Nuzulul Khair Dosen Tasawuf dan Psikoterapi, Fakultas Ushuluddin, Instika Guluk-Guluk Sumenep

Lebaran dan Psikologi Memaafkan di Tengah Pandemi

2 min read

Sudah menjadi ritual, setelah kurang lebih satu bulan berpuasa umat Muslim di seluruh dunia melaksanakan salat Idul Fitri dan merayakan lebaran. Suatu perayaan yang dilakukan sebagai titik kulminasi pendakian spiritual yang dilakukan sebelumnya—menahan lapar dan dahaga, serta beragam riyādhah batin yang menyertai. Berbagai ikhtiar lahir maupun batin selama berpuasa, merupakan salah satu etape untuk menjadi insan (pribadi) yang lebih baik di mata manusia, khususnya di hadapan Tuhan.

Kaitannya dengan momen lebaran, umat muslim pada umumnya melakukan silaturahim dan bermaafan pada sanak kerabat, tetangga, dan segenap handai tolan. Silaturahim dan bermaafan, merupakan momen khas yang dilakukan selepas melaksanakan shalat Idul Fitri. Lebih tepatnya, silaturahim yang dilakukan saat momen lebaran diisi dengan kegiatan saling memaafkan. Upaya saling memaafkan dilakukan karena memiliki dampak yang positif, terutama untuk kehidupan manusia sebagai makhluk sosial.

Pertanyaannya, kenapa saling memaafkan terus-menerus dilakukan dan hampir menjadi ritus tahunan?

Sebab, setiap manusia pasti memiliki kesalahan terhadap manusia yang lain, baik kesalahan yang disengaja ataupun yang tidak disengaja. Hampir tidak ada manusia di dunia ini yang bebas dari kesalahan. Karena kesalahan itu adalah bagian dari fitrah kehidupan manusia, yang sarat dengan keterbatasan—alinsān mahall al-khata‘ wa al-nisyān. Pada sisi yang lain, setiap manusia punya kecenderungan untuk memperbaiki kesalahan yang dilakukan dengan cara meminta maaf ataupun dengan memberi maaf.

Memaafkan merupakan anjuran Allah dan Rasul. Memaafkan melalui momen silaturahim juga bertujuan untuk menyambung tali persaudaraan yang putus. Rasul bersabda: “laysa al-muwāshil bi al-mukāfi’ wa lākin al-muwāshil ‘an tashila man qatha’aka,” yang maknanya; bukanlah bersilaturrahim orang yang membalas kunjungan atau pemberian, tetapi yang bersilaturahim adalah menyambung apa yang putus. Dalam konteks menyambung apa yang putus, pendekatan yang rasional adalah lewat medium saling memaafkan.

Baca Juga  Manusia, Tangan Tuhan dan Kebebasan Diri: Kreativitas, Ilmu, dan Iman [3]

Selain itu, memaafkan merupakan bagian dari etika sosial. Seperti yang ditegaskan oleh Prof. M. Quraish Shihab dalam buku Membumikan al-Qur’an, Al-Qur’an tidak hanya menuntut seseorang untuk memaafkan orang lain, tetapi lebih dari itu, yakni berbuat baik terhadap orang yang pernah melakukan kesalahan terhadapnya. Sebagaimana juga menjadi prinsip yang dipegang oleh tarekat Chistiyah, kemampuan tertinggi adalah pada saat; melakukan apa yang kauinginkan agar orang lain melakukannya bagimu.

Kembali pada hakikat lebaran dan Idul Fitri, yaitu kembali pada kesucian. Fitrah bermakna kesucian. Kalau kita memahami secara substantif, maksud dari kesucian adalah kebersihan rohani kita dari kebencian, amarah, dengki, dan noda-noda batin lainnya. Maka, berkaca pada makna dari Idul Fitri, setiap orang yang berlebaran mesti menyadari bahwa setiap orang bisa melakukan kesalahan dan kekeliruan. Berbekal kesadaran tersebut, ia mestinya bisa saling memaafkan. Lantas, bagaimana sesungguhnya hakikat saling memaafkan?

Merujuk pandangan Psikolog Asep Haerul Gani di dalam bukunya forgiveness therapy, dalam tema pemaafan, tidak cukup hanya dengan mengucapkan “minta maaf”. Jika dilihat dari sudut pandang orang terzalimi, mereka menanggung beragam kerugian karena telah terdhalimi, entah berupa harta, martabat, relasi yang dibangun bertahun-tahun dan semacamnya. Oleh sebab itu, pernyataan minta maaf perlu diikuti dengan upaya perbaikan. Tanpa diikuti upaya perbaikan, maka ucapan minta maaf hanya menjadi jargon dan berakhir sia-sia.

Tema pemaafan juga tidak selesai dengan menyebutkan kata “memaafkan”. Indikator bahwa orang sudah benar-benar memaafkan adalah tiadanya reaksi fisiologis yang menyertai. Yang bisa mencermati adalah diri yang bersangkutan. Sederhananya, apabila orang yang terzalimi bertemu dengan yang didhalimi, lalu pihak terdhalimi merasa tenang, tidak tegang, nyaman, dan terbebas dari emosi negatif, ini menunjukkan orang itu sudah netral, atau lapang. Jika hal tersebut belum terjadi, tidak masuk kategori memaafkan.

Baca Juga  Memetik Hikmah dari Kisah Semut dan Para Nabi

Bahkan, terkait sikap lapang ini, Prof. M. Quraish Shihab menempatkan posisinya lebih tinggi daripada maaf. Secara harfiah, kelapangan diambil dari kata al-shafhu. Derivasinya terdapat shafhat yang bermakna lembaran serta mushāfahāt yang bermakna berjabat tangan. Jika ditilik secara gramatikal, hakikat dari saling memaafkan tidak identik dengan berjabat tangan, melainkan yang jauh lebih esensial adalah melapangkan dada sehingga batin dalam kondisi netral dan siap untuk membuka lembaran yang baru.

Dengan demikian, memaafkan di tengah pandemi tidak harus berjabat tangan ataupun bertemu secara langsung. Memaafkan juga tidak dibatasi pada momen lebaran semata, tetapi bisa kapan saja sepanjang manusia memiliki niat baik untuk memperbaiki apa yang telah diperbuat selama menjalani kehidupan. Walaupun, momen Idul Fitri secara hakikat mengandung spirit saling memaafkan, namun di tengah pandemi menunda untuk bertatap muka adalah tindakan yang arif. Tanpa bertatap muka, kita juga belajar melapangkan dada.

Semoga, semua niat baik kita mendapatkan jalan kemudahan dan rida dari Allah. Selama kita masih tetap berikhtiar dan berdoa. [MZ]

Nuzulul Khair Dosen Tasawuf dan Psikoterapi, Fakultas Ushuluddin, Instika Guluk-Guluk Sumenep

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *