Satu hari lagi bulan Ramadan akan segera berakhir. Sebagaimana yang kita ketahui, bulan Ramadan dibagi menjadi tiga fase penting. Fase pertama adalah pada 10 hari pertama, yang disebut sebagai fase rahmat. Pada fase ini, Allah membuka pintu rahmatNya sebesar-besarnya bagi umat Muslim.
Selanjutnya, pada 10 hari kedua merupakan fase maghfirah (ampunan). Sementara 10 hari terakhir adalah fase pembebasan dari api neraka. Pada fase terakhir ini, umat Islam berlomba-lomba dalam ibadah dengan tujuan untuk mencapai malam lailatulqadar, di mana mereka melakukan iktikaf di masjid.
Dalam melakukan aktivitas iktikaf di masjid, para muslim didukung oleh beberapa fasilitas yang telah disediakan oleh masjid. Mulai dari makanan dan minuman, bahkan beberapa masjid menyediakan menu sahur bagi yang melakukan iktikaf.
Tujuannya adalah untuk meramaikan masjid dan meningkatkan semangat beribadah bagi para pelaku iktikaf, sehingga mereka tidak perlu pulang ke rumah untuk sahur dan dapat melanjutkan dengan salat subuh berjamaah.
Hal ini karena pada 10 malam terakhir Ramadan, aktivitas iktikaf semakin ramai dilakukan karena diyakini bahwa malam-malam tersebut terdapat malam yang sangat istimewa, yaitu malam lailatulqadar. Allah telah menjelaskan banyak tentang keistimewaan malam ini dalam Al-Qur’an.
Lailatulqadar dalam Al-Qur’an
Penjelasan mengenai malam lailatul qadar dalam al-Qur’an terlatak pada surah al-Qadr [97]: 1-5 yang artinya:
Sesungguhnya kami telah menurunkan (Al-Qur’an) pada malam qadar. Tahukah kamu apa itu malam kemuliaan itu. Malam kemuliaan itu lebih baik daripada seribu bulan. Pada malam itu turun para malaikat dan Ruh (Jibril) dengan izin Tuhannya untuk mengatur semua urusan. Sejahteralah (malam) itu sampai terbit fajar.
M. Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbah menjelaskan bahwa malam lailatulqadar tidak bisa digambarkan secara rasional karena sukar untuk menjangkaunya karena malam tersebut sangat hebat dan mulia. Al-Qur’an hanya menggambarkan bahwa malam lailatulqadar lebih baik dari seribu bulan. Tetapi paling tidak, terdapat empat pendapat para ulama tentang makna lailatulqadar.
Pertama, penetapan. Malam lailatulqadar merupakan malam penetapan Allah atas perjalanan hidup makhluk selama setahun. Hal ini dikuatkan dengan firman Allah pada QS. al-Dukhan [44]: 3-4 yang artinya:
Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkati. Sungguh, Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan urusan yang penuh hikmah.
Kedua, pengaturan. Pada malam turunnya Al-Qur’an, Allah mengatur khittah atau strategi bagi nabi-Nya, Muhammad, guna mengajak manusia kepada kebajikan.
Ketiga, kemuliaan. Ini berarti bahwa sesungguhnya Allah telah menurunkan Al-Qur’an pada malam yang mulia. Malam tersebut menjadi mulia karena kemuliaan Al-Qur’an.
Keempat, sempit. Pada malam turunnya al-Qur’an, malaikat begitu banyak yang turun sehingga bumi menjadi penuh sesak bagaikan sempit.
Iktikaf: Seni Refleksi Diri
Berangkat dari kemuliaan malam lailatulqadar, umat Islam berlomba-lomba melakukan iktikaf (berdiam diri di dalam masjid) pada malam 10 hari terakhir di bulan Ramadan, khususnya yang bertepatan dengan tanggal ganjil.
Dalam aktivitasnya, terkadang dilakukan beberapa rangkaian ibadah seperti salat malam, wirid, zikir, dan membaca Al-Qur’an. Selain itu, iktikaf juga merupakan salah satu sarana bagi seseorang untuk refleksi spiritual dan introspeksi terhadap diri sendiri akan kesalahan dan dosa-dosa yang pernah dilakukan.
Istilah Al-Qur’an yang menyatakan bahwa lailatulqadar lebih baik dari seribu bulan bukanlah sekadar bualan saja, tetapi memang pada malam itu seseorang bisa mendapatkan kemuliaan, dan nilai seribu bulan itu diperoleh sebagai hasil ibadah dan pendekatan kepada Allah selama bulan Ramadan.
Malam lailatulqadar akan diperoleh oleh seseorang dengan cara yang berbeda-beda. Secara substansi, nilai-nilai kemuliaan malam lailatulqadar dapat merubah seseorang menjadi lebih baik dari sebelumnya. Rangkaian ibadah yang dilakukan secara tulus dan ikhlas akan menghasilkan sebuah kedamaian dan ketenangan, sehingga mengubah secara total sikap hidupnya.
Perubahan tersebut akan dirasakan ketika seseorang yang sebelumnya sering melakukan dosa-dosa kecil atau besar, pada saat itu akan muncul kesadaran di dalam hati dan diri orang tersebut, kesadaran akan dosa-dosa yang pernah dilakukan dan juga menyadari bahwa manusia merupakan makhluk yang sangat lemah di hadapan Allah. Refleksi spiritual yang dilakukan tersebut dapat mengantar seseorang untuk lebih dekat kepada Allah.
Refleksi spiritual seperti itulah yang menjadi tanda bahwa seseorang telah mendapatkan substansi lailatulqadar. Kesadaran diri yang muncul pada malam ganjil 10 hari terakhir bulan Ramadhan menjadi pengalaman meningkatkan level spiritual seorang hamba kepada Allah.
Apabila kesadaran untuk memperbaiki diri telah muncul dalam dirinya, maka akan memiliki pengaruh yang sangat besar dalam sikap dan pola hidupnya sehingga orang tersebut merasakan bahwa ia telah lahir kembali secara fitri. Wallahualam. [AR]