Syiah sebenarnya bukanlah mazhab baru di Indonesia karena aliran ini sebenarnya sudah cukup lama eksis di bumi Nusantara ini. Hanya saja penganutnya tidak sebanyak mazhab Sunni. Dalam beberapa kajian, setidaknya ditemukan tiga teori tentang kedatangan Syiah ke Indonesia.
Pertama, merujuk pada penyebaran Islam di Indonesia. Menurut teori ini, komunitas Syiah dahulu kala dikejar-kejar oleh para penguasa Dinasti Abbasiyah. Mereka lari dari Timur Tengah sebelah utara ke arah selatan di bawah kepemimpinan Ahmad Muhajir hingga sampai ke Yaman. Di Yaman, Ahmad Muhajir mematahkan pedang kemudian dia mengatakan “Mulai saat ini kita ganti perjuangan kita dengan pena”.
Pasca-kejadian tersebut, di Yaman dan Hadramaut, mereka kemudian secara lahiriah menganut mazhab Syafi’i, tetapi hanya ber-taqiyyah saja. Sehingga dalam kamus al-Munjid fī al-Lughah wa al-A‘lām karya Louis Ma’luf al-Yassu’ī edisi lama, pada kata Hadramaut tertulis sukkānuhā Syī’īyunā (penduduknya orang-orang Syiah yang bermazhab Syafi’i. Dari Hadramaut itulah menyebar para dai Muslim, khususnya para Alawiyyin, orang-orang keturunan sayyid. Mereka pun datang ke Indonesia. Secara zahir ekspresi keberagamaan mereka Syafi’i, namun batin mereka tetap Syiah.
Gus Dur pun memperkuat pendapat ini. Misalnya, pernyataannya yang mengatakan bahwa NU secara kultural mendekati aliran Syiah. Hal itu karena tradisi penganut fiqh Syafi’i di Indonesia—yang cukup kontras dengan pengamal fiqh Syafi’i di negara lain, misalnya di Mesir—sangat lekat diwarnai oleh tradisi Syiah.
Dalam pandangan Gus Dur, Syiah ada dua model: Syiah Tsaqāfīyah (kultural) dan Syiah Aqīdīyah (politik). Syiah kultural berasal dari Alī al-Gharāinī bin Ja‘far al-Shādiq, sedangkan Syiah politik berasal dari Musa Kazhim bin Ja‘far al-Shadiq. dikutip dari Fadil Suud Ja’fari dalam karyanya yang berjudul Islam Syiah, Gus Dur menuturkan, “Kalau kita melihat idiom-idiom kultural yang kita pakai, kita ini sebenarnya lebih Syiah dari Syiah Muslim di Iran”.
Hoesen Djajadiringrat dalam Islam di Indonesia (1961) mengatakan bahwa masih ada lagi bukti-bukti ritus khas Syiah—bukan khas Syafi’i—yang populer di Indonesia. Salah satunya tahlilan dan haul. Keduanya sebenarnya adalah tradisi Syiah yang tidak dikenal pada mazhab Syafi’i yang lain, misalnya Syafi’i di Mesir. Lalu di kalangan NU setiap malam Jumat sering dibacakan Diba’. Pada bacaan ini disebutkan seluruh Imam Syiah yang Dua Belas (Itsnā ‘Asyarīyah). Tradisi ini dilakukan setiap malam Jumat, seperti pembaruan baiat.
Agus Sunyoto pernah melakukan penelitian terhadap banyak makam di Jawa Timur. Ia menemukan fakta bahwa makam-makam tersebut adalah makam para penganut Syiah. Ia mempunyai dugaan keras bahwa Islam yang pertama kali masuk ke Indonesia adalah Islam Syiah. Kemudian Ali Hasymi dalam karyanya yang berjudul Syiah dan Ahlussunnah Saling Rebut Pengaruh Sejak Awal Sejarah Islam di Kepulauan Nusantara (1983) juga mempunyai teori bahwa Islam yang pertama datang ke Indonesia adalah Islam Syiah.
Sedangkan, menurut Hamzah Alwi al-Habsyi, Syiah masuk ke Indonesia bersamaan dengan masuknya Islam ke Indonesia. Hal ini dibuktikan bahwa dalam sejarah Syiah di Indonesia ada sebagian kelompok muslim di Sumatra yang disebut sebagai Syiah Kuala. Bukti lainnya yaitu tulisan ayat kursi yang disertai nama Nabi dan sahabat Ali pada batu nisan makam Maulana Malik Ibrahim di Gresik. Tulisan pada batu nisa ini sangat berbeda dengan makam para wali lainnya yang biasa bertuliskan nama empat sahabat Nabi.
Teori kedua, aliran Islam yang pertamakali datang ke Indonesia itu adalah Islam Sunni yang kemudian dipengaruhi oleh paham-paham Syiah, terutama melalui aliran tarekat-tarekat. Dalam konteks ketarekatan, relasi Sunni dan Syiah sudah bertemu semenjak lama, misalnya tarekat Qadiriyyah Naqsyabandiyah, silsilahnya bersambung kepada imam-imam Syiah (Fadil Suud Ja’fari, Islam Syiah).
Menurut teori kedua ini, memang Islam awal yang datang ke Indonesia adalah Sunni namun karena masyarakat saat itu “cukup” lekat dengan nuansa mistikal, maka pengaruh Syiah kemudian masuk melalui “aspek mistikal” tersebut.
Sehingga, teori kedua ini menyimpulkan bahwa ritus-ritus yang disebutkan di atas bukan menunjukkan bahwa Syiah lah yang pertama kali datang ke Indonesia. Ritus tersebut hanya menunjukkan adanya pengaruh Syiah yang masuk pada pemikiran Ahl al-Sunnah lewat Syafi’i. Ada pula yang mengatakan bahwa orang-orang Persia dan Gujarat yang kebanyakan bermazhab Syiah turut andil dalam menyebarkan Islam ke Indonesia sehingga pengaruh Syiah pun turut mewarnai pemahaman dan praktik keislaman masyarakatnya.
Teori ketiga mengatakan bahwa aliran Syiah baru datang pasca-peristiwa Revolusi Islam Iran [RII], dimulai antara lain dengan tulisan-tulisan Ali Syariati, Murtadha Muthahari, M. Husein Thabathabai, Baqir Sadr, dan disusul dengan tulisan-tulisan pemikiran Islam Iran yang lain.
Terkait dengan hal ini, Hoesein Djajadiningrat (Islam di Indonesia, 1961) menjelaskan bahwa menurut teori yang ketiga ini sebetulnya banyak orang terpengaruh Syiah hanya karena peristiwa RII. Bahkan, belakang ini, sebagiaan kalangan kadang-kadang mendefinisikan Syiah adalah siapa saja yang bersimpati terhadap RII, walaupun tidak banyak kenal tentang Syiah. [AA]