Octaviani Erman Nanda S1 Unida Gontor; S2 Pascasarjana UIN Sunan Ampel; Guru dan Asisten Dosen

Amien Rais dan Gagasan Tauhid Sosial

2 min read

Amien Rais (l.1944) merupakan sosok cendekiawan Muslim yang namanya mulai melambung sejak ia menyatakan kesiapan dirinya menjadi presiden. Ia termasuk dari salah satu cendekiawan Muslim Indonesia yang menganggap bahwa Islam merupakan sebuah sistem nilai yang telah dianggap sebagai sebuah sistem yang lengkap.

Kesadaran untuk dapat mengaplikasikan nilai-nilai ajaran Islam dalam kehidupan bermasyarakat terlihat pada sebuah gagasan yang diajukan oleh Amien Rais. Gagasan tersebut akrab dikenal dengan “Tauhid Sosial”. Tauhid sosial merupakan reformulasi dari apa yang selama ini menjadi komitmen dan aktualisasi kehidupan masyarakat, dalam bentuk amal saleh.

Amin memiliki asumsi dasar bahwa tauhid sebagai doktrin sentral dalam Islam dipandang sebagai paradigma teologis yang bersifat memerdekakan atau membebaskan manusia. Paradigma pemikirannya hampir mirip dengan Abu A’la al-Maududi (1903-1979), Ikhwanul Muslimin, dan Mohammad Natsir (1908-1993), yang menggunakan tauhid sebagai basisnya.

Amien Rais mendefiiniskan tauhid dengan menarik makna kata tersebut pada arti lafalnya, yaitu dari kata wahhada, yuwahhidu, tauhīdan, yang artinya mengesakan, menyatukan. Ia menegaskan bahwa tauhid merupakan sebuah agama yang mengesakan Allah. Keyakinan setiap umat Muslim terhadap keesaan Allah merupakan basis utama dalam aqidah Islam.

Tugas besar umat Islam saat ini adalah mengaplikasikan keyakinan tersebut dalam sebuah perbuatan sosial, sehingga ajaran-ajaran tauhid tidak lagi melangit, namun dapat dibumikan, dalam sebuah tindakan praktis.

Gagasan Amien Rais tentang tauhid sosial, merupakan salah satu bentuk pembelaan dan penjagaan terhadap Islam dari doktirn-doktirn Barat yang ingin mengesampingkan bahkan menghapus agama dalam wilayah sosial. Artinya umat Islam memiliki kewajiban keagamaan dalam memperjuangkan masa depan yang lebih bagus, dnegan menyertakan keharusan tegaknya tauhid sosial.

Baca Juga  [Resensi Buku]: Tafsir Maqasidi, Puncak dari Segala Jenis Tafsir?

Inti utama dari konsep tauhid terdapat pada kalimat tahlīl Lā ilāha illā Allah, tiada Tuhan selain Allah. Agama Islam telah mengajak setiap umatnya untuk melakukan pengingkaran terlebh dahulu, sebelum pengakuan. Pengingkaran bahwa tidak ada Tuhan, kemudian disusul oleh pengakuan “selain Allah”. Dari kalimat tahlīl ini sudah terdapat pelajaran moral di dalamnya.

Yang perlu diambil adalah pertama bahwa seorang Muslim harus berani mengatakan tidak pada kebatilan. Setelah setiap umat Muslim meniadakan segala bentuk sekutu Allah.

Tingkatan kedua, pengakuan terhadap Allah, setelah memurnikan dari segala bentuk kebatilan yang ada, kemudian umat Muslim dituntut untuk mengakui adanya Tuhan yaitu Allah.

Tingkatan ketiga adalah bahwa setiap umat Muslim mempunyai proclamation atau declaration of life, proklamasi atau deklarasi kehidupan yang dituntunkan Alquran sendiri.

Pada tingkatan keempat dalam manifestasi tauhid di kehidupan kita adalah, menerjemahkan keimanan kita menjadi suatu hal yang konkret sehingga dapat teraplikasikan sebagai amal saleh.

Tingkatan kelima, orang yang bertauhid mengambil kriteria atau ukuran baik dan buruk, ukuran yang terpuji dan tercela atau terkutuk, kembali pada tuntunan Ilahi.

Amien Rais menyatakan bahwa konsekuensi tauhid yang diikrarkan oleh setiap umat Islam bersifat menyeluruh. Di dalam kesaksian bertauhid, maka akan lahir unity of Godhead, unity of Mankind, unity of Creation, unity of Purpose of life, unity of Guidance. Kelima aspek tersebut akan beimplikasi pada kehidupan umat Islam yang lebih baik.

Jika setiap umat Muslim mengaplikasikannya maka akan berdampak pada teciptanya kesejahteraan dalam kehidupan bermasyarakat. Konsep-konsep yang terdapat di dalam agama, merupakan sesuatu yang menjadi wajib untuk dilakukan bagi setiap penganut umatnya. Agama memerintahkan, kalau kita melihat terjadinya kemungkaran atau penyelewengan, harus segera dikoreksi dengan peringatan yang lugas.

Baca Juga  [Resensi Buku] Surga Dunia Bukanlah Suriah atau Libanon, Tapi Indonesia

Konsekuensi tauhid dalam kehidupan terbagi menjadi lima hal, antara lain:

Unity of Godhead. Setiap umat Islam akan menyerahkan kehidupannya pada Allah semata dan aqidah umat Islam dapat terhindar dari segala bentuk kemungkaran yang ada, termasuk paham-paham Barat yang tidak sesuai.

Unity of Mankind. Setiap umat Islam dapat memiliki kesadaran bahwa tidak ada perbedaan diantara mereka semua, kecuali ketakwaan; akan tercipta keadailan sosial serta persatuan umat.

Unity of Creation. Setiap umat Islam akan menjaga aqidahnya agar tidak tercampur dengan hal-hal yang sesat.

Unity of Purpose of Life. Setiap umat Islam akan memusatkan segala harap pada Allah, dan tidak mencampur adukkan keimananya dengan hal-hal yang berbau syirik.

Unity of Guidance. Akan tercipta kerukunan umat Islam yang selalu berpegang teguh pada ajaran-ajaran agama Islam, dan menjaga keimanan untuk kehidupannya sendiri ataupun kehidupan umat.

Dari pengaplikasian lima konsekuensi tauhid ini akan melahirkan kesejahteraan umat Islam dan aqidah yang kuat.

Ibadah-ibadah mahdhah yang terdapat di dalam ajaran agama Islam tidak terlepas dari aspek-aspek sosial, seperti halnya salat dan zakat. Di dalam salat terdapat dimensi sosial yang berupa leadership dan followership, sehingga hal-hal yang berhubungan dengan kepemimpinan dan kepengikutan dapat dipelajari dari salat berjemaah.

Kita tahu bahwa di dalam leadership dan followership salat berjemaah ada aturan main yang sangat demokratis, yang sangat rapi, yang menyangkut soal ruang dan waktu yang diatur dengan amat jelas. Begitu pula dengan konsep zakat, agama Islam telah mengajarkan setiap umatnya untuk lebih memperhatikan keadaan manusia lainnya. Artinya proses penataan pemerataan tercapainya keadilan yang harmonis bisa diraih lewat lembaga-lembaga keagamaan Islam. [MZ]

Octaviani Erman Nanda S1 Unida Gontor; S2 Pascasarjana UIN Sunan Ampel; Guru dan Asisten Dosen