Nurul Zeyn Mahasiswi Pascasarjana Inkafa Gresik; Kontributor Antologi Cerpen 25 Bingkisan Rasa (2012), Senandung Rasa (2012), Dalam Balutan Pelangi (2012), Perempuan Tali Jagat 2: Petrichor (2018), Cowek Rembang (2018) dan Lillah (2020).

[Cerbung] Bukan Cinta Cleopatra – Bagian Pertama

4 min read

Aku mempercepat langkah kaki menapaki ubin tegel bermotif klasik di sepanjang Talaat Harb Street, meninggalkan Neha dan Malika yang memilih melanjutkan menikmati malam di Downtown ini tanpa aku. Ya, berbeda dengan mereka yang tinggal di flat tanpa jam malam, aku punya kewajiban harus kembali ke asrama sebelum pukul sembilan.

Sekarang masih pukul enam sore satu jam menuju maghrib di sini, langit masih benderang waalau tidak terik. Tetapi sudah menjadi kebiasaan yang ditanamkan Ibu kepadaku, untuk selalu kembali ke rumah sebelum maghrib. Kecuali jika ada hal penting yang harus dikerjakan di luar.

Angin sore ini bertiup cukup kencang dari arah berlawanan, membuat rok berbahan sejenis siffon yang kupakai sedikit berkibar. Kurapatkan tangan di dada untuk sedikit menepis hembusan angin yang membuat jilbab segi empatku berterbangan.

Cuaca sore ini cukup bersahabat, walaupun sedang musim panas matahari tidak terlalu terik. Biasanya jika bertepatan dengan puncak musim panas, ubun-ubun akan terasa mendidih walau hari sudah tidak lagi siang. Di saat itu, kami akan memilih untuk tinggal di asrama atau flat. Sebisa mungkin menghindari aktivitas di luar.

Tepat saat aku tiba di luar Talaat Harb Street, tramco yang menjadi alat transportasi andalan di sini melintas. Kulambaikan tangan untuk menghentikannya tepat di depanku. Dari balik kemudi, ammu supir mempersilakan masuk dengan anggukan ramah.

Penumpang tramco tidak penuh, aku memilih duduk di dekat jendela setelah membalas sapaan senyum dari ammu di sebelahku. Di belakang, kulihat dua mahasiswi yang sepertinya berkulit hitam sedang berbincang dan mengabaikan kehadiranku.

Dengan tramco ini, aku akan turun di mahattah Darrāsah kemudian melanjutkan perjalanan dengan tramco lain atau bus menuju Mahattah Taki di distrik Abbāsiyah tempat asramaku berada.

Tramco melaju cukup kencang, dari balik jendela aku dengan leluasa memandangi suasana Downtown. Pusat kota yang hampir tidak pernah lengang dengan kendaraan maupun manusia. Melewati Meydan Tahrīr yang menjadi saksi bisu kerusuhan Mesir di masa tumbangnya rezim Mubarak.

Gambar Tahrir Square

 Meydan Tahrīr atau bundaran Tahrir adalah alun-alun kota Kairo, leteaknya tepat di jantung kota. Di ujung utara dari Qasr al-Ayn Street dan Qasr el-Nil Street yang akses sebelah selatannyaa tepat melewati jembatan Qasr al-Nil yang membantang di tengah Sungai Nil.

Baca Juga  Cinta Sang Pembully

Mayoritas bangunan di Kairo memang bergaya klasik, khas arsitektur Mesir kuno yang mencerminkan unsur sejarah nan kental. Mirip dengan gedung-gedung kuno di Eropa di film-film yang kutonton. Sayangnya, lalu lintas jalan di sini memang tidak serapi di Indonesia.

Jalanan sekitar Downtown bukan menyepi tapi justru kian ramai di sore hari seperti yang kulihat dari dalam tramco ini. Pejalan kaki semakin padat, café dan toko-toko di kanan kiri jalan semakin ramai pengunjung. Suasana dan pemandangan Downtown konon terlihat lebih indah dan tenang di malam hari.

Aku melihat dari postingan teman-teman masisir di Instagram. Tak heran, para masisir kerap menjadikan tempat ini sebagai destinasi pilihan untuk berjalan-jalan membeli kebutuhan atau sekadar melihat-lihat.

Tadi sebelum ke Downtown, aku dan Neha menemani Malika melihat-lihat kain dan souvenir di Attaba terlebih dahulu, mamanya memesan oleh-oleh kain dari sini sebelum kepulangannya ke Indonesia bulan depan. Selepas dari Attaba barulah kami kami melanjutkan jalan-jalan ke plaza yang terletak di Meydan Tahrir.

Tramco sudah berhenti tepat di depan mahattah Darrāsah, aku bergegas turun karena di depan tramco, bus yang sepertinya tujuan Abbasiyah sedang menurunkan penumpang. Setelah menyerahkan 3.5 le aku langsung naik ke bus dengan inisial 80/ (kami membacanya bus 80 coret) dari pintu belakang.

Gambar Bis 80/Coret yang Jadi Langganan Mahasiswa Indonesia

Sebenarnya aku bisa saja menunggu tramco selanjutnya, tapi melihat hari sudah semakin sore aku lekas memutuskan pilihanku untuk naik bus yang warna merah luarnya sudah banyak mengelupas ini.

Naasnya, begitu aku melangkah masuk, penumpang berjubel. Bus terlanjur melaju sebelum aku sempat mencari posisi berdiri yang nyaman. Aku hampir terjungkal karena tidak imbang. Beruntung seorang wanita berbedan cukup besar menopangku dan mempersilakan aku menyela maju ke tengah barisan penumpang yang berdiri.

Suasana bus yang penuh sesak dengan penumpang membuatku tidak nyaman dan mual. Aroma keringat bercampur dengan ampas polusi dari mesin bus yang sudah tua adalah pemicu utamanya.

Aku yang tidak kebagian tempat duduk, harus sekuat mungkin menahan goncangan agar tidak oleng. Tidak hanya aroma semerbak keringat yang menyengat, hentakan sopir mengandarai bus pun layaknya mobil balap tak peduli haluan. Lengkap sempurna karena posisiku yang berdiri tergencet di tengah penumpang lokal dengan postur tinggi menjulang.

Baca Juga  Merekam Solidaritas, Menebar Harapan: Catatan tentang Film “Keragaman di Tengah Corona”

Jika bukan karena terpaksa aku tentu tak akan memilih naik bus ini sebagai pilihan mengantarku kembali ke asrama. Perjalanan dari Downtown ke asrama bu’uts yang terletak di distrik Abbasea, membutuhkan waktu sekitar 30-40 menit.

Gambar Madinatul Bu’uts

Di tengah himpitan tubuh perempuan bertubuh subur di depanku, aku terhenyak. Ada yang menarik tasku dari samping. Tanganku mencengkeram selempang di pundak dengan lebih kuat. Berusaha mempertahankan tas milikku walau sepersekian detik sebelumnya aku sangat terkejut. Mataku dengan cepat menangkap basah seorang penumpang yang menatapku penuh tekanan.

Mataku tak kalah tajam menatap balik, bukannya melonggar lelaki berkaus hitam itu justru menarik tasku lebih kuat. Sementara aku masih berusaha bertahan tanpa sanggup mengucap sepatah kata pun, apalagi berteriak. Keringat dingin menetes begitu saja dari dahi, degup jantung menderu melesatkan hembusan napas yang tak menentu. Aku ketakutan tapi berusaha tidak kuperlihatkan sementara bibir ini tak henti merapal shalawat.

Rupanya tak hanya mengancamku dengan tatapan bengis, sebilah pisau yang kutebak berjenis sangkur sudah menempel garang tepat di pinggangku. Aku menelan ludah walau tidak basah di tenggorokan. Mataku memanas menahan gejolak takut yang kupendam. Haruskah aku berteriak sekarang?

“Ihdzar yā Amm. Aw haullak harāmiy!” Sebuah peringatan tajam dengan bahasa ammiyah terdengar sangat dekat dari telingaku, suaranya tidak lantang namun sangat jelas di tengah deru mesin bus yang meraung-raung. Kontan saja, laki-laki berkulit hitam itu salah tingkah, memberi kode pada kawan sebangkunya dan langsung meminta bus berhenti. Mereka berdua pun turun menorobos penumpang yang penuh sesak. Beberapa penumpang yang menyadari kejadian, seketika mengumpat dengan sumpah serapah saat mereka berdua sudah turun.

Pria berkemeja navy, yang baru saja tampil bak pahlawan bagiku itu, kemudian mempersilakanku menempati tempat duduk yang kosong. Di sebelahku ia menyusul duduk dengan posisi di ujung sembari meletakkan tasnya di tengah-tengah kami. Ia sengaja membari jarak agar kami tak bersentuhan.

Kulirik wajahnya sekilas-sekilas, aku yakin bukan orang Mesir. Dari postur tubuhnya yang tinggi saat tadi berdiri di belakangku, kukira dia penduduk lokal. Tapi dilihat dari garis wajah, sepertinya bukan. Malah ia terlihat seperti orang Korea, matanya agak sipit tapi bulat. Hidungnya lumayan mancung dan kulitnya bersih walau tidak terlalu putih. Rambutnya agak panjang di depan dengan poni menutup kening. Oh, tidak. Mungkin aku hanya berhalusinasi karena drama korea The King: Eternal Monarch yang kutonton semalam.
“Indonesian?”

Baca Juga  Kota Utrecht: Madinatul 'ilm di Belanda

Aku gelagapan dan segera membuang muka ke luar jendela. Rasanya debar jantungku semakin cepat karena nyaris tertangkap basah diam-diam mengamati pria di sebelahku.

“Yes. I am. Thank you for helping me from those two bad guys.”

“Its okay. Alā mahlik.”

Aku mengangguk tanpa berani memperpanjang obrolan. Mungkin dia orang Thailand atau Korea, di Kairo ini beberapa pendatang juga kuliah di Cairo University. Biasanya mereka lebih banyak menggunakan bahasa Inggris untuk berkomunikasi sehari-hari. Di sana lebih banyak mahasiswa bermata sipit dibanding Al-Azhar. Dia juga menyapaku dengan bahasa inggris, walau saat kujawab dengan bahasa Inggris ia justru membalas dengan bahasa ‘ammiyyah.

Ketakutanku berangsur mencair, perlahan berubah mulai tenang. Aku memang beberapa kali mendengar cerita teman-teman masisir yang mengalami tindakan tidak menyenangkan di bus umum. Tidak hanya kasus kriminal seperti pencopetan, beberapa mahasiswi sering juga mendapat perlakuan tidak senonoh.

Berdasarkan kasak-kusuk perihal kejadian tidakmenyenangkan di bus, Neha pernah bercerita. Memang ada komplotan penyamun yang beraksi dari bus satu ke bus lain. Mereka bukan penduduk lokal, tak hanya para penumpang mereka bahkan tanpa takut mengancam supir bus. Maka dari itu, seringkali saat kejadian seperti tadi terjadi supir seolah mendiamkan dan acuh. Cerita Neha ini ia dapat dari salah satu supir yang memperingatkannya sebelum ia naik ke bus di mahattah.

Aku beruntung dengan keberanian pria di sampingku. Penampilannya jelas terlihat bukan warga lokal sehingga membuat kedua pelaku memilih turun dan mengurungkan rencana busuknya.

Aku mohon pamit untuk turun terlebih dahulu karena mahattah taki sudah di depan mata. Pria berkemeja navy segera berdiri dan sekali lagi mempersilakanku. Kami berpisah tanpa ucapan apapun yang mengiringi. [MZ]

–bersambung–

Nurul Zeyn Mahasiswi Pascasarjana Inkafa Gresik; Kontributor Antologi Cerpen 25 Bingkisan Rasa (2012), Senandung Rasa (2012), Dalam Balutan Pelangi (2012), Perempuan Tali Jagat 2: Petrichor (2018), Cowek Rembang (2018) dan Lillah (2020).