Bagi sebagian santri yang pernah nyantri di tanah Jawa, istilah sorogan bukanlah sebuah istilah yang baru pertama kali didengar. Tak hanya itu, para santri di Jawa sudah pasti telah mempraktekkan metode ngaji sorogan tersebut. ini sangat berbeda dengan penulis, walaupaun penulis memang pernah nyantri di Jawa, namun istilah sorogan cukup asing didengar. Beberapa minggu ini penulis merasa mendapatkan pengalaman baru karena untuk pertama kalinya penulis mempraktikkan ngaji sorogan di pesantren yang penulis tempati sekarang.
Sependek pengetahun penulis terdapat dua metode ngaji di pesantren yang penulis ketahui dari teman-teman yang pernah nyantri di pesantren salaf yaitu sorogan dan Bandongan. Mengutip dari Ensiklopedia Nusantara sorogan berasal dari kata “sorog” dalam bahasa Jawa bermakna menyodorkan. Dalam metode ini para santri maju satu persatu secara bergiliran dihadapan kyai atau ustadz. Sedangkan bandongan bermakna berbondong-bondong.
Perbedaan kedua metode ini adalah jika sorogan dilakukan secara individual sedangkan bandongan dilakukan secara beramai-ramai dan berkelompok. Sebenarnya metode bandongan sudah umum dilakukan karena dalam prakteknya para santri hanya sebagai pendengar, ini sama halnya dengan pengajian-pengajian yang sering kita ikuti di luar.
Berbeda dengan sorogan yang mana santri langsung berhadapan seorang diri dengan kyai. Hal inilah yang unik menurut penulis karena sebagai sebuah metode pendidikan tradisional, sorogan tetap eksis sampai sekarang dan hanya dilakukan di dalam pesantren.
Sorogan Sebagai Metodologi Membaca Kitab Kuning
Berkembangnya pendidikan di Indonesia turut mempengaruhi model pendidikan yang ada di pesantren. Seperti yang kita ketahui bahwa hari ini model pendidikan di pesantren hadir dengan tipologi yang beragam. Mengutip dari Muhammad Nihwan dalam artikelnya terdapat tiga tipologi pesantren yaitu salaf, modern, dan semi-modern.
Perbedaannya terletak pada fokus utama pendidikan di pesantren. Pesantren salaf lebih fokus dalam pendidikan agama, sedangkan modern dan semi-modern lebih terbuka dengan pengetahuan umum. Adapun metode sorogan ini lebih identik dengan pesantren salaf.
Sebenarnya secara teknis ngaji kitab kuning dengan metode sorogan cukup sederhana. pertama-tama sebelum memulai pengajian kyai atau ustad membacakan terlebih dahulu bab yang akan dikaji beserta maknanya, sedangkan para santri menyimak serta memberi catatan jika perlu.
Kedua, setelah membacakan kitab kepada para santri, maka kemudian kyai atau ustad memerintahkan para santri maju satu persatu dengan mengulang kembali apa yang telah dibacakan tadi dan disertai dengan maknanya pula.
Ketiga, ketika seluruh santri telah selesai melaksanakan sorogan maka kyai atau ustadz tadi membacakan bab yang akan dibaca pada pertemuan berikutnya. Hal ini bertujuan agar para santri melakukan persiapan untuk pertemuan selanjutnya. Biasanya ngaji sorogan ini dilakukan di langgar (musholla) atau di rumah kyai itu sendiri.
Namun, sebelum masuk kepada langkah-langkah metode sorogan, mula-mula para santri harus mempelajari tata bahasa Arab seperti ilmu Nahwu dan Shorof yang merupakan pengetahuan dasar dalam membaca kitab kuning.
Kelebihan Metode Sorogan
Walaupun masuk dalam kategori klasik tetapi metode sorogan sangat efektif untuk mengawal perkembangan para santri dalam belajar kitab kuning. Dalam sistem ini guru secara langsung mentransfer keilmuannya kepada santri tanpa melalui perantara siapapun. Dengan sistem mengaji secara face to face apabila terdapat kesalahan dalam membaca kitab kuning maka akan langsung dikoreksi oleh kyai atau ustadz.
Selain itu para santri juga akan mendapat respon yang berbeda dari kyai/ustad. Perlakuan tersebut disesuaikan dengan tingkat kemampuan santri itu sendiri, maka setiap santri dipastikan akan mendapatkan pengetahuan baru setelah melakukan praktek sorogan baik dari struktur bahasa Arab ataupun makna dan pesan yang disampaikan dalam sebuah kitab.
Mengapa demikian? Karena metode sorogan tidak hanya sekedar membicarakan struktur sebuah kalimat saja tetapi juga mencoba untuk melihat isi dan ajaran yang tertuang dalam kitab-kitab kuning tersebut. Kyai atau ustadz sebagai tutor dalam metode sorogan tidak hanya sekedar membacakan teks tetapi juga turut memberikan interpretasi mereka secara pribadi.
Seperti yang telah penulis katakan sebelumnya bahwa metode pengajaran di pesantren tidak hanya sorogan saja. Namun, hemat penulis metode sorogan ini sangat efektif dalam mengajari serta membimbing santri untuk belajar membaca kitab kuning di pesantren karena dalam proses pembelajarannya terjadi interaksi secara langsung antara kyai/ustadz dan santri. Interaksi inilah yang menjadi ciri khas dalam motode sorogan.