M. Zainuddin Guru Besar UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Silang Pendapat Ulama Tentang Waktu Turunnya Lailatul Qadar

3 min read

Ada suatu malam yang sangat istimewa dalam bulan Ramadhan, yaitu Lailat al-Qadr.  Dinamakan Lailat al-Qadr karena di dalamnya penuh dengan keutamaan-keutamaan dan anugerah besar dari Tuhan.

Qadar dari segi Bahasa bermakna kedudukan dan kemuliaan. Misalnya, Fulan mempunyai kedudukan yang mulia. Demikian ini, baik dikaitkan dengan Nuzul al Qur’an maupun ketaatan seorang hamba dalam malam itu.

Terkiat penamaan Laylatul Qadar, Abu Bakar al-Waraq mengatakan bahwa malam tersebut dinamakan demikian karena pada malam itu diturunkan Alquran yang memiliki kekuatan (mu’jizat), sebagaimana firman Allah “Sesungguhnya Allah turunkan  al-Qur’an  dalam malam yang penuh dengan berkah”(QS. al-Dukhan:3).

Sedangkan, terkait saat turun dan batas waktunya, para ulama saling berbeda pendapat. Golongan Rafidhah dan Syi’ah mengatakan bahwa Laylatul Qadar hanya diturunkan sekali, setelah itu tidak ada lagi. Sedang ulama jumhur (mayoritas) mengatakan Laylatul Qadar masih ada dan belum putus.

Para ulama juga berbeda berpendapat apakah Laylatul Qadar turun setiap tahun atau khusus di bulan Ramadhan saja. Dalam hal ini jumhur ulama berpendapat bahwa malam yang begitu mulia ini hanya diturunkan pada bulan Ramadhan dengan dalil merujuk firman Allah QS. al Baqarah (2):155:

“Bulan Ramadhan yang di dalamnya diturunkan al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia, dan penjelas atas petunjuk itu serta pembeda antara yang haq dan yang batil”.

Dalam riwayat Al-Nasai disebutkan bahwa Nabi SAW. bersabda: ”Telah datang kepadamu sekalian bulan Ramadhan, bulan yang penuh berkah. Allah yang telah mewajibkan kepadamu sekalian berpuasa, karena di dalamnya ada malam yang lebih baik dari seribu bulan. Dan barang siapa yang mensucikan (memuliakan) kebaikan malam itu, maka ia menjadi mulia”.

Imam Malik dalam karyanya al Muwatha’ menyebutkan, dari Abu Sa’id Al-Hudhri bahwa Rasulullah ber-i’tikaf pada pertengan yang kesepuluh (al-asyr al-wasth) di bulan Ramadhan dan para sahabat pun mengikutinya. Dan, Rasul pun bersabda: “Barang siapa ber-i’tikaf, lakukanlah pada hari kesepuluh terakhir.

Baca Juga  H. Agus Salim: Pergulatan Demokrasi, Dinamika Islam, dan Islam-Politik

Pun demikian, diceritakan oleh Al Bukhari dari ‘Aisyah ra. bahwa kanjeng Nabi memerintahkan umatnya untuk memperbanyak amal saleh pada malam Qadar, yaitu pada hari ganjil dari hari kesepuluh yang terakhir (antara 21, 23, 25, 27, dan 29).

Ibn Hajr dalam kitab Fath al-Bari menerangkan, dari Ibn Abbas, bahwa sahabat Umar ra. mengundang para sahabat Nabi, seraya bertanya tentang turunnya Laylatul Qadar; maka mereka pun sepakat bahwa ia turun pada hari kesepuluh yang terakhir (al-asyr al-awakhir), malam di mana Rasul mengistimewakannya untuk menperbanyak beribadah kepada Allah swt. dan mendekatkan diri kepada-Nya dengan ajek itikaf.

Demikian juga sebagaimana yang diriwayatkan Imam Bukhari dari ‘Aisyah ra. bahwa Nabi pada malam ini cancut tali wondo (syadda mi’zarahu), dan membangunkan keluarganya, yang menurut Imam Tirmidzi, melebihi malam lainnya sampai beliau wafat.

Imam Al Qurtubi berpendapat bahwa malam Laylatul Qadar adalah malam ke-27. Berdasarkan hadits Ubay bin Ka’ab bahwa Rasul bersabda “Barang siapa yang ingin memperbanyak amal ibadah di malam Qadar, maka beribadahlah di malam yang ke-27.”

Banyak hadis meriwayatkan, bahwa Laylatul Qadar terdapat pada setiap tahun, yaitu pada hari kesepuluh terakhir (hari ganjil) dalam bulan Ramadhan. Pada malam itu umat Islam didorong dan dimotivasi untuk memperbanyak amal saleh, sebab pada malam itu ada nilai plus (lebih baik dari pada ibadah selama seribu bulan).

Sedangkan, Ibn Hajar mengatakan, bahwa yang benar Lailat al-Qadar itu turun pada malam ke-27, sedang menurut Imam Syafi’i pada malam ke-21.

berdasarkan pendapat para ulama di atas, tentu banyak orang kemudian bertana-tanya, kenapa malam tersebut tidak jelas waktu turunnya?

Menurut saya, tentu semua ini ada hikmahnya. Disebutkan, hikmah dan rahasia Laylatul Qadar salah satunya adalah agar manusia berlomba-lomba memperbanyak aktivitas keagamaan pada malam-malam tersebut untuk mencari ridha Allah Swt. sebagaimana Salaf al-Saleh (ulama terdahulu) yang senantiasa berpegang teguh  terhadap ajaran Rasul.

Baca Juga  DI WADAS

Allah merahasiakan ridha-Nya, agar hamba-Nya mau taat kepada-Nya. Pun demikian, Allah juga merahasiakan murka-Nya agar hambanya memelihara diri dari kemurkaan-Nya. Allah merahasiakan pahala shalat wustha (Shubuh/‘Ashar), agar mereka mau memelihara shalat-shalat lainnya tepat pada waktunya.

Serta, Allah merahasiakan waktu ajal agar senantiasa mereka takut kapada-Nya. Demikian pula Allah merahasiakan Lailat al- Qadr agar mereka mau mengagungkan pada setiap malam bulan Ramadhan.

Diriwayatkan, bahwa tanda-tanda Laylatul Qadar itu banyak sekali. Ubadah bin Shamit, misalnya, meriwayatkan bahwa tanda-tanda Laylatul Qadar adalah cerahnya malam dan sejuknya udara.

Pada Malam itu bulan bersinar terang, bintang-bintang pun tampak tenang gemerlapan hingga pagi hari. Matahari tampak redup tidak secerah bulan di malam hari.

Abu Dawud al-Thayalisi menceritakan, bahwa Rasul saw. bersabda bahwa malam Qadar adalah malam yang sejuk, tidak terlalu panas dan tidak terlalu dingin dan matahari pagi menjadi kelam kelabu.  Adapun tanda-tanda yang bersifat indarawi itu adalah tampaknya cahaya dan damainya suasana.

Namun, Imam Al Thabari menyangkal pendapat di atas. Demikian pula Abu Said al-Hudhri yang juga menolak adanya pendapat bahwa Laylatul Qadar itu ditandai dengan hujan. Padahal ia yakin bahwa setiap bulan Ramadhan itu terdapat Laylatul Qadar dan tidak selalu hujan.

Kata Imam Thabari, naif bagi orang yang mengatakan bahwa malam Qadar itu ditandai dengan penglihatan indrawi yang tidak pernah dilihat sepanjang tahunnya. Apabila hal ini benar, maka orang tidak usah bersusah payah untuk berjaga malam (beribadah).

Tetapi Ibn Munir mencoba menengahi. Katanya, kurang elok menganggap naif bagi orang yang mengatakan demikian, sebab boleh jadi alamat atau keramat itu diberikan Allah kepada hamba-Nya. Karena, setiap orang itu diberi keistemewaan tersendiri oleh Allah Swt. Sedang Rasul pun tidak membatasi alamat itu, demikian juga keramat.

Baca Juga  Kitab Mau’izhah: Karya Terakhir Tuan Guru Sapat

Sesungguhnya pada malam Qadar itu banyak keutamaan-keutamaan yang tidak bisa dipungkiri. Sebab hal ini sudah termaktub dalam al-Qur’an (lihat Q.S. al-Qadr). Abu Bakar al-‘Arabi mengatakan, andaikata kemuliaan itu hanya turunnya al-Qur’an” saja, maka sudah cukup bagi kita.

Pada malam itu Allah mengutus Jibril dan para Malaikat turun ke bumi untuk memintakan ampunan bagi orang-orang mukmin. Dan, disebutkan pula bahwa Malaikat yang diturunkan ke bumi pada malam itu sangat banyak sekali jumlahnya.

Saking banyaknya, sebagian ulama mengatakan lebih banyak ketimbang kerikil-kerikil yang ada di bumi ini. Pada malam itu Allah menerima taubatnya orang yang-orang yang mau bertaubat, pintu-pintu langit malam itu dibuka dari tenggelamnya matahari hingga terbit fajar.

Diceritakan pula bahwa Jibril bersama para Malaikat lainnya membawa bendera yang bertolak dari berbagai tempat, dari Ka’bah, makam Rasul, Baitul Maqdis dan masjid Tursina.

Kemudian mereka menyebar seraya bertasbih, bertahmid dan bertahlil serta menyusup ke tempat-tempat kediaman umat Muhammad baik yang berada di ruma atau dalam perjalanan untuk memintakan ampun baginya.

Ketika rahmat itu sudah mencukupi semuanya, maka Jibril bertanya kepada Allah: “Ya Rabbi, umat Muhammad sudah kebagian rahmat semua, lalu sisanya untuk siapa? Jawab Allah, bagikan kepada orang-orang kafir, maka Jibril pun membagikanya, maka barang siapa  di antara mereka yang kebagian rahmat itu, akhirnya mereka mati dalam keadaan iman–husnul khatimah. Wallahu a’lam (AA)

M. Zainuddin Guru Besar UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *