Mega merah mulai menampakkan dirinya ke langit, menggusur matahari yang hanya separuh hari menemani perjalanan insan Tuhan, melintaslah segerombolan bangau di langit yang hampir malam itu, pertanda telah pulang dari peraduannya. Begitulah seterusnya siklus hidup di Desa Tanjung Biru, berputar statis, dengan hanya aktivitas itu-itu saja, meskipun ada dinamika, mungkin hanya sekelumit saja.
Rupanya, kepahitan hiduplah yang dirasakan oleh sebagian besar penduduk di desa ini, terlebih lagi kisah sepasang manusia, yang sudah menikah kira-kira 51 tahun lamanya. Setengah abad usia pernikahan, bukanlah waktu yang singkat.
Banyak sekali hal yang telah mereka lalui bersama, mulai dari getirnya hidup hingga rasa yang biasa-biasa saja atau kalau beruntung akan mencicipi bahagia. Yang berarti hanya sejenak saja bahagia itu dirasakan, kalau digambarkan mungkin sebatas lewat lalu hilang begitu saja, ya begitulah hidup. Sampai mereka rapuh dimakan usia.
Adalah seorang juru kunci makam desa yang sangat sepuh (tua), dengan telaten ia membersihkan rerumputan yang tumbuh liar di area makam. Kira-kira sudah 43 tahun lamanya, semenjak cerita pilu menghunus puing hidup mereka, menjual tanah satu-satunya untuk menyelamatkan buah cintanya, meskipun pada akhirnya semua adalah milik-Nya dan harus kembali pada-Nya.
“Aduh, cepatlah pulang pakne, hari sudah malam. Mbok ya punya rasa eman sama diri sendiri”, seorang wanita tua, yang kira-kira sudah 67 mondar-mandir di depan pintu rumah sembari meremas tangannya tanda khawatir, dengan penerangan 5 watt yang cukup untuk membantu penglihatan yang mulai mengabur.
Biar bagaimanapun, lelaki yang ditunggunya adalah orang yang menemaninya sejak usia 16 tahun, usia saat ia masih ranum, yang ia temui pertama kali saat menonton opera di lapangan desa.
Setengah jam berlalu, sekelebat bayangan muncul di bawah temaram lampu 5 watt di depan rumah itu. Perawakan yang tinggi dan jangkung membuatnya penglihatannya yang mulai mengabur yakin, itu suaminya yang baru pulang mengais kamboja untuk dijemur esok hari.
“Semoga hasilnya banyak,” ia bergumam pelan. Pelan sekali bahkan tidak dapat didengar oleh telinganya sendiri.
“Njenengan ini bikin aku khawatir saja pakne. Besok-besok mbok ya jangan sampai lewat maghrib begini. Toh, aku juga ndak yakin kalo penglihatanmu masih cetha (jelas) melihat kamboja-kamboja yang jatuh. Bikin aku panik saja” Ia masih berceloteh khas perempuan yang memperlihatkan kekhawatiran pada belahan jiwanya.
“Sudah lah mbokne, wong aku juga sudah pulang. Itu kamu lihat kamboja-kambojanya. Kamu keluarkan dari kresek. Jangan lupa besok dijemur”, ia menuju kamar mandi hendak membersihkan badan serta mengambil air wudu. Meskipun adzan maghrib sudah lewat dari tadi, tapi awan merah belum lenyap, pertanda belum manjing waktu isya’.
Mbokne membuka kresek yang berisikan kamboja tanpa tangkai, mengeluarkannya satu persatu, dan menempatkannya pada wadah datar, dengan maksud agar tidak cepat busuk. Terkadang, tatkala ia melakukan hal tersebut, ia teringat masa-masa ketika ia masih seorang gadis sebagai putri priyayi terpandang. Apapun yang diinginkan pasti akan dikabulkan oleh orang tuanya. apalagi jika berkaitan dengan materi. Namun, semua itu berubah ketika ia memilih jalan hidupnya sendiri, berkenalan dan menikah tanpa restu dengan orang yang mendampinginya saat ini.
Tatapannya kembali nanar, saat ia melihat sosok yang mendampinginya menyeduh teh yang dibuatnya selepas Ashar tadi. Teh dalam wadah mug dengan corak hijau putih, sesekali ia mengucap syukur, sesekali ia mengeluh. Begitulah manusia, sesi keluh dan sesi syukur pastilah ada.
“Mbokne, di jalan, aku tadi mendengar dari orang-orang, katanya harganya (kamboja) sedang naik”, Pakne membuka percakapan yang cukup menggembirakan, meskipun tanpa menyebutkan barang apa yang harganya naik, sepertinya si mbokne sudah paham. Ia manggut-manggut percaya, karena memang sedang musim hujan, jadi wajar saja harganya naik.
“Kita memang senang kalau harganya naik pakne, tapi itu juga sebanding dengan usaha yang kita lakukan. Lha wong jarang sekali matahari terik, lagian kalau musim begini, kamboja juga cepat busuk. Njenengan lupa to pakne?” sang istri menimpali. Kali ini ia berlagak tidak pikun. Biar bagaimanapun, terkadang perempuan memang sensitif terhadap hal demikian, mudah mengingat hal yang “mungkin” menyakitkan, juga hal-hal yang dianggap sebuah kesulitan dalam hidupnya.
“Mbuh, aku tadi ndak kepikiran begitu, pokoknya aku mendengar kalo harganya sedang naik, yawes aku nyari sebanyak-banyaknya to. Lagian kita hidup selain dari ngrawat makam juga dari kamboja itu to mbokne. Gusti Allah memang apikan (Mahabaik), ndak leren nek memberi rezeki, arahnya juga gitu, gak dinyono-nyono, (tanpa disangka-sangka)”, ia menutup pembicaraannya dengan menyesap sekali lagi teh buatan istrinya.
Lalu, Ia menatap nanar langit-langit rumah, mengingat wajah penasaran peziarah yang kadang menjumpainya memungut kamboja, seakan bertanya-tanya, “untuk apa kamboja tanpa tangkai itu?” [AA]
-Bersambung-
Klik Lanjutan di Sini