Pada masa Nabi Muhammad saw., penjagaan atau pemeliharaan Al-Qur’an dilakukan melalui dua cara. Pertama, dengan menyimpannya dalam dada atau metode hafalan. Sebagaimana yang tercatat dalam sejarah, kondisi bangsa Arab saat agama Islam pertama kali masuk ialah buta huruf. Di mana hanya sedikit di antara mereka yang mahir dalam hal membaca dan menulis. Begitu pun dengan Nabi Muhammad yang dinyatakan sebagai nabi yang ummi, yakni tidak mahir membaca dan menulis.
Meskipun demikian, bangsa Arab memiliki daya ingat yang sangat tinggi sebab mereka terbiasa menghafal syair dalam bentuk bahasa Arab dalam jumlah yang banyak. Adanya tradisi hafalan yang kuat di kalangan masyarakat Arab pada saat itu menjadi suatu kemungkinan yang besar akan terpeliharanya wahyu Allah Swt. dengan metode ini. Oleh karenanya, Nabi meminta para sahabat untuk menghafal Al-Qur’an dan membacanya terus-menerus, termasuk dalam salat mereka.
Kedua, dengan merekamnya melalui tulisan. Untuk metode yang kedua ini berguna untuk menjaga keautentikan Al-Qur’an agar tidak sampai hilang. Sehingga dari sana ajaran-ajaran Allah Swt. tetap tersampaikan dan terlaksana sebagaimana mestnya. Dalam hal ini Nabi Muhammad Saw. sendirilah yang meminta para sahabat untuk menulis setiap wahyu yang turun kepadanya.
Nah, mengenai metode mana yang lebih dominan atau lebih baik di antara keduanya ini sebenarnya bukanlah sesuatu yang perlu dibahas lagi. Dua metode tadi sama-sama penting untuk menjaga dan memelihara keautentikan wahyu Allah, Al-Qur’an. Metode hafalan sebagai bentuk kelangsungan dari generasi ke generasi, kemudian metode tulisan sebagai bentuk acuan dalam pengkajian. Keduanya memperkuat satu sama lain.
Proses Penulisan Al-Qur’an Masa Nabi
Proses penulisan Al-Qur’an ini sudah terjadi sejak zaman Nabi Muhammad saw. Di mana setiap nabi menerima wahyu dari malaikat Jibril, Nabi langsung menghafal dan menyampaikannya pada para sahabat. Nah, saat menyampaikan wahyu tersebut, Nabi meminta para pencatat wahyu untuk menulisnya. Baru setelah itu, Nabi akan memeriksa tulisan mereka dan membenarkan jika memang terdapat kesalahan atau sesuatu yang terlewatkan.
Media penulisan yang digunakan untuk menulis wahyu pada saat itu pun sangat terbatas dan sederhana. Belum menggunakan kertas seperti yang kita gunakan saat ini, melainkan berupa lembaran dari kulit atau daun (al-riqa’), tulang belikat unta (al-aktaf), pelepah kurma (al-usub), batu tulis warna putih (al-likhaf), serta bantalan dari kayu yang biasa dipasang di punggung unta (al-aqtab).
Nah, pada masa Nabi ini, seluruh isi Al-Qur’an telah ditulis. Hanya saja pada saat itu Al-Qur’an belum terhimpun dalam satu mushaf, artinya masih berserakan. Mengingat pada saat itu juga belum dikenal yang namanya pembukuan Al-Qur’an. Maka, tidak heran jika media penulisan wahyu masih menggunakan pelepah kurma dan lain sebagainya. Sebab pada saat itu, media penulisan seperti kertas maish belum ada.
Mengenai keautentikan naskah-naskah Al-Qur’an yang ditulis oleh para sahabat saat itu sudah dipastikan asli atau autentik. Sebab sebelum wafat, Nabi sudah mencocokkan setiap surah dan ayat Al-Qur’an yang diturunkan oleh Allah Swt. dengan Al-Qur’an yang dihafal dan ditulis oleh para sahabat. Jadi, Al-Qur’an yang ada hingga saat ini merupakan Al-Qur’an yang sama yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi melalui malaikat Jibril.
Penulis Wahyu dan Syarat-Syaratnya
Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, bahwa dalam proses penulisan Al-Qur’an ini sangatlah sederhana. Hal ini karena pada saat itu masih menggunakan media penulisan seadanya dan disertai ketelitian yang ekstra, yakni benar-benar atas pengawasan nabi. Bahkan pada saat itu, tidak sembarang orang bisa menulis wahyu. Sebab terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh para penulis wahyu.
Apa saja, sih yang menjadi syarat bagi para penulis wahyu? Menulis wahyu yang menjadi pegangan dan pedoman umat Islam merupakan suatu tanggung jawab yang besar. Tentu hal ini tidak bisa dilimpahkan kepada semua orang tanpa terkecuali. Pasti terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi seperti memiliki kemampuan dalam membaca dan menulis. Selain itu, para penulis wahyu juga harus memiliki kekuatan hafalan, integritas, serta kapasitas yang tinggi.
Lalu, siapa, sih para penulis atau pencatat wahyu yang telah memenuhi syarat-syarat tersebut? Mengenai jumlah dari para penulis wahyu ini tidaklah menentu, yang jelas jumlahnya sangatlah banyak. Ada yang berpendapat jumlahnya sekitar 10 orang, bahkan sampai lebih dari 65 orang. Sepuluh nama sahabat yang menulis wahyu pada saat di antaranya khulafaurasyidin, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Zubair, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, dan Abu Musa al-Asy’ari.
Nah, dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa setidaknya terdapat empat karakteristik penulisan Al-Qur’an pada masa Nabi Muhammad saw. Di antaranya yang pertama ialah semua bagian ayat dan surah dalam Al-Qur’an telah selesai ditulis. Kedua, pada saat itu Al-Qur’an belum terkodifikasi dalam satu mushaf. Ketiga, Surah-surah Al-Qur’an belum tersusun rapi dalam bentuk tulisan sebagaimana sekarang ini. Keempat, Al-Qur’an ditulis dengan al-ahruf al-sab’ah (tujuh huruf). Wallahu a’lam bi al-shawab.