Beberapa pekan lalu beranda akun TikTok penulis diseliweri video tentang seorang perempuan muda yang sedang curhat dalam sebuah kajian yang diisi oleh Ust. Hanan Attaki. Rosita namanya. Di video tersebut Rosita bercerita terkait perjalanan hidupnya, tentang kondisi keluarganya, serta bagaimana ia bertahan hidup dan berjuang untuk menghidupi keluarganya.
Rosita merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Setelah lulus SMA, ia merantau ke Surabaya untuk bekerja dan menghidupi kedua adiknya yang masih menempuh pendidikan SMP dan SMA. Selain kedua adiknya, Rosita juga bertanggung jawab untuk menghidupi neneknya yang sedang lumpuh.
Sebagai anak pertama, Rosita mempunyai tanggung jawab penuh atas kedua adik dan neneknya di kampung. Oleh sebab itu, di Surabaya ia bekerja di tiga tempat. Mengapa harus Rosita yang bertanggung jawab atas keluarganya?
Dalam video tersebut ia menceritakan bahwa ayahnya telah meninggal, sedangkan ibunya pergi meninggalkan Rosita dan adik-adiknya sejak kecil. Kisah hidup Rosita turut mengundang haru dari peserta kajian yang lain. Sesekali respons tepuk tangan diberikan kepadanya sebagai bentuk penyemangat. Tak hanya itu, kisah Rosita yang viral juga turut mengundang haru dari warganet. Tidak sedikit yang memberikan doa dan dukungan.
Kisah Rosita tadi mengingatkan penulis kepada sebuah istilah yang pernah booming dua tahun lalu, yaitu Sandwich Generation atau generasi sandwich—agak berbeda dengan istilah yang familier kita dengar seperti Generasi Milennial atau Gen Z.
Mengutip dari tirto.id, istilah tersebut pertama kali diperkenalkan oleh Dorothy A. Milller, pada 1981. Dalam artikelnya yang berjudul “The Sandwich Generation: Adult Children of the Aging”, Miller menuturkan bahwa generasi sandwich adalah seseorang yang memiliki tanggung jawab membiayai kelangsungan hidup dan kesejahteraan anggota keluarga, seperti orang tua, kakak-adik, pasangan, dan anak-anak.
Menjadi generasi sandwich memang tidaklah mudah. Ibaratkan sandwich yang diapit dari atas dan bawah oleh roti, ia menanggung beban yang berat. Secara umum, tantangan yang dihadapi oleh generasi sandwich adalah tentang permasalahan ekonomi, di mana seseorang dituntut untuk bisa menghidupi dirinya sendiri dan keluarganya.
Lantas bagaimana Islam melihat fenomena ini? Allah telah berfirman dalam QS. Al-Isra’ [17]: 23, “Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik (iḥsāna) kepada ibu bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik.”
Quraisy Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah menyebutkan bahwa berbakti kepada orang tua adalah dengan bentuk bersikap sopan kepada keduanya dalam ucapan dan perbuatan sesuai dengan adat kebiasaaan masyarakat, serta mencukupi kebutuhan-kebutuhan mereka yang sah dan wajar sesuai kemampuan kita sebagai anak, sehingga mereka merasa senang terhadap kita.
Adapun kata iḥsāna bermakna memperlakukannya lebih baik dari perlakuannya terhadap kita. Oleh sebab itu, penggunaan kata tersebut menunjukkan bahwa seorang anak harus memperlakukan orang tua lebih baik atas apa yang orang tua lakukan kepada anak.
Ayat lain yang membicarakan tentang peran anak dalam membantu orang tua adalah QS. Al-Baqarah [2]: 215: “Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang apa yang harus mereka infakkan. Katakanlah, ‘Harta apa saja yang kamu infakkan, hendaknya diperuntukkan bagi kedua orang tua, kerabat, anak yatim, orang miskin dan orang yang dalam perjalanan.’ Dan kebaikan apa saja yang kamu kerjakan, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui.”
Dalam Tafsir Al-Mishbah dijelaskan bahwa sebaiknya harta diberikan kepada pertama, ibu-bapak, karena merekalah sebab wujud anak serta yang paling banyak jasanya. Selanjutnya kepada kaum kerabat yang dekat maupun yang jauh, dan lalu anak-anak yatim, yakni anak yang belum dewasa sedangkan ayahnya telah wafat. Kemudian kepada orang-orang miskin yang membutuhkan bantuan, dan selanjutnya kepada orang-orang yang sedang dalam perjalanan tetapi kekurangan bekal.
Dua ayat di atas menunjukkan bahwa keluarga atau kerabat terdekat merupakan orang pertama yang harus mendapat pertolongan atau bantuan. Dalam konteks generasi sandwich, menurut penulis, kedua ayat tersebut memiliki korelasi yang cukup signifikan, di mana pada ayat pertama seorang anak diperintahkan untuk berbakti kepada kedua orang tua, sedangkan pada ayat kedua bentuk dari bakti seorang anak adalah menafkahi orang tua jika kedua orang tua sudah tidak mampu lagi untuk bekerja.
Menjadi generasi sandwich merupakan suatu hal yang tidak selalu tentang beban. Namun, ia bisa menjadi sebuah keberkahan karena Islam sangat menghargai perbuatan baik seseorang terlebih lagi perbuatan baik tersebut dilakukan untuk orang tua dan keluarga.
Bersyukur, ikhlas dan ikhtiar adalah kunci agar seseorang tidak merasa terjebak dalam generasi sandwich. Walaupun memang tidak sesederhana itu, mengeluh, merasa lelah, atau bahkan menangis bukanlah masalah, karena itu amatlah manusiawi. Mengutip pernyataan Ibu Nyai Ainun Hakiemah, letak pahala ada pada proses, sedangkan hasil ada pada ketetapan Tuhan. Wallahualam [AR]