
Di kalangan masyarakat, seorang waria selalu akan mendapatkan stigma negatif, kemanapun ia pergi selalu ditabrak. Mulai dari ditangkap aparat hingga kesulitan mendapat akses dari hak-hak yang patut diperolehnya seperti beribadah, apalagi diskriminasi dan kekerasan, padahal tidak semua transgender berperilaku buruk.
Tindakan menyamaratakan ini sungguh hal bodoh, seakan-akan kehilangan daya pikir karena mabuk. Meski transgender berbeda dalam sosio-kultural, tapi mereka juga memiliki individu yang bervariasi.
On Friday Noon dapat menjadi contoh kisah waria bernama Wina yang menganggap dirinya masih memiliki kewajiban menunaikan ibadah sholat jum’at, yang pada hakikatnya wajib bagi pria.
Hukum ibadah sholat jum’at bagi waria masih menjadi ikhtilaf dikalangan ulama’ hingga saat ini. Sangat banyak perbedaan perihal hal ini. Sebagian mengatakan wajib karena waria pada dasarnya laki-laki dan sebagian mengatakan tidak yang dalam fikih klasik masuk kategori khuntsa (hermafrodit) lebih jelasnya orang berkelamin ganda. Orang kelamin ganda mengetahui kelaminnya dari cara dia mengeluarkan seni dan dari mana air mani keluar atau membesarnya wilayah disekitar dada. Ada juga yang berpendapat waria masuk kategori mukhannats (pria bersifat wanita).
Hukum ibadah sholat jum’at bagi waria selalu akan dilematis karena berkaitan dengan kelamin. Tapi ada aspek yang lebih penting daripada perdebatan ibadah sholat jum’at, yakni hak mereka mendapatkan akses ibadah.
Kesulitan mendapatkan akses ibadah dapat menjadi akar imoril para waria, dan dengan mendapatkan akses ibadah perlahan-lahan mereka akan meninggalkan dunia seks komersial, mengingat seksualitas adalah sesuatu yang menyangkut persoalan tubuh terkait biologis, sosial, politik dan budaya. Seperti yang telah terjadi di Pesantren Al-Fata Yogyakarta. Pesantren ini hadir dari salah satu inisiasi waria dibantu salah satu kyai pesantren di Jogja, bertujuan sebagai tempat ibadah dan belajar agama. Dengan hadirnya pesantren ini,banyak dari waria yang bekerja sebagai PSK memutuskan berhenti, lalu mengembangkan seni tari di tempat ini dan sebagian membuka bisnis rias.
Dari potret diatas, otoritas agama sebaiknya menyediakan ruang-ruang bimbingan dan konseling bagi kaum yang rentan mendapat stigma dan streotip, salah satunya waria. Merujuk dalam ilmu psikologi, setiap yang dilakukan memiliki motif, yakni dorongan. Menurut Atkinson (dalam Ahmadi, 2000) motif didefenisikan sebagai suatu disposisi laten yang berusaha dengan kuat untuk menuju ke tujuan tertentu, tujuan ini dapat berupa prestasi, afiliasi dan kekuasaan.
Dari awal, Luhki sang sutradara memvisualisasikan kehidupan waria selalu ditabrak dan tak pernah lepas dari cacian meski memiliki tujuan baik. Di awal cerita kita akan diperlihatkan rombongan waria dimobil pick up yang ditangkap Satpol PP, namun karena mobil mogok Wina sebagai tokoh utama berusaha kabur karena dia ingat hari itu adalah hari jum’at. Dengan sikap ngeyelnya Wina terus lari untuk kabur dari kejaran Satpol PP meski tak tahu jalan untuk mencari masjid.
Film ini memberi simbolisme kuat yang mewakili perasaan waria. Lingkungan kering dan gersang yang diperlihatkan sejak awal dapat menjadi metafor emosi Wina bahkan dapat menjadi representasi emosi para waria, sepi karena tak dianggap dan panas karena selalu mendapat masalah sosial, seperti perjalanannya mencari masjid yang penuh cobaan.
Simbolisme yang paling unik di film ini adalah kuburan, yang secara kultural sebagai tempat perisistirahatan terakhir manusia yang sakral. Bahkan Leluhur kita memandang kuburan bukan sekadar gundukan tanah dan tempat menimbun orang mati. Bila kuburan dianggap sepele, tidak mungkin para cendekiawan Jawa masa lampau menelurkan sinonim kuburan lebih dari lima, yakni kramatan, makaman, hastana, pasarean, dan jaratan.
Saya kira penonton juga akan bertanya “mengapa sutradara lebih memilih kuburan sebagai tempat persembunyian Wina saat dikejar Satpol PP, kenapa bukan gubuk”. Mungkin sutradara ingin mengingatkan bahwa dalam Islam kuburan memiliki tiga makna: makna awal atau kelahiran, makna kembali, dan makna kebangkitan. Semua yang dilakukan manusia adalah tanggung jawab masing-masing individu.
Karakter Wina yang diperankan Satrio Haninditho sulit tergoyahkan. Meski tersesat dia terus melangkah untuk menunaikan ibadah apalagi tidak memilik sarung. Secara logika hal ini sedikit tidak masuk akal karena waria sering dianggap menjijikan dalam kehidupan masyarakat. apakah ada yang mau meminjamkan sarung pada waria? apalagi gak kenal.
Tindakan perbedaan diskriminatif antara perempuan dan laki-laki digambarkan dengan lugas dalam film.
Wanita dalam film ini digambarkan masih memiliki empati terahadap transgender meskipun si penjaga warung menganggap aneh seorang tarnsgender berangkat sholat jum’at. Berbeda dengan laki-laki, dalam film ini laki-laki menjadi tokoh utama tindakan diskriminatif. Anak-anak laki-laki yang masih kecil sedang bermain tidak memiliki rasa tega membully dan melempar Wina supaya lekas pergi tanpa memberi ruang Wina bertanya arah ke Masjid.
Sedangkan laki-laki dewasa lebih parah dari tindakan tokoh-tokoh sebelumnya, penjaga kamar mandi mempersulit Wina masuk kamar mandi untuk buang hajat padahal Wina sanggup membayar, si penjaga melontarkan pertanyaan kepada Wina “rumongso wedok? dan rumongso lanang?”, dan ketika Wina bingung akan menjawab apa, penjaga memanfaatkan situasi dengan memberi syarat harus menghisap kemaluan penjaga lebih dahulu jika ingin masuk kamar mandi.
Pada tahun 2015 terdapat hasil penelitian yang dilakukan komunitas LGBT arus pelangi menunjukan 89.3% di Indonesia pernah mengalami kekerasan, dimana 79.1% dalam bentuk kekerasan psikis, 46.3% dalam bentuk kekerasan fisik, 26.3% dalam bentuk kekerasan ekonomi, 45.1% dalam bentuk kekerasan seksual, dan 63.3% dalam bentuk kekerasan budaya. ironisnya, waria (Transgender) mengalami paling banyak kekerasan seksual (49%).
Dari sekian banyaknya kasus pada waria, otoritas agama sebagai agen perubahan seharusnya mulai membuka mata, bahwa waria juga sering menjadi korban kemunkaran, terlepas dari statusnya yang tidak diakui dalam sosio-kultural. Perlu gerakan persuasif untuk mendakwahi mereka bukan malah dengan agresif dan juga perlu menyebarkan ajaran haram kekerasan secara masif terhadap golongan apapun itu, termasuk binatang dan alam. Toh agama hadir untuk dipeluk malah bukan manusia yang dipeluk agama.
On Friday Noon juga menyentil awal mula munculnya transfobik, homofobik dan misoginis berawal dari masa kecil. Pendidikan seks dan gender mulai sangat diperlukan di masa sekarang. Tak lepas juga pendidikan karakter yang harus digaungkan, supaya tak mudah terjermus kedalam kebencian
Pantas film ini sampai diputar di empat festival bahkan di luar negri (XXI Short Film Festival 2016 Los Angeles Indonesian Film Festival 2016, FACE à FACE Gay and Lesbian Film Festival of Saint-Etienne 2017, FLY Film Festival 2017). Luhki sang sutradara yang juga menyambi produser berhasil mengekspresikan jiwa seninya melalui fragmen dan metafor yang pas. Hal-hal diskriminasi dan kekerasan digambarkan begitu sederhana di film On Friday Noon. Siang dengan cuaca panas pada hari jum’at sangat terasa di film ini. Perjuangan Wina sebagai minoritas yang mencari masjid juga dapat membuat pikiran kita selalu terngiang dan bertanya.
Apakah ibadah waria akan diterima? itu adalah hak prerogratif tuhan, yang jelas setiap yang diciptakan Allah harus menyembah-Nya sesuai firman dalam surah Az-Zariyat yang artinya “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mengabdi kepadaku”. Mengenai hukum, Fikih klasik telah menjabarkannya, tergantung kita menyikapi dan mentabayuninya. Yang jelas agama ada untuk mengayomi dan melayani melainkan menghakimi bahkan menghukumi.
Bukankah waria juga manusia yang berhak memiliki akses ibadah? [MA]
On Friday Noon | 2016| Durasi: 13 menit |Sutradara : Luhki Herwanayogi | Produksi : Cress Pictures | Genre : Drama | Pemain: Satriyo Haninditho, Sandi Paputungan, Bagus, Nanang, Koko Prasetyo | Negara: Indonesia
Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga