
Kemajuan dan perkembangan sains dan teknologi serta budaya modern yang begitu akseleratif membuat banyak kalangan dan pemerintah khawatir akan berpengaruh fatal terhadap kehidupan manusia dan bahkan semua makhluk yang ada di bumi ini. Ketika perubahan sosial-budaya dalam masyarakat kita kian semakin terasa, maka tuntutan terahadap peran agama semakin besar, sementara kepergian ulama satu demi satu kian bertambah dan belum cukup signifikan penggantinya, maka pada gilirannya tuntutan terhadap keberadaan ulama pun tak kalah besarnya, sebab merekalah sebagai pembawa misi agama dan pewaris para Nabi.
Predikat keulamaan memang lebih banyak disandangkan kepada para kiai daripada para sarjana. Bahkan, tidak sedikit para sarjana, meski mereka kompeten di bidang studi keislaman, namun mereka hampir tidak pernah menyandang gelar ini. Hal itu mudah dipahami, sebab sebutan ulama secara kultural sudah amat melekat dalam diri para kiai yang memiliki kontribusi besar dalam perjuangan bangsa, utamanya kiai yang ada di pesantren yang juga memiliki kharisma dan kedalaman spiritual.
Jadi memang ini persoalan kultur yang sudah membentuk dalam masyarakat. Selain itu memang kiai dengan para santrinya telah memiliki kontribusi besar dalam mencerdaskan anak-anak bangsa, terutama di bidang pembentukan karakter dan ketahanan mental. Dan begitulah memang predikat ulama itu lebih banyak terkait dengan sikap moral, selain kedalaman ilmu. Dalam Alquran sendiri ditegaskan bahwa yang takut kepada Allah itu adalah ulama (QS. Fathir: 28). Jadi, hampir-hampir predikat ulama itu hanya ada pada kiai di pesantren.
Berbicara soal ulama tidak bisa lepas dari dunia pesantren, sebab pesantrenlah yang memproduk pada ulama itu. Ketika publik rame-rame menggugat ulama, mempertanyakan peran dan mengkhawatirkan kelangkaannya, maka pesantren pun menjadi sorotan dan gugatan.Misalnya, ketika melihat gejala krisis ulama yang disorot adalah lembaga pendidikan, yang menyangkut kualitas, intensitas dan efektivitas.
Di sinilah pesantren perlu berbebenah diri dengan tetap memegang teguh prinsip “menjaga nilai-nilai lama yang baik dan mengambil nilai-nilai baru yang lebih baik”, al-muhafadhat ala al-qadim al-shalih wa al-akhzu bi al-jadid al-ashlah.
Pesantren sebagai lembaga pendidikan tertua di Indonesia, memiliki aset besar dalam pengembangan kepribadian, antara lain adanya perhatian besar kiai terhadap santri, rasa hormat dan tawadhu santri terhadap kiai, hidup sederhana, hemat dan mandiri, kesetiakawanan saling menolong, disiplin serta tahan uji. Dalam kehidupan pesantren terlihat leburnya individualisme dan egoisme.
Apalagi kalau dikaitkan dengan persoalan pengangguran, pesantren tidak akan khawatir dengan pekerjaan, sebab pesantren memang tidak menjanjikan kerja (promise of job). Tujuan pendidikan pesantren yang asasi adalah untuk mencetak manusia berilmu dan bertakwa. Dua entitas ilmu dan takwa tersebut harus dimiliki oleh seorang santri.
Berilmu saja tanpa disertai takwa maka akan menjadi riskan, begitupun sebaliknya. Maka, lulusan pesantren pada umumnya tidak kenal menganggur, karena modal soft skill-nya mereka bisa bekerja di hampir semua sektor.
Kini upaya pembenahan sistem pendidikan pesantren, pengembangan dan pembaharuannya sudah banyak dilakukan. Upaya pembenahan tersebut tidaklah mudah sebab pesantren pada umumnya adalah milik pribadi seorang kiai. Oleh karena itu, wajarlah kalau masih ada pesantren yang tetap bertahan dengan tradisi lamanya dan tidak mau menerima pembaharuan.
Sistem pendidikan pesantren hingga saat ini menurut penulis masih yang terbaik, setidaknya karena tiga hal; pertama, pola pendidikan live in (tinggal di ma’had) selama masa belajar. kedua, adanya kurikulum yang tersembunyi (hiden curriculum) dari para kiai dan ustaz yang menjadi role model bagi para santrinya; ketiga, tradisi santri yang memiliki sikap dan karakter yang excellent yaitu tawadhu’, ulet, dan mandiri.
Sikap-sikap tersebut menjadi kebutuhan yang sangat didambakan di era modern seperti sekarang ini. Selain itu, pendidikan di pesantren juga bersifat inklusif dan tidak membatasi usia santri. Siapapun bebas belajar (nyantri) di pesantren, termasuk yang tidak memiliki biaya hidupnya karena para kiai memiliki tanggungjawab dan perhatian besar terhadap keberlangsungan pendidikan anak bangsa.
Tradisi pendidikan khas pesantren inilah yang kemudian menginspirasi para pengelola pendidikan di beberapa perguruan tinggi keagamaan Islam (PTKIN) untuk menyelenggarakan program ma’had yang memadukan pendidikan tinggi dengan pesantren seperti, salah satu contoh yang sudah berlangsung lama di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang.
Tentang pentingnya pendidikan mental atau karakter ini, temuan psikolog Reuven Bar-On menjelaskan, bahwa IQ manusia rata-rata hanya berpengaruh 6-20 persen dalam menentukan keberhasilan, sementara 80-90 persennya lebih ditentukan oleh atittude (karakter). Sementara itu Institut Teknologi Carnegie memaparkan, bahwa dari 10.000 orang sukses, 15 persennya sukses karena kemampuan teknis dan 85 persennya karena faktor-faktor kepribadian (karakter).
Penelitian yang sama juga dilakukan oleh Dr. Albert Edward Wiggam yang menghasilkan temuan, bahwa dari 4000 orang yang kehilangan pekerjaan adalah 400 orang (10%) karena kemampuan teknis dan 3600 orang (90%) karena faktor kepribadian (karakter). Maka sifat yang ada pada diri Nabi pun juga begitu, dimulai dari kejujuran (shiddiq), terpercaya (amanah), komunikatif (tabligh), baru smart (fathanah) terakhir.
Wiggam juga menegaskan bahwa sebaik-baik manusia adalah yang terbaik kepribadiannya (ahsanuhum khuluqa). Oleh sebab itu, dalam era modern yang menurut Alvin Toffler ditandai dengan budaya impersonal dan ketergantungan teknologi ini, maka tradisi pesantren yang mandiri, ulet dan tahan uji harus tetap dipertahankan.
Misalnya, jika menurut penelitian Cliffort Geertz, santri yang bekerja mengabdi (ngawulo) kiai dengan memasak, mencuci dan menggarap tanah untuk memperoleh berkahnya apakah di era internet of things (IoT) ini masih dapat dipertahankan? Paling tidak nilai-nilainya itulah yang mesti kita pertahankan.
Selain itu kompetensi yang perlu dipertahankan di pesantren adalah tradisi tafaqquh fiddin-nya itu jangan sampai luntur, terutama dalam materi Alquran dan ilmu-ilmu alat-nya, serta Bahasa Arab. Karena materi-materi tersebut menjadi modal di masyarakat dan untuk melanjutkan di jenjang perguruan tinggi, terutama di PTKIN.
Saya kira, yang perlu dipikirkan sekarang, bagaimana pendidikan pesantren ini terus dikembangkan dan diperbarui (renewed) untuk menghadapi dunia yang semakin kompleks dan global. Maka pemenuhan materi IT dan Bahasa Inggris menjadi sangat penting artinya bagi menyongsong masa depan yang semakin cerah dan menjanjikan. Semoga… [AA]
Guru Besar UIN Maulana Malik Ibrahim Malang