. Untuk referensi utamanya, penulis merekomendasikan buku Fiqih Penguatan Penyandang Disabilitas yang telah disebutkan. Selain karena buku itu bersumber dari hasil Bahtsul Masail, file bukunya mudah diakses. Cukup dengan ketik judul bukunya di Google, sudah bisa langsung diunduh.
Berbekal buku tersebut, seorang khotib salat Jumat, misalnya, dapat menyampaikan materi tentang pandangan Islam terhadap disabilitas, tentang kisah Nabi Muhammad bersama sahabat Abdullah ibn Umi Maktum yang menyandang disabilitas, kisah-kisah ulama dan tokoh disabilitas yang sukses.
Di buku tersebut juga terdapat ulasan hukum dan tanggung jawab kita terhadap penyandang disabilitas yang terlantar, hukum orang tua yang mengucilkan anak sebab disabilitas, hukum melecehkan penyandang disabilitas dengan perlakuan tidak manusiawi, dosa tindakan kejahatan terhadap penyandang disabilitas, hingga hukum menggunakan fasilitas penyandang disabilitas bagi nondisabilitas.
Kemudian bagi penceramah dalam kegiatan pernikahan, misalnya, dapat menambahkan penjelasan mulai dari bagaimana hukum atas tindakan istri yang meninggalkan suami karena menjadi penyandang disabilitas sebab kecelakaan, proses akad nikah bagi penyandang disabilitas, hingga hukum membuka, membalik, dan menulis Al-Qur’an dengan kaki bagi disabilitas daksa yang tidak memiliki tangan.
Adapun untuk materi keagamaan yang berhubungan dengan disabilitas melalui materi Pendidikan Agama Islam (PAI) di sekolah/madrasah, para guru dapat berfokus dengan menambahkan materi mengenai cara bersuci bagi disabilitas netra, salat Jumat bagi disabilitas rungu, menjamak salat dengan alasan aksesibilitas, hukum wudu bagi disabilitas daksa, serta pengetahuan gerakan imam bagi disabilitas rungu dan netra.
Tentu saja, penyampaian materi keagamaan yang berhubungan dengan disabilitas dapat pula disampaikan dalam kegiatan majelis taklim, pengajian umum, dan acara-acara keagamaan lainnya. [AR]