Aku masih meringkuk di balik selimut. Meskipun udara tidak sedang dingin, entah apa sebabnya tubuhku menggigil hebat. Kutambahkan lagi sajadah yang tadi kugunakan salat berjamaah di kompleks. Masih kusahut juga selimut lain dan keben. Geligiku bergemelutuk saking gak kuatnya menahan dingin. Rasanya sampai menusuk tulang dan persendian.
“Hanaa, aku mau turun ambil sarapan. Mau sekalian aku ambilkan?” Tawaran Najma kujawab dengan anggukan di tengah gigil hebat yang kurasakan. Mataku sulit sekali kubuka. Kepalaku pening luar biasa. Bibirku berusaha menjawab tawaran Najma tapi yang keluar hanya rintihan dan ceracau yang tidak jelas.
“Allah Karim, kamu kenapa? Badan kamu panas sekali, Han. Ya Allah. Tunggu ya. Aku panggil Ablah Abir. Tahan ya.”
Tanpa peduli dengan responsku, derap langkah Najma terdengar tergopoh berlari dan menutup pintu dengan keras. Nampaknya dia panik. Padahal tidak perlu berlebihan, aku tidak apa-apa, hanya kedinginan. Eh, tapi tadi Najma bilang badanku panas. Entahlah, sejak habis wudhu sebelum salat shubuh tadi aku merasakan dingin yang teramat sangat. Tapi kutahan sampai salat selesai dan kembali ke kamar.
“Fii eh, Ya Hanaa? Apa yang kamu keluhkan?” Pertanyaan pertama yang dilontarkan Ablah Abir begitu duduk di sampingku. Telapak tangannya yang hangat ia tempelkan di keningku. Dari suaranya aku tahu ini Ablah Bebah, salah satu pengurus yang biasa mengurusi dapur asrama. Orangnya sangat baik dan perhatian. Tidak hanya Ablah Bebah, hampir semua Ablah di sini peduli dan perhatian kepada kami. Selain itu mereka juga sigap dan tanggap terhadap keluhan atau kesulitan kami.
Oh ya, Ablah Abir adalah panggilan kami para penghuni asrama untuk pengurus. Ada beberapa departemen kepengurusan di sini. Keamanan, kebersihan, kesehatan, olahraga, keputrian dan beberapa departeman lain.
“Aku tidak apa-apa, Ablah. Hanya kedinginan dan pusing,” jawabku terbata-bata.
“Tapi badannya panas sekali, Ablah. Apa tidak sebaiknya ke dokter?”
“Oke, Najma. Bantu Hanaa bersiap, kita ke Mustasyfa Azhar. Lebih cepat dan dekat. Aku panggil Ablah Hindun.”
Dengan cekatan Najma mencarikan jilbab untukku. Ia menyahut jibab instant dengan tali pada bagian kepala yang tersampir di pintu lemari bajuku. Jilba b berbahan crepe yang cukup lebar dan biasa aku pakai sehari-hari. Tubuhku baru terasa tak berdaya ketika Najma mencoba membantuku untuk bangun. Alhasil, aku hanya bisa bersender di pundak Najma. Mataku juga tetap enggan kubuka.
Karena melihatku yang masih terus mengggil, Najma memasangkan kaus kaki, sarung tangan dan mantel tebal miliknya ke tubuhku. Ia juga melapisi tubuhku dengan selimut rasfour miliknya. Tetapi meski sudah ditutup berlapis-lapis, aku tetap merasa sangat kedinginan.
“Sabar ya, Han. Tahan ya…”
Tubuhku lemas. Kucoba membuka mata tapi tak kuasa, sakit kepalaku semakin menjadi saat aku duduk. Lalu gelap dan samar kudengar suara Ablah kabir masuk ke kamar.
Aku bisa mendengar semua yang Najma dan Ablah Bebah bincangkan. Najma yang panik dan Ablah yang mencoba menenangkan dengan suaranya yang tegas dan lantang. Sayangnya, mataku tak sanggup sebentar saja kubuka. Hingga semua suara itu terasa menjauh bersamaan dengan tubuhku yang terasa semakin ringan. Lalu sepi dan gelap.
******
“Tensi darahmu rendah, makanya sampai pingsan. Tadi dokter bilang hasil lab baru bisa diserahkan nanti sore. Insha Allah Kullu Kuways.”
Ablah Bebah mengelus tanganku yang ditusuk jarum infus. Aku mengangguk dan mengucapkan terima kasih atas bantuan dan perhatiannya. Ablah Bebah memohon izin karena harus melanjutkan tugas di asrama.
Ternyata total hampir satu jam lamanya aku tak sadarkan diri. Aku bahkan tidak tahu apa saja yang aku lewatkan selama aku pingsan. Begitu sadar, yang kulihat Najma dan Ablah Bebah di sini.
Tubuhku sudah tak lagi menggigil, tapi dari hawa panas napas yang kuhela, aku mekasir suhu tubuh masih di kisaran 38°. Jarum infus yang menempel di punggung tangan membuatku agak kesulitan bergerak.
Sementara aku butuh mengambil ponsel untuk menelepon seseorang yang sudah kujanjikan bertemu hari ini.
“Tolong ambilkan ponselku di sana ya, Ma…,” pintaku seraya menunjuk meja kecil di dekat pintu. Najma mengikuti arah telunjukku dan mengambilkan ponsel dari sana.
“Mau kuteleponkan Ibuk?”
Aku menggeleng cepat, “Aku mau menelepon Salima, takutnya dia menunggu karena hari ini kita janjian mau ke hadiqah .”
Kurasa Ibuk tidak perlu tahu dulu, pasti akan khawatir dan menganggu pikirannya. Beruntung tadi Najma berinisiatif membawa ponselku ke sini.
Aku berusaha bangun ketika hendak menerima ponsel dari Najma. Tapi karena masih lemah, Najma membantuku. Ah, tulangku rasanya sakit semua.
“Halo, Salima. Ma ‘Alesy, saya tidak bisa datang hari ini. Aku sedang butuh istirahat.”
“Oh, Mafisy Musykilah. Leih? Kakak sakit?” selidik Salima memastikan.
“Aku hanya kelelahan dan butuh istirahat. Mutasyakkir Awiy, sampai ketemu lagi.”
Aku sengaja menyudahi obrolan sebelum Salima bertanya lebih banyak. Selain itu, tubuhku juga masih lemas. Sementara Najma sibuk mengupas apel dan melon untukku. Bersyukur, walau jauh dari dari Ibuk aku masih dikelilingi orang-orang baik seperti Najma dan Ablah.
Kepalaku masih terasa berat dan perut semakin terasa mual, sudah lebih dari tiga kali sejak satu jam terakhir aku harus bolak-balik ke kamar mandi untuk menghilangkan mual ini.
Tubuhku masih lemas dan lelah, mau kutinggal tidur tapi tak enak dengan Najma yang menjagaku sendirian di sini.
“Kamu tidur aja, gih. Biar cepet enakan. Jangan lama-lama nginep di sini, dokternya galak,” ujar Najma seolah bisa membaca pikiranku. Ia berkata sambil menyiratkan ekspresi yang dibuat-buat. Aku merespon dengan senyum.
“Ya udah, aku tidur ya? kepalaku masih terasa sakit dan lemas. Kamu gak apa-apa nih sendirian?”
“Tenang saja. Habis ini Ning lisa sama Mbak Revi ke sini kok.”
“Duh, jadi ngerepotin…”
“Santai aja sih. Kita kan semua satu keluarga di sini. Sudah sewajarnya kalau ada yang butuh bantuan ya kita bantu. Udah tidur sana. Atau mau makan apel dan melonnya dulu?”
“Nanti ya…”
Aku pun memejamkan mata. Mencoba tenang dan mengabaikan beban pikiran yang sedari tadi selalu merecoki keinginanku untuk istirahat. Selain ujian yang tinggal menghitung hari, di saat sakit seperti ini aku sangat menginginkan kehadiran Ibuk. Pasti nyaman sekali kalau sakit dirawat oleh Ibuk. Tetapi segera kutepis, khawatir terasa sampai ke Ibuk. Aku sering mengalami kejadian semacam telepati atau kontak batin dengan Ibuk.
Sewaktu di pondok, Ibuk beberapa kali tiba-tiba sambang padahal bukan jadwalnya. Katanya perasaannya yang mendorong untuk datang. Atau kalau tidak Ibuk mimpi melihatku dengan keadaan yang agak aneh.
Biasanya memang aku pas sakit, Ibuk terasa. Dan tentang skandal dilamar ustaz itu, Ibuk juga datang karena selama tiga hari berturut-turut ia mempimpikanku melempar bunga ke jalanan. Antara percaya dan tidak percaya tapi kejadian semacam itu sering terulang.
Ibuk juga pernah bermimpi melihat ka’bah di tengah sawah. Dan siapa sangka, Ibuk lah ternyata orang yang pertama kali pergi haji di antara keluarga besar kami. Waktu itu, Ibuk sempat menjadi tenaga kerja wanita di Arab Saudi. Di kala kondisi ekonomi keluarga yang benar-benar sedang kesulitan. Dari Bapak aku mendengar cerita, keberangkatan Ibuk adalah pukulan keras buat Bapak sebagai kepala rumah tangga.
Bukan tak melarang, tapi keinginan Ibuk sudah tak bisa dibendung lagi. Kebutuhan yang semakin tak tertutup, biaya sekolah yang tak ringan menjadi alasan Ibuk untuk memohon izin kepada Bapak. Aku masih ingat, kala itu aku masih duduk di kelas tiga SD. Aku belum terlalu mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Malam itu, Bapak berbicara dengan nada keras tidak seperti biasanya. Sedangkan Ibuk menangis sambil memelukku dan terus memohon agar mengizinkannya pergi walau hanya dua tahun sesuai masa kontrak. Ibuk berjanji tidak akan memperpanjang masa kontrak.
Dan berkat hasil sowan ke Mbah Kyai Abdullah, kakeknya Ning Lisa, Bapak merelakan kepergian Ibuk atas anjuran Mbah Yai. Hasil istikharah yang dilihat Mbah Kyai semuanya tidak ada madhorot dan baik-baik saja. Maka di usia delapan hingga sepuluh tahun, aku harus rela disapih dari Ibuk. Sama sekali tidak mudah. Walau hampir setiap hari Ibuk berkabar melalui telepon, tetap saja dua tahun menjadi rentang waktu paling lama dan menyisakan lubang besar di hatiku. Sepi dan rindu.
Ah, aku harus segera tidur. Kepalaku terasa semakin berat. [MZ]