Demokrasi dalam konteks masyarakat Muslim telah menjadi subjek kajian yang mendalam oleh para ilmuwan politik. Salah satu pendekatan yang semakin populer adalah pendekatan behavioristik yang dikembangkan oleh Gabriel A. Almond dan Sidney Verba. Analisis perilaku masyarakat Muslim mengarah pada kesimpulan bahwa sebenarnya, mereka memiliki karakteristik yang mendukung sistem demokratis. Saiful Mujani, dalam penelitiannya di Indonesia, menemukan pola-pola perilaku yang sejalan dengan masyarakat demokratis.
Penting untuk dicatat bahwa perilaku masyarakat Muslim Indonesia tidak jauh berbeda dengan perilaku masyarakat Kristen di Amerika Serikat atau masyarakat Italia, sebagaimana diteliti oleh Alexis de Tocqueville dan Robert D. Putnam. Modal sosial yang dimiliki masyarakat Muslim menjadi fondasi yang memungkinkan pertumbuhan demokrasi. Ini dapat diartikan bahwa nilai-nilai demokrasi dapat diakomodasi dan berkembang dalam konteks budaya dan agama yang beragam.
Sebuah pendekatan lain, yang muncul dari sayap pemikiran yang agak kiri, menyoroti peran gerakan sosial baru dalam mendorong demokrasi. Carrie Rosefsky Wickham, Yaroslav Trovimov, Noorhaidi Hasan, dan Burhanuddin Muhtadi adalah beberapa nama yang menggunakan pendekatan ini. Mereka menemukan bahwa agama, khususnya Islam, dapat menjadi motivasi utama dalam mendorong perubahan sosial.
Contoh nyata dari hal ini dapat ditemukan dalam gerakan politik di berbagai negara Muslim seperti Turki, Mesir, Arab Saudi, dan bahkan Indonesia. Kelompok-kelompok Islamis menggunakan agama sebagai sentimen moral untuk membentuk gerakan sosial yang menuju demokrasi. Ini mencerminkan potensi besar Islam sebagai agen perubahan sosial dan politik di dunia Muslim.
Sebelum dua pendekatan di atas berkembang, para sarjana Muslim juga telah berupaya mencari kompatibilitas antara sejarah dan doktrin Islam dengan konsep demokrasi. Nurcholish Madjid, seorang pemikir Muslim terkemuka, merumuskan gagasan tentang demokrasi Islam yang mendominasi pemikiran sarjana Muslim Indonesia. Baginya, Islam sejak awal telah memiliki wajah demokratis, dan ide bahwa Islam dan demokrasi tidak sejalan adalah pandangan yang terlalu sempit.
Sebagai contoh, para pendukung kompatibilitas antara Islam awal dan demokrasi sering merujuk pada khulafa’ al-rasyidun, keempat khalifah yang dianggap menerapkan sistem politik demokratis. Namun, Cak Nur (Nurcholish Madjid) menyoroti bahwa sistem demokrasi yang diperkenalkan oleh Islam pada masa itu terlalu maju dan akhirnya tergantikan oleh tren monarkhi.
Ketika kita menelusuri pemilihan khulafa’ al-rasyidun, kita melihat bahwa mekanisme pemilihan mereka tidak seragam. Abu Bakar terpilih melalui rapat dadakan di saqifah Bani Sâ’idah, dan tidak seluruh umat Islam memberikan bai’at kepadanya. Ali terpilih setelah enam bulan, dengan beberapa sahabat menolak memberikan bai’at hingga ditekan.
Pemilihan Umar bin Khattab tidak terlihat demokratis, karena ia ditunjuk langsung oleh Abu Bakar sebelum meninggal dunia. Utsman bin Affan juga menghadapi kompleksitas dalam pemilihan, dengan pertentangan di antara sahabat-sahabatnya. Kesemuanya menunjukkan bahwa proses pemilihan pada masa itu tidak sepenuhnya mengikuti prinsip-prinsip demokrasi sebagaimana yang kita kenal saat ini.
Pertanyaan muncul apakah pemilihan khulafa’ al-rasyidun dapat dianggap sebagai demokratis. Philip K. Hitti menyatakan bahwa praktik pemilihan pada masa itu sebenarnya hanyalah kelanjutan dari praktik politik kesukuan. Ini bukanlah demokrasi dalam pengertian modern. Muncul argumen bahwa Mu’awiyah, meskipun dianggap kontroversial, sebenarnya lebih maju dalam praktik politiknya, membentuk pemerintahan sekuler dan mengadopsi praktik politik dari negara-negara maju pada zamannya.
Pergeseran sistem politik Islam tidak hanya dapat dijelaskan oleh analisis doktrin dan sejarah semata. Interaksi dan perilaku masyarakat Muslim, bersama dengan aktor-aktor demokrasi yang terus bergerak, berkontribusi pada evolusi sistem politik di dunia Muslim. Pola-pola interaksi sosial yang terus berubah, ditambah dengan mobilisasi sumber daya oleh aktor-aktor demokrasi, menciptakan fenomena baru dalam perjalanan demokrasi di dunia Muslim.
Dalam menyikapi keterlibatan politik Islam dalam arus demokrasi saat ini, kita harus membaca ini sebagai hasil dari interaksi kompleks antara budaya, agama, dan dinamika sosial. Doktrin dan sejarah tetaplah menjadi bagian penting yang membentuk identitas, namun masa depan demokrasi Islam akan ditentukan oleh kemampuan masyarakat Muslim untuk bernegosiasi dan berinteraksi dengan realitas kehidupan saat ini. Sehingga, perlu disadari bahwa masa depan demokrasi Islam adalah hasil dari dinamika perubahan sosial yang terus berkembang.