Menjadi Presiden ke-4 Republik Indonesia bukanlah impian KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Konon Gus Dur pernah bercita-cita menjadi TNI. Selain itu kondisi perpolitikan selama Orde Baru juga menutup peluang bagi sipil menduduki kepemimpinan nasional. Dimana kepemimpinan baik regional mapun nasional lebih banyak dijabat oleh militer.
Akan tetapi suratan takdir justru berkata lain. Reformasi bergulir. Orde Baru tumbang. Presiden Soeharto lengser digantikan BJ Habibie. Indonesia diterpa multikrisis. Krisis moral. Ekonomi terpuruk. Stabilitas keamanan dan politik goncang. Kerusuhan demi kerusuhan dan Konflik antar masyarakat meningkat. Persatuan dan kesatuan retak. Disintegrasi mengancam keutuhan bangsa. Timor Timur merdeka. Aceh dan Papua bergolak. Indonesia diambang kehancuran. Ibarat penyakit Bangsa Indonesia mengidap komplikasi. Ibarat kanker Indonesia masuk stadium empat. Disaat-saat seperti inilah Gus Dur dilantik menjadi presiden RI keempat, menggantikan B. J. Habibie, 20 Oktober 1999.
Bagi Gus Dur menjadi presiden adalah panggilan nurani sebagai anak bangsa. Kesediaan Gus Dur menjadi presiden merupakan tanda cinta kepada bangsa Indonesia. Bukankkah mencintai tanah air adalah sebagian (pertanda) dari keimanan seorang?
Selain itu, bagi Gus Dur kekuasaan dan jabatan hanya wasilah semata untuk mengabdi pada Sang Khalik. Kekuasaan bukan tujuan utama melainkan hanya alat belaka untuk berjuang menyelamatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKR) dari kehancuran dan keterpurukan. Dimana Kekuasaan harus diorientasikan untuk mewujudkan kemaslahatan umum, kesejahteraan rakyat Indonesia. Kaidah ushul Fiqh (filsafat hokum islam) mengajari Gus Dur bahwa : “tindakan atau kebijakan seorang pemimpin atas rakyat (yang dipimpin) sepenuhnya tergantung kepada kebutuhan atau kesejahteraan mereka (tasharruf al imam ‘ala al-ra’iyyah manuthum bi al-maslahah).
Hal utama yang menjadi perhatian dan prioritas Gus Dur bekerja adalah bagaimana menjaga keutuhan NKR ini. Bagaimana menyelesaikan konflik tanpa harus ada pertumpahan darah. Sehingga tidak ada lagi wilayah yang memisahkan diri dari NKRI seperti Timor Timur. Jangan sampai Aceh dan Papua serta wilayah lainnya terus bergejolak dan mereka ikut-ikutan menuntut merdeka dan memisahkan diri dari Indonesia. Indonesia harus tetap utuh menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana cita-cita para pendiri bangsa (founding fathers).
Dimata Gus Dur Indonesia sebagai Negara Kesatuan berdasarkan Pancasila merupakan consensus bersama yang harus diperjuangkan dan dijaga. Kedamaian, kesatuan dan persatuan mutlak diperlukan dan diperjuangkan sebagai landasan upaya memajukan pendidikan, ekonomi, budaya, hokum, dan bidang kehidupan yang lain. Hanya dengan perdamaian suatu Negara dan bangsa akan bisa membangun dan mensejahterakan rakyatnya. Tanpa adanya perdamaian mustahil suatu Negara mampu membangun dan mensejahterakan rakyatnya sebagaimana yang bisa dilihat Negara-negara yang sedang dilanda konflik saat ini.
Dimasa pemerintahannya Gus Dur berupaya menyelesaikan konflik dengan pendekatan persuasive untuk menjaga perdamaian dan persatuan demi keutuhan NKRI. Yang pasti Gus Dur mengupayakannya dengan memilih dialog dari hati ke hati demi tercipta solusi perdamaian. Gus Dur berupaya sebisa mungkin menghindari penyelesaian konflik dengan kekerasan. Kekerasan tidak akan menyelesaikan persoalan. Justru kekerasan menambah rumitnya masalah dan sulitnya mencari solusi.
Untuk menjaga keutuhan NKRI yang pertama Gus Dur lakukan adalah berupaya menggalang dukungan tokoh-tokoh dunia. Gus Dur berharap mendapatkan dukungan internasional yang mendukung keutuhan Aceh dan Papua tetap dalam pangkuan NKRI. Maka tidak usah heran bila pada awal pemerintahannya Gus Dur banyak melakukan kunjungan ke luar negeri. Sebab bagaimanapun juga perkembangan politik baik tingkat internasional dan regional akan berpengaruh terhadap gejolak politik dalam negeri Indonesia. Kesadaran inilah yang mengharuskan Gus Dur melakukan lobi-lobi diplomatic terhadap tokoh-tokoh dunia.
Kedua, Gus Dur juga mengupayakan dialog dan diskusi antar aktifis, LSM, dan tokoh-tokoh masyarakat. Keterbukaan dan kebebasan berpendapat dihargai. Diharapkan dialog ini akan membuka masalah yang mendasar yang sedang dipersengketakan. Tentu dialog ini berlandaskan untuk menjaga keutuhan NKRI. Tujuan utamanya dari dialog ini diharapkan muncul solusi yang bisa diterima pihak. Keharusan adanya dialog ini karena Gus Dur memandang konflik fisik tiada berguna, bahkan akan menambah rumitnya masalah.
Gus Dur yakin bila dialog dilandasi dengan ketulusan untuk menyelesaikan masalah akan membawa pada kemaslahatan bersama. Gus Dur menginginkan masing bicara dari hati ke hati sehingga bisa mendinginkan suasana. Dengan demikian solusi akan mudah didapat dan konflik bisa diakhiri.
Meski demikian, di era kepemimpian Gus Dur tidak semua masalah yang melanda bangsa ini bisa teratasi semua. Disamping masa kepemimpinan Gus Dur yang terlalu singkat. Sedangkan permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia sangat kompleks. Untuk mengurai masalah bangsa tentu membutuhkan waktu yang cukup panjang dan tenaga serta kesabaran yang tinggi.
Meski demikian, setidaknya Gus Dur telah mewariskan kepemimpinan yang mampu menjaga keutuhan bangsa Indonesia disaat-saat diterjang badai krisis. Kapal yang bernama Indonesia masih utuh, selamat, tidak hancur berkeping-keping diterjang badai krisis. Tampaknya Gus Dur berpegang pada kaidah ushul Fiqh (filsafat hokum Islam) yang berbunyi : “apa yang tidak terwujud seluruhnya jangan ditinggal yang pokok” (Maa la yudroku kulluhu, lam yuthrak julluhu).
Pada akhirnya Gus Dur hanya mampu bertahan memerintah selama 18 bulan, dari 20 Oktober 1999 hingga 23 Juli 2001. Kemudian Ia melengserkan diri dari jabatan kepresidenan dengan cara menerbitkan dekrit presiden 23 Juli 2001 untuk menghindari terjadinya perang antar anak bangsa.
Selain itu, Gus Dur juga tetap mengikuti ketentuan hokum Islam (fiqh) bahwa seseorang dapat saja diperintahkan meninggalkan rumahnya dalam hal ini Istana Merdeka jika pemerintah setempat memerintahkannya. Pada akhirnya berbekal surat perintah dari pemerintah setempat atau lurah setempat Gus Dur meninggalkan istana kepresidenan. Gus Durpun dengan suka cita kembali kepada ummat dan tetap berjuang untuk Indonesia.
Gus Dur mengakhiri kekuasaannya dengan jalan damai. Meski para pendukungnya siap mempetaruhkan jiwa raga membelanya, Gus Dur tetap memilih jalan damai. Jalan damai dipilih Gus Dur untuk mencapai kemaslahatan ummat. Gus Dur berusaha menghindari kericuhan dengan mengirim pesan kepada para santri, ulama, dan pendukungnya jangan sampai melakukan kekerasan. Jangan sampai terjadi perang antar sesame anak bangsa hanya karena mempertahankan jabatan.
Jalan yang ditempuh Gus Dur ini mengingatkan pada sebuah kaidah Ushul fiqh yang “berbunyi menghindarkan kerusakan atau kerugian diutamakan atas upaya membawa keuntungan atau kebaikan, (dar’u al-mafasid muqaddam ‘ala jalbi al-mashalih).” Dengan demikian pertumpahan darah antar anak bangsa harus dihindarkan daripada mempertahankan jabatan kepresidenan. Jalan damai itulah pilihan Gus Dur.
Bagi Gus Dur kekuasaan dan jabatan itu kecil dibanding dengan nyawa dan keselamatan ummat. Gus Dur menyadari kekuasaan adalah amanah dari Allah. Kekuasaan tidak langgeng. Karena itu, tidak selayaknya membuat tumbal nyawa ummat hanya untuk mempertahankan kekuasaan. Di luar istana Gus Dur bisa lebih dekat menyapa ummat. Rupanya Gus Dur lebih mencintai ummat daripada tahta. Wallahu a’lam. (MMSM)