Ust. Nurbani Yusuf Aktivis Persyarikatan Muhammadiyah di Ranting Gunungsari Kota Batu dan Ustaz di Komunitas Padang Makhsyar yang Tinggal di Batu, Malang.

Gus Baha, Ulama-cum-Cendekia yang Anti Mainstream

1 min read

Fenomena Gus Baha cukup gemuruh. Saya sangat suka. Bagi saya, ada semacam oase dalam dirinya yang segar penuh harapan. Ceramahnya menerangi dengan hangat. Kadang konten ceramahnya “nakal”, cerdas, jenaka, solutif, berani, dan jujur apa adanya—model khas cendekiawan kampung.

Entah sejak kapan keilmuan hanya diklaim perguruan tinggi semacam collage, universitas, akademi atau institut—lalu hanya mereka yang berhak mengeluarkan ijazah, mensertifikasi, dan menentukan lulus dan tidak lulus. Ilmu terpenjara dalam sebuah birokrasi dan keangkuhan buku-buku di rak perpustakaan yang ditumpuk untuk meraih banyak gelar dan pujian.

Semenjak kapan lembaga pendidikan berubah menjadi yang paling absah merumuskan masa depan—menentukan benar-salah, baik-buruk, dan indah-jelek. Institusi yang meniadakan atau mengadakan.

Pendidikan menjadi sangat angkuh, kaku dan rigid. Institusi pendidikan mengira padanya terdapat segala yang dibutuhkan. Ironisnya, ilmu kedokteran yang mahal dan dibanggakan itu nyatanya tak cukup mampu dan kebingungan melawan Covid-19. Ilmu ekonomi juga tak kunjung berhasil mewujudkan hidup lebih baik. Bukankah ini indikator kegagalan? Pun dengan ilmu-ilmu yang lain. Sama. Ia tak mampu mengurai masalah kemanusian, bahkan menjadi beban, tulis Bertrand Russel.

Gus Baha bukan hanya menguasai bahasa, metodologi, berbagai khazanah dan literatur yang berlimpah. Tapi ia juga punya perspektif yang luas dan karakter yang kokoh.  Ia simbol ulama-cum-cendekia yang lahir dan besar dari rahim didikan rakyat. Ini yang membedakan Gus Baha dengan ilmuwan lain yang bergelar mentereng.

Gus Baha tak perlu gelar. Ia tak perlu tunduk pada aturan baku para akademisi yang kaku, berbelit, dan boros kata, karena ditindas footnote dan jurnal terindeks Scopus. Pikiran-pikiran Gus Baha mudah dimengerti, gampang didapat, dan relevan dengan kehidupan.

Baca Juga  Dari Penentang ke Pendukung: Kisah Umar bin Khattab Masuk Islam

Seperti halnya para nabi. Cendekiawan sebagai pewaris para nabi akan berbicara dengan bahasa rakyatnya. Jadi Gus Baha tak perlu ‘ke-marab’ atau ‘ke-minggris’ agar terlihat pintar dan ilmiah kemudian bicara dengan kata-kata yang sulit di mengerti. Gus Baha tidak bicara dengan bahasa buku atau jurnal. Ia hadir di tengah.

Gus Baha meski NU tapi pikiran, wawasan, ide, dan gagasannya sudah jauh melampaui—sebab kebenaran ilmu memang tak punya mazhab, aliran atau kelompok. Kebenaran itu universal tidak mengenal ruang dan waktu atau klaim para petualang ilmu.

Ibarat kata, Gus Baha sukses menyajikan menu kampung ke hotel bintang 10—saya tidak mengatakan bahwa Gus Baha adalah ulama yang paling ‘ngalim’. Tapi ia punya keberanian melawan mainstream, merubah kemapanan, dan manawarkan nuansa yang khas.

Melihat Gus Baha mengaji pikiran saya melambung jauh—membayangi Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad mengajar dikitari para santrinya—yang takzim menyimak, mendengar, dan mengaji. Ceramahnya tidak kemrungsung menyalahkan yang tidak sepandangan. Kemudian sesekali riuh tertawa bersama—nyantai tapi dapat ilmu melimpah. [MZ]

Ust. Nurbani Yusuf Aktivis Persyarikatan Muhammadiyah di Ranting Gunungsari Kota Batu dan Ustaz di Komunitas Padang Makhsyar yang Tinggal di Batu, Malang.