
Beberapa waktu yang lalu, viral informasi perihal banyaknya anak yang mengalami Kehamilan Tak Direncanakan (KTD) dan permohonan dispensasi Pernikahan Usia Anak (PUA) di Ponorogo, Jawa Timur. Tahun 2022, Pengadilan Agama (PA) Ponorogo mengabulkan 125 permohonan anak untuk menikah dengan alasannya hamil hingga sudah melahirkan.
Bila dibandingkan dengan data dari PA Kabupaten Malang yang mengabulkan permohonan dispensasi PUA sebanyak 1.393 perkara dan PA Jember yang menangani 1.364 perkara dari 2.728 permohonan di tahun 2022, tentu di Ponorogo sangat sedikit.
Tetapi, dalam urusan PUA, angka-angka itu perlu dibaca secara kualitatif dengan mempertimbangkan dampaknya. Hemat penulis, sedikit atau banyak dari perkara PUA harus diperhatian dan dicegah. Mengingat, dampak PUA dapat meluas dan mengakibatkan problem sosial lainnya. Seperti Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), hilangnya hak-hak anak, perceraian, dan lain-lain.
Perihal KTD di usia anak, ini menunjukkan lemahnya pendidikan seks dalam dunia pendidikan anak di Indonesia. Hal ini diamini juga oleh Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Jawa Timur Dr dr Hasto Wardoyo SpOG (K), bahwa terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan, karena kurangnya pengetahuan tentang seks pada anak remaja Indonesia. (Detik.com, 20 Januari 2023).
Lebih-lebih, pernyataan Plt. Kepala Pusat Kurikulum dan Pembelajaran Kemendikbudristek, Zulfikri Anas (Kumparan.com, 17 Januari 2023), di dalam kementerian pendidikan masih memiliki cukup pertimbangan untuk menggunakan istilah pendidikan seks. Mengingat istilah itu masih dianggap tabu oleh kebanyakan masyarakat. Sehingga, akan lebih menfokuskan pada pendidikan tentang pergaulan yang sehat dan menghindari perilaku asusila.
Oleh karena itu, untuk menghindari dan meminimalisir kejadian di atas perlu dilakukan beberapa hal.
Pertama. Penyusunan konsep dan implementasi pendidikan seks di sekolah. Dalam kurikulum merdeka, dapat dilakukan melalui kegiatan Kokurikuler, Ekstrakurikuler, dan Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila, terutama pada tema Bangunlah Jiwa dan Raganya. Dengan istilah Pendidikan Seks. Bila tidak demikian, pembelajaran tentang seks yang masih dianggap tabu oleh masyarakat itu akhirnya memicu keingintahuan anak-anak yang hanya terfasilitasi untuk mempelajarinya melalui internet, tanpa ada pendampingan secara terbuka dan pasrtisipatif.
Kedua. Mendorong adanya topik di pendidikan agama, dakwah agama, hingga pengajian atau kajian rutin keagamaan yang membahas tentang larangan atas Perkawinan Usia Anak (PUA) dan nikah sirri. Dalam Islam, topik-topik itu sudah muncul dari para tokoh agama yang mengarusutamakan pemahaman keagamaan yang substantif dan kontekstual. Dengan harapan, terjadi praktik interlegalitas antara hukum agama, budaya, dan Negara yang sinergis dan sesuai dengan kebutuhan zaman dan dapat menciptakan kemaslahatan bersama.
Bagaimana ketika terjadi perzinahan? Bagaimana ketika pernikahan anak itu berkaitan dengan persoalan pemahaman orang tua hingga persoalan ekonomi keluarga? Bagaimana ketika sudah terjadi Kehamilan Tak Direncanakan (KTD)? Itu menjadi beberapa pertanyaan yang mendukung betapa penting dan dibutuhkannya pengarusutamaan topik pendidikan seks di dalam pendidikan agama.
Dosen ITSNU Pasuruan