Di sepanjang tahun belakangan, kalangan politisi dari partai politik Islam atau beberapa ormas tertentu, seperti Front Pembela Islam dan senyawa dengan ideologinya, membuka perdebatan publik dengan tajuk upaya memasukan kembali tujuh kata yang telah dihapus dari mukadimah UUD 1945. Pun dengan HTI yang selalu umek sendiri dengan melakukan kampanye khilafaisasi dalam segala suaranya di Indonesia.
Upaya mengembalikan tujuh kata “…dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya”—sebagaimana yang kerap disuarakan kelompok FPI dan sekutunya—ke dalam preambule UUD 1945 tersebut memang terkesan sangat ahistoris. Mereka seakan melupakan fakta sejarah bahwa perdebatan di Parlemen tahun 1950-an tentang apakah Islam atau Pancasila yang “seharusnya” menjadi landasan konstitusi telah menguras segala daya bangsa ini.
Rivalitas ideologi negara tersebut tidak hanya melahirkan pemberontakan militer yang mengancam terkoyaknya integritas wilayah Indonesia. Rivalitas ini mengakibatkan terhentinya proses pemberdayaan kualitas bangsa ini selama hampir dua dekade.
Menghidupkan kembali rivalitas ideologi antara kelompok Islam (santri) versus nasionalis (abangan) memang sudah kehilangan relevansinya. Garis batas antara kaum santri dengan abangan sudah sangat kabur dewasa ini. Kedua kelompok tadi, pada tingkat tertentu, sudah sama-sama membuktikan komitmennya untuk merefleksikan ajaran Islam ke dalam berbagai dimensi kehidupan mereka.
Namun dalam suasana euforia politik seperti sekarang ini, komitmen untuk memperjuangkan tegaknya ideologi Islam memang sedang menemukan momentumnya. Kelompok Islam militan akan selalu melakukan upaya implementasi pemikiran keagamaan mereka. Sekiranya memang terdapat celah untuk memasuki tahapan realisasi dimaksud.
Sebagai satu contoh adalah kelompok Laskar Jihad Ahlussunnah Wal Jamaah yang memberlakukan hukum rajam kepada salah seorang anggotanya yang berzina beberapa tahun lalu di Maluku. Mereka memandang bahwa pemberlakukan hukum Islam ini sudah menjadi sebuah kebutuhan. Sebagai ajang konflik antar-komunitas beragama, Maluku, menurut mereka, (saat itu) sudah tidak lagi memiliki pemerintahan yang efektif.
Pemberlakuan hukum rajam tadi mengindikasikan adanya upaya mengintrodusir sebuah institusi Islam klasik yang sudah tidak memiliki bentuk kelembagaan riil di masa sekarang. Bukan suatu hal yang mustahil, bahwa upaya menghidupkan properti kesejarahan masa silam Islam tersebut akan merambah ke institusi lainnya, mulai dari khilāfah, dhimmah, hudūd, qisās, sampai bayt al-māl.
Seperti diketahui bahwa kelompok Islam militan memiliki preferensi terhadap institusi khilāfah dibandingkan dengan institusi kepresidenan yang dihasilkan oleh sistim ketatanegaraan modern. Preferensi seperti itu berangkat dari asumsi bahwa institusi khilāfah memiliki otoritas kelembagaan yang secara hukum mengikat, karena khilāfah yang dibentuk dan dibakukan pada masa ideal Islam (the Islamic era par-excellence) merupakan wujud dari sebuah tatanan politik ideal. Dengan memberlakukan kembali institusi khilāfah, maka kehidupan bernegara kaum Muslim di zaman modern ini akan berada di bawah payung kelembagaan politik Islam yang autentik.
Dengan kata lain bahwa institusi khilāfah harus diberlakukan kembali, karena institusi ini bukan sekadar perangkat-instrumental dalam sistem ketatanegaraan Islam, tetapi merupakan perangkat-doktrinal untuk menjastifikasi keabsahan sebuah negara.
Pandangan semacam itu tentu sangat sulit dicarikan landasan argumentasinya. Berbagai data historis menunjukan bahwa khilāfah sebenarnya tidak termasuk bagian dari doktrin keagamaan, tetapi katagorinya masuk ke dalam institusi sosial. Sebagai institusi sosial, konsep khilāfah selalu berubah secara dinamis, mengikuti dinamika sosial yang terjadi di sekitarnya.
Khilāfah yang terbentuk dengan nuansa demokratis pada masa al-Khulafā’ al-Rāshidūn (632-661), berubah menjadi autokratis-monarki (autocratic-monarchy) di zaman dinasti-dinasti Islam pasca al-Khulafā’ al-Rāshidūn (661-1924). Khilāfah juga bisa diungkapkan melalui bermacam nomenklatur untuk mengakomodir perubahan sosio-kultur yang terjadi pada waktu dan tempat tertentu.
Pemegang lembaga khilāfah di samping bisa bergelar khalīfah, juga tidak jarang menggunakan sebutan lainnya, mulai dari amīr al-mukminīn, sultān, shāh, amīr al-umarā’, shaykh, sharīf sampai khān.
Perubahan sebutan ini menunjukan bahwa khilāfah adalah institusi yang selalu berevolusi, mengikuti kodratnya sebagai institusi sosial. Bermacam sebutan tersebut tidak muncul seketika, tetapi terbentuk dalam kronologi waktu yang berbeda. Semua penyandang bermacam gelar di atas sama-sama berhak mengklaim sebagai penerus (khalīfah) atas kekuasaan eksekutif Nabi Muhammad saw terhadap komunitas Muslim pasca-wafatnya Nabi.
Dalam tradisi politik Islam Sunni, jabatan khalīfah harus diperoleh melalui proses pemilihan yang didasarkan pada persetujuan publik (social consensus) serta kemudian diikat dengan akad kontrak sosial (social contract). Dukungan publik serta kontrak sosial yang melegitimasi keabsahan seseorang untuk menjadi kepala negara (imam) tersebut merupakan mekanisme demokratis yang sekarang aktualisasinya diselenggarakan melalui bermacam institusi, mulai dari partai politik, pemilihan umum sampai lembaga perwakilan rakyat.
Dengan melihat filosofi institusi khilāfah yang seaspirasi dengan institusi-institusi modern tersebut, maka berbagai lembaga modern tadi juga harus diterima sebagai penyelenggara yang sah dalam melakukan pemilihan seorang pemimpin di negara Islam. Dengan begitu, maka pemilihan seorang pemimpin (di negara Islam) yang diputuskan melalui institusi-institusi modern di atas, yang dalam konteks Indonesia diberikan kepadanya gelar presiden, menjadi legitimate secara hukum [Islam] (legally binding).
Bisa disimpulkan bahwa preferensi terhadap institusi khilāfah dibandingkan dengan institusi kepresidenan merupakan pandangan yang tidak selaras dengan implementasi konsep khilāfah dalam tradisi politik Islam Sunni.