“Mau curhat apa sih?”
“Janji tapi jangan cerita ke siapa-siapa ya? apalagi Ning Lisa atau Mbak Revi.”
Aku mengangguk setuju. Kuraih botol air minum di dekatku, kuteguk nyaris setengahnya. Lalu duduk bersandar di tempat tidur sembari tanganku menyalakan handphone dan membalas beberapa pesan. Salah satunya dari Ibuk. Kukirimkan satu fotoku bersama Ning Lisa tadi siang. Dengan cepat balasan dari Ibuk sudah masuk lagi.
Alhamdulillah. Salam kagem Ning Lisa, Nduk. Mugi sehat selalu, dilancarkan kuliahnya.
“Jadi curhat gak ini?”
“Iyalah. Ini tentang seseorang yang menganggu pikiranku. Bikin galau dan bingung mesti gimana.”
“Siapa? Cowok?”
Najma mengangguk. Topik curhatan Najma memang tak jauh-jauh dari kaum Adam.
“Dia anak KSW juga. Orangnya baik dan perhatian sih. Tapi kan kamu tahu, Mbak Revi pasti marah besar kalau aku dekat dengan cowok. Mbak Revi dimarahi Abi soalnya. Kalau aku ketahuan dekat dengan cowok suruh lapor dan langsung dinikahkan.”
Aku tertawa geli mendengar alasan Najma. Aku memang tidak terlalu tertarik dengan urusan cinta, setidaknya untuk saat ini. Bahkan sejak masih di pondok pun, aku hampir tidak pernah punya skandal atau gosip dengan santri putra mana pun. Satu-satunya cerita cinta yang pernah cukup ramai dibicarakan di pondok adalah ketika seorang ustaz baru lulusan Sudan tiba-tiba melamarku. Bukannya bertanya baik-baik padaku dia langsung sowan ke Abah Kyai dan memintaku mendatangkan Bapak Ibuk ke pondok.
Karena aku belum tertarik, maka sampai panggilan kedua pun aku belum memberitahu kedua orang tuaku. Aku takut, kalau sudah Abah Kiai yang dawuh untuk menerima pinangan itu Bapak dan Ibu tidak mungkin sanggup menolak. Hormat dan takzim Bapak ke Abah Kiai Salam memang tidak luntur sedikit pun walau dulu hanya sempat ngaji sebentar dengan beliau. Beruntung Ning Lisa bersedia membantuku. Tanpa kuminta, seperti membaca kegalauanku sewaktu kejadian itu, Ning Lisa menawari bantuan untuk matur kepada Abah.
Sampai akhirnya ustaz ini menikah dengan santri lain, pengurus kala itu. Akad nikah yang dilangsungkan di di aula utama pondok yang seharusnya sakral malah menjadi ajang bergosip para santri. Entah dari mana awalnya, di hari itu banyak santri yang menatapku aneh.
Dari Najma kemudian kuketahui bahwa rumor yang beredar, cintaku bertepuk sebelah tangan. Aku yang mencintai ustaz yang usianya hampir 40 tahun itu, tapi si ustaz memilih kakak kelas sekaligus pengurus pondok yang yang usianya lima tahun lebih tua dariku.
Kesal, kecewa dan memalukan. Tapi aku memilih untuk diam dan tidak perlu menjelaskan apa-apa ke siapa pun. Bagiku, ustaz itu tidak pernah ada. Lamaran yang pernah ia sampaikan langsung di depanku kuanggap tidak pernah terjadi. Walau sayangnya, aku tetap harus bertemu dengan si ustaz yang masih ada satu semester mengajar di kelasku.
Hampir setiap hari ia datang berboncengan dengan istrinya lalu disambut riuh sorakan para santri yang heboh melihat pasangan pengantin baru berboncengan dengan tangan melingkar di pinggang. Bak selebritis mereka seolah sengaja itu melintas melewati tengah lapangan.
Entah kenapa, walau mereka pasangan halal tapi sikap seperti itu justru menimbulkan perasaan risih buatku. Ada ustaz lain yang baru menikah dengan ustazah di sini juga, namanya ustaz Haris dan ustazah Ainun.
Setiap datang bersama, ustazah Ainun selalu turun di depan gerbang sebelum masuk area pondok. Tidak memamerkan adegan berboncengan apalagi menimbulkan kegaduhan tidak berfaedah di kalangan santri.
“Diam lagi sih? Kasih masukan dong,” rengek Najma membuat telingaku agak geli. Najma gadis yang pandai dan cerdas, tapi sekali jatuh cinta dia mendadak gagap.
“Kan udah. Kalau emang kamu mau suka dan mau serius, jelas kan syarat dari Abi. Kalau ga siap ngomongin nikah ya gak usah cinta-cintaan. Sayang kalau waktu kamu di sini yang harusnya bisa lebih bermanfaat malah tersita buat mikirin dia. Udah itu masukanku ya, jangan nanya lagi. Keputusan apa pun kamu yang jalani. Pikirkan baik-baik.”
“Susah tau. Kamu makanya belajar jatuh cinta dong, biar tahu rasanya gimana kalau udah cinta sama orang. Mau aku carikan yang cocok sama kamu?”
Bantal kecil bermotif sapi kali ini kutimpuk tepat mengenai kepala Najma. Dia malah terkekeh.
Akhirnya sesi curhat malam itu tidak menemukan titik temu. Najma tetap dalam kegalauan dan aku masih tetap dengan masukan yang sama. Katanya, cinta itu melemahkan. Membuat pilu hati pemujanya walau segagah dan sekuat apapun dia.
Aku memang belum pernah benar-benar jatuh cinta, tapi kisah Qays dan Layla, Romeo dan Juliet, Julius Cesar dan Cleopatra cukuplah menjadi saksi sejarah betapa cinta dahsyat memporak-porandakan pertahanan hati. Memperbudak pengabdinya untuk terus memuja. Merobohkan tembok kekuasaan setinggi apa pun. Cinta tak kasat mata, tapi salah membawanya bisa meluluh lantakkan dunia dan isinya. [MZ]