M. Zainuddin Guru Besar UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Lebaran Tanpa Mudik

4 min read

Hari ini kita memasuki Idul Fitri. Umat Islam telah melakukan ritual besar selama satu bulan penuh, yaitu puasa Ramadhan, plus seluruh rangkaian ibadah dan amal kebajikan lainnya, seperti shalat taraweh dan shalat sunnah lainnya, demikian juga tadarrus Alquran, meski di rumah karena wabah Covid-19. Maka bulan Syawal, mereka digolongkan oleh Allah menjadi orang yang mendapat kemenangan dan kembali ke fitrahnya semula (Ied al-Fitri). Idul fitri ada karena adanya shiyam Ramadhan, dan tidak ada identitas fitri jika tidak ada pelaksanaan shiyam Ramadhan tersebut.

Kenapa umat Islam pada hari raya Idul Fitri dikembalikan ke fitrahnya? Karena selama bulan Ramadhan hingga Syawal, seluruh karunia ditumpahkan oleh Allah kepada umat Islam. Paling tidak ada tujuh macam karunia itu: pertama, diturunkannya rahmat pada putaran sepuluh pertama (al-‘asyr al-awwal); kedua, diberikannya ampunan (maghfirah) pada putaran sepuluh kedua atau pertengahan (al-‘asyr al-ausath); ketiga, pembebasan dari siksa neraka, yang telah diturunkan pada putaran sepuluh terakhir (al-‘asyr al-awakhir); keempat, diturunkan lailat al qadar pada malam-malam ganjil yang nilainya lebih baik dari seribu bulan setara dengan 83 usia manusia; kelima, pelaksanaan zakat fitrah, yang dapat membersihkan dosa-dosa dan mengembalikan fitrah manusia; keenam, pahala puasa sunnah 6 hari Syawal, yang nilainya setara dengan puasa satu tahun; ketujuh, halal bi halal, saling memaafkan di antara mereka yang dapat menghapus dosa antarsesama.

Bagi umat Islam, sekarang ini sedang memasuki babak baru, babak kembali ke fitrah yang suci. Karena muara ibadah berpuasa Ramadhan adalah terbentuknya muslim yang bertakwa. Dalam Q.S. Ali ‘Imran: 133 Allah swt menegaskan bahwa di antara ciri-ciri orang bertakwa itu ada empat.

Pertama, menginfakkan sebagian harta baik dalam kondisi lapang maupun sempit. Maknanya adalah, orang yang selalu rajin dan ajek beramal serta ikhlas lillahi Ta’ala. Kebiasaan bersedekah seperti ini juga dicontohkan oleh ‘Aisyah radhiyallah ‘anha, istri Rasulullah Saw. yang rutin bersedekah meski hanya dengan sebiji kurma sekalipun.  Bahkan di dalam riwayat lain Nabi menyebutkan, bahwa harta yang dikeluarkan untuk kepentingan sedekah itu tidak akan mengurangi sedikitpun kekayaan seseorang, melainkan justru menjadi investasi akhirat yang akan dinikmati hasilnya.

Baca Juga  Ramadan: Antara Kesehatan, Religiositas Soliter, dan Solidaritas

Ini tentu sangat berbeda dengan kondisi di dunia ini. Jika seseorang menginvestasikan uangnya di Bank-Bank yang ada di dunia ini, pada suatu saat jika Bank-Bank tersebut harus gulung tikar atau dilikuidasi, maka para investor itu akan ikut merugi. Dalam surat al-Baqarah: 261 Allah menjelaskan, bahwa perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh butir, pada tiap-tiap butir tumbuh seratus biji. Allah melipatgandakan (pahala) bagi siapa yang dikehendaki, dan Allah Maha luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui. Pengertian menafkahkan harta di jalan Allah meliputi infak untuk kepentingan jihad fi sabilillah, pembangunan tempat-tempat ibadah: masjid, mushalla, madrasah, rumah sakit, lembaga-lembaga sosial lainnya yang diridhai oleh Allah Swt.

Kedua, ciri-ciri orang yang bertakwa adalah orang yang mampu menguasai hawa nafsunya, yaitu orang-orang yang jika diberi cobaan oleh Allah Swt. tetap sabar dan tidak emosi dan keluh kesah. Orang-orang inilah yang oleh Rasulullah Saw. disebut sebagai orang kuat. Pada bulan ramadhan kemarin, umat Islam telah menjadi orang kuat selama sebulan, karena mereka mampu mengendalikan diri dan menguasai hawa nafsunya. Dalam kesempatan lain Nabi juga pernah berujar: Barang siapa mampu menahan diri maka Allah akan memenuhi hatinya dengan rasa aman dan iman.

Ketiga, berkaitan dengan sifat sabar dan mampu mengendalikan diri ini adalah sifat dan sikap lapang dada sebagai ciri ketiga dari orang yang bertakwa. Orang-orang tersebut oleh Nabi dikategorikan sebagai kelompok orang-orang terhormat yang memiliki derajat yang tinggi di sisi Allah Swt. dan di hari kiamat mereka segera dipanggil oleh Allah untuk menempati surga-Nya. Sabar menurut Imam al-Ghazali meliputi tujuh macam, yaitu sabar untuk tidak memenuhi kemauan nafsu perut dan farji, yang disebut dengan al-iffah; sabar menahan dari permusuhan dan seteru yang disebut dengan al-syaja’ah; sabar menahan diri dari amarah dan angkara murka yang disebut dengan al-hilm; sabar menahan diri dari hidup mewah dan berlebihan, yang disebut dengan al-zuhd; sabar dengan tetap ikhlas menerima bagian (rizki) yang telah ditentukan oleh Tuhan, yang disebut dengan al-qana’ah; sabar dari menyimpan rahasia, menerima permintaan maaf orang lain yang disebut dengan kitmanu sirrin dan sa’atu shadrin.

Keempat, orang-orang yang sanggup bertaubat atas segala dosa yang telah diperbuatnya. Dalam suatu riwayat diceritakan, dari Anas RA. bahwa ketika ayat ini turun, Iblis menangis seketika, sebab ia merasa tak mampu untuk terus menggoda manusia karena ampunan Allah Swt. yang terus-menerus diberikan kepada hamba-Nya  yang mau bertaubat, sebagaimana sabda Nabi: Setiap anak adam itu (pernah) bersalah (berdosa) dan sebaik-baik orang yang berdosa adalah yang mau bertaubat. Maka di sinilah Allah menjanjikan kekuatan bagi orang yang selalu membaca kalimat thayyibah: tahlil, tahmid, tasbih dan istighfar, karena Iblis tidak akan pernah mampu menggodanya.

Baca Juga  Keseriusan Menteri Agama dalam Menyikapi Masalah Pelayanan Jamaah Haji

Memang Iblis pernah bersumpah akan senantiasa menggoda anak Adam sepanjang hidup manusia. Tetapi Allah pun menjamin  akan senantiasa mengampuni dosa-dosa anak Adam selagi mereka masih mau meminta ampunan kepada-Nya. Maka bulan Syawal ini merupakan momentum yang paling tepat bagi umat Islam untuk saling memaafkan di antara mereka, ber-halal-bihalal, sebagai bentuk penghapusan dosa secara horizontal dan massal.

Lebaran Tanpa Mudik

Dalam Idul Fitri umat Islam memulai lembaran baru dengan mengisi amal-amal shalih. Tradisi silaturahim, saling berkunjung ke saudara, tetangga dan kawan, memuliakan tamu adalah perilaku positif yang diajarkan oleh Islam. Umat Islam berlatih untuk tetap menjalankan kesabaran dalam berbagai hal, karena orang sabar adalah kekasih Tuhan.

Saat ini karena idul fitri bersamaan dengan wabah Covid-19 yang belum juga berakhir dan karena terkena aturan PSBB, maka orang kota tidak dapat mudik seperti bisanya. Namun, tanpa mengurangi nilai silaturrahim sebagai sebuah tradisi yang baik bangsa ini, maka halal bi halal dilakukan secara on line, bisa melalui WA, SMS, FB, IG, messanger, zoom, v-meet dan sebagainya. Karena implementasi dari iman dan ibadah ritual dalam ajaran Islam mesti berdampak nilai (impact value) terhadap kemanusiaan. Maka, seseorang belum diakui imannya sebelum mencintai saudaranya, seperti mencintai dirinya sendiri.

Sebuah riwayat menceritakan, bahwa suatu hari Nabi pernah bertanya kepada para sahabat: “Tahukah kalian, siapakah yang disebut orang yang bangkrut (muflis) itu?” Para sahabat menjawab: “Orang bangkrut adalah orang yang seluruh harta bendanya ludes.” Kemudian Nabi bersabda: “Bukan, bukan itu yang disebut orang bangkrut itu. Orang bangkrut adalah, orang yang saat menghadap Allah di hari kiamat dengan membawa pahala shalatnya, puasanya, zakat dan hajinya, tetapi pada waktu hidup di dunia ia suka berbuat zalim (mengganggu saudaranya, tetangga, merampas hak orang lain) dan pada waktu meninggal belum sempat meminta maaf kepada mereka.”

Baca Juga  Siasat Licik Khawarij yang Memprakarsai Lahirnya Gerakan Pembela Baju Utsman

Pada zaman modern ini, tradisi positif seperti silaturahim yang telah dibangun oleh orang tua kita dulu sudah semakin punah. Hal ini karena kehidupan modern cenderung materialistis dan individualis. Orang bersedia berteman jika ada kepentingan kerja atau bisnis.  Di kota-kota besar misalnya, antara tetangga satu dengan tetangga yang lain tidak saling mengenal karena rumah mereka sudah dibatasi oleh pagar dan dinding tembok yang tinggi. Sebagaimana yang diramalkan oleh Alvin Toffler, bahwa zaman modern akan melahirkan manusia-manusia impersonal, manusia yang tercerabut dari nilai-nilai kemanusiaannya.

Namun beruntung, umat Islam masih memiliki tradisi yang baik yang perlu dilestarikan untuk mengatasi dampak modernisasi tersebut, seperti: tadarrus Alquran, tahlil dan yasin berjamaah, barzanji dan diba’, majlis-majlis ta’lim, baik di tingkat RT maupun RW. Tradisi tersebut merupakan salah satu bagian dari bentuk  ukhuwuah islamiyah, ukhuwah basyariyah dari sekian tradisi baik lainnya yang ada dalam ajaran Islam dan tradisi Islam Nusantara. Tradisi silaturrahim, saling berkunjung ke saudara, tetangga dan kawan, memuliakan tamu, meski melalui media sosial adalah merupakan prilaku positif yang diajarkan oleh Islam. Bahkan ditegaskan oleh Nabi: Jika seseorang ingin dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan umurnya maka supaya menjalin silaturahim. []

M. Zainuddin Guru Besar UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *