Di antara rentetan kisah keluarga Tambakberas, terdapat kisah hidup perempuan sufi yang memiliki pesona tersendiri untuk diungkap. Meski kiprahnya tak begitu terdengar dalam lintasan sejarah madrasah maupun pesantren, Neng Bariroh memiliki ruang tersendiri bagi sebagian orang yang mengenalnya.
Lahir dari rahim Nyai Mas Wardliyah Abdurrahim dalam kondisi normal, Neng Bariroh mengalami cacat mata (kebutaan) ketika masa pertumbuhan. Kondisi ini semakin memilukan seiring dengan wafatnya sang ayah, yakni Kiai Abdur Rohim yang merupakan adik kandung dari Kiai Wahab Hasbullah. Krisis ekonomi yang menimpa keluarga Nyai Mas Wardliyah sepeninggal Kiai Abdur Rahim berujung pada pengalihan hak asuh Neng Bariroh kepada Nyai Sa’diyyah Wahab untuk kemudian dibuatkan kamar tersendiri di sudut musholla Pondok pesantren al-Lathifiyyah.
Perempuan berkulit putih ini dikenal sebagai hafidzoh yang istiqomah. Pada masa itu, masih jarang ditemui para penghafal Alquran. Meskipun penglihatannya tak berfungsi dengan sempurna, hal itu sama sekali tidak menghambat dalam menempuh proses hafalan Alquran. Sebagaimana ungkapan Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, “Umumnya, Allah mengganti anggota badannya dengan keistimewaan lainnya yang membuat ia merasa ringan dengan penglihatannya yang hilang.” (Syarh Riyadh al-Shalihin).
Salah satu proses transmisi ilmu yang diajarkan Kiai Wahab adalah dengan cara melantunkan beberapa potongan surat dalam Alquran untuk selanjutnya ditirukan oleh Bariroh kecil, sebagaimana yang dikisahkan oleh keponakannya, Umdah Nasrullah. Bariroh kemudian mengulang lantunan bacaan Kiai Wahab beberapa kali hingga betul-betul hafal. Istimewanya, proses hafalan seperti ini terhitung tidak berlangsung lama, karena beliau memiliki kecerdasan dan daya ingat yang amat tajam.
Neng Bariroh merupakan salah satu keponakan yang beruntung pernah merasakan limpahan kasih sayang yang tercurah dari pasangan Nyai dan Kiai Wahab Hasbullah. Semasa hidupnya, beliau tak pernah goyah akan gemerlap dunia. Bertahun-tahun beliau melalui hari-hari di dalam bilik yang menempel di musala al-Lathifiyyah. Kesehariannya tak pernah lepas dari bergulirnya tasbih yang mengitari jari-jemarinya. Lisannya tiada henti akan lantunan kata indah memuji sang maha pencipta. Beliau tak pernah meninggalkan kamarnya kecuali kebutuhan khusus, seperti halnya berobat. Konon para santri menyebut beliau dengan sebutan paku bumi karna riyadhah-nya.
Proses pembersihan jiwa telah beliau lalui, segala upaya meditasi untuk mendekatkan diri kepada Sang Maha Pencipta secara kasat mata pun telah beliau tempuh. Harmoni kehidupan yang selama ini diimpi-impikan oleh setiap insan seakan-akan terwujud ketika hati telah bersih dari segala noda keburukan. Kebersihan dan kejernihan hati dari segala sifat tercela merupakan indikasi seorang hamba dapat lebih dekat dan mengenal Allah.
Meski penglihatanya tidak berfungsi, ketajaman mata batin beliau sangat bergejolak. Beliau mengetahui siapa saja yang keluar masuk menginjakkan kaki ke dalam kamarnya. Saat itu memang ada beberapa santri yang terkadang diamanahi untuk menemani beliau secara bergantian. Terkadang mereka sengaja datang hanya untuk mencari kesunyian. Tak jarang dari mereka yang datang menyimak hafalan Neng Barir tanpa cela sedikitpun. Namun tidak semua yang ingin menemani beliau diterima begitu saja.
Rutinitas menjalankan puasa daud serta kesucian hati yang melekat mengatarkannya pada tingkat kesensitivitas dalam berinteraksi. Keterusterangan beliau semacam detektor diri untuk menguji apakah kita cukup memiliki kebaikan atau harus berintropeksi. “ Setidaknya kita tahu bahwa kebaikan datang dari hati bukan sesuatu yang dibuat-buat untuk mencari simpati ”.
(sumber cerita: Tambakberas Menelisik Sejarah Memetik Uswah hal. 56)
[HM]