Khairun Niam Mahasiswa sekaligus santri Pondok Pesantren Nurul Ihsan Yogyakarta

Pentingnya Belajar Aksara Jawa

2 min read

Beberapa hari yang lalu saya mengikuti pelatihan menulis aksara Jawa di Pesantren Aksara Bina Mulia Bantul Yogyakarta. Pelatihan yang dilaksanakan selama dua hari tersebut menjadi pengalaman baru bagi saya pribadi. Bagaimana tidak, sebagai orang non-Jawa, belajar aksara merupakan sebuah pengalaman yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya. Berangkat dari latar belakang saya pribadi, saya mengira bahwa belajar aksara Jawa cukup rumit  namun justru sebaliknya. Metode “cara ngapak” yang disampaikan Pak Fikri selaku pemateri cukup mudah saya terima.

Berbicara tentang aksara, mengutip dari goodnewsfromindonesia.id Aksara Nusantara merupakan beragam aksara atau tulisan yang lazim digunakan di Indonesia, secara khusus menuliskan bahasa daerah tertentu. Istilah Aksara Nusantara sendiri kerap dikatikan dengan aksara hasil inkulturisasi kebudayaan India sebelum berkembangnya Islam dan sebelum zaman kolonialisasi di Indonesia. Saat ini terdapat 12 aksara daerah yang merupakan bagian dari kekayaan kesusastraan dan budaya indonesia. Aksara tersebut yaitu Aksara Jawa, Bali, Sunda Kuno, Bugis atau Lontara, Rejang, Lampung, Karo, Pakpak, Simalungun, Toba, Mandailing, dan Kerinci.

Setiap wilayah di Indonesia memiliki ragam budaya serta bahasa dan aksara yang berbeda-beda, bahkan jika di telusuri lebih lanjut maka dapat ditemukan berbagai aksara selain 12 aksara yang telah disebutkan di atas. Mengutip dari wikipedia tercatat bahwa sejak abad ke 4 bangsa Indonesia telah mengenal bahasa tulis yang berkembang mengikuti perkembangan bahasa lisan. Perkembangan ini dimulai sejak bahasa daerah (Melayu Kuno dan Jawa Kuno) yang dituangkan dalam bentuk tulisan.

Penulisan Aksara mulai berkembang di Nusantara sejak abad ke 15 dengan ditandai munculnya beragam aksara untuk menuliskan berbagai bahasa daerah, namun seiring berjalannya waktu penggunaan aksara Nusantara mengalami penurunan karena perannya sudah mulai tergeser oleh abjad Arab dan alfabet latin. Sebagaimana budaya lokal, hari ini Aksara Nusantara yang merupakan salah satu warisan budaya nyaris punah karena penggunaannya yang mulai berkurang.

Baca Juga  Keberlanjutan Pandemi dan Akselerasi “Kecuekan” Sosial

Merawat Tradisi dengan Digitalisasi

Saya teringat ketika sedang menjalani proses pelatihan, saya sempat memasang story di Whatsaap dan tak lama setelah itu teman saya mengomentari dengan mengatakan “wah jarang sekali ada yang tertarik dan mau belajar aksara”. Respon teman saya tersebut menggambarkan bahwa memang hari ini sangat minim sekali orang-orang yang ingin mendalami aksara di daerahnya masing-masing.

Minimnya penggunaan aksara di Indonesia membuat pemerintah berusaha lebih keras lagi dalam menjaga budaya tulisan yang hampir punah tersebut. Salah satu upaya yang dilakukan oleh Pemerintah adalah dengan memanfaatkan kemajuan teknologi informasi saat ini. Mengutip dari indonesia.go.id Pengelola Nama Domain Internet Indonesia (PANDI) berupaya melakukan digitalisasi aksara Nusantara dalam rangka mempertahankan dan merawat aksara Nusantara. Menurut ketua PANDI Yudho Giri Sucahyo, saat ini baru tujuh aksara Nusantara yang telah digitalisasi dan terdaftar di dalam Unicode, aksara tersebut adalah Jawa, Sunda Kuno, Bugis Rejang, Batak dan aksara Pegon.

Pendaftaran aksara daerah di Unicode penting dilakukan agar aksara-aksara daerah bisa masuk ke format internationalize domain name (IDN) agar aksara yang telah didaftarkan dapat digunakan di internet. Namun, karena penggunaan aksara yang masih berada pada level limited usage menyebabkan tidak mudahnya untuk mendaftarkan aksara daerah ke Unicode. PANDI juga berupaya untuk mendapatkan ISO 10646 agar aksara Nusantara yang telah terdaftar dapat di tampilkan dalam keyboard komputer sehingga lebih mudah untuk digunakan di platform media sosial. Selengkapnya baca di https://indonesia.go.id/ragam/budaya/kebudayaan/digitalisasi-aksara-nusantara-agar-lestari

Aksara Sebagai Penguat Identitas

Sebagaimana telah penulis sebutkan di atas bahwa setiap suku memiliki bahasa dan aksaranya sendiri-sendiri. Artinya bahwa aksara tersebut dapat menjadi ciri khas setiap daerah dan menjadi identitas dari suku tersebut. Mengapa demikian, karena aksara salah satu bagian dari warisan budaya yang ada di indonesia. Namun, permasalahannya adalah hari ini masih banyak orang-orang yang beranggapan belajar aksara dianggap kolot dan kuno, padahal jika disadari lebih dalam banyak sekali pengetahuan-pengetahuan tempo dulu yang bisa kita temukan dari serat-serat yang bertuliskan aksara.

Baca Juga  Aksi Bom Bunuh Diri di Polsek Astana Anyar: Benarkah Mencoreng Upaya Deradikalisasi?

Oleh karena itu, penting untuk mempelajari aksara Nusantara sebagai jembatan pengetahuan hari ini dan masa lalu, dan juga sebagai identitas diri, identitas suku, bangsa dan identitas peradaban suatu masyarakat yang mana aksara tersebut dapat berfungsi menjadi pembeda antara suku satu dan suku lain, bahasa satu dan bahasa yang lain. Upaya digitalisasi aksara Nusantara yang dilakukan PANDI dapat dimanfaatkan secara maksimal untuk memperkenalkan kembali budaya Nusantara yang mulai terkikis.

Khairun Niam Mahasiswa sekaligus santri Pondok Pesantren Nurul Ihsan Yogyakarta