Saya kira bukan rahasia umum lagi bila Gen Z kerap dicap sebagai generasi yang cenderung mengutamakan hal-hal praktis dan pragmatis. Hal ini kemudian memunculkan persepsi bahwa akan susah kemudian bila mereka diajak berpikir wacana atau konsep abstrak, dan didorong untuk menghargai proses ketimbang hasil. Sehingga, banyak orang kemudian menjuluki mereka sebagai generasi yang ‘manja’.
Belum lagi kalau kita lihat budaya FOMO (Fear of Missing Out) yang menjalar dalam pernik-pernik kehidupan mereka. Budaya ini mendorong mereka untuk mengikuti suatu tren yang sedang banyak dibahas di dunia maya, tanpa peduli tren itu baik atau buruk. Yang penting bahwa mereka perlu mengikutinya agar tak dianggap kurang pergaulan.
Masalah lain yang juga penting untuk dibicarakan adalah bahwa mereka adalah generasi yang memiliki kecemasan dan tingkat stress yang tinggi. Ini kalau kita melihat laporan dari American Psychological Association yang menganggap bahwa hanya 45 persen dari mereka yang memiliki kesehatan mental yang baik.
Mengenai masalah mungkin ini kita tidak dapat sepenuhnya menyalahkan mereka. Karena bagaimanapun, ada berbagai faktor material yang mengkondisikan mereka seperti, dampak pandemi Covid-19, perundungan, ketidakpastian dunia kerja, dan factor lainnya.
Tapi, justru karena masalah itulah Gen Z dianggap sebagai “Generasi Strawberry.” Selayaknya buah strawberry, generasi ini gampang hancur ketika ditekan. Sehingga, ada celoteh yang mengatakan bahwa generasi ini tak boleh diperlakukan di ambang batas kemampuan.
Namun demikian, ada satu keunggulan yang jarang dibahas ketika seseorang menyebut Gen Z yaitu, memiliki toleransi beragama yang tinggi.
Gen Z: Generasi Toleran
Gen Z adalah generasi yang lahir dalam rentang waktu antara tahun 1998-2010. Walau mungkin banyak dicap memiliki karakteristik negatif daripada generasi sebelumnya, generasi ini dianggap jauh lebih toleran. Ini kalau kita lihat studi yang dilakukan oleh Magdalene terhadap 10 kota yang dianggap oleh Setara Institute memiliki indeks toleransi yang rendah seperti, Jakarta, Sabang, Banda Aceh, Medan, Depok, Bogor, dan sebagainya.
Melalui survei yang dilakukan terhadap 1.854 responden dalam rentang umur 17-25 tahun, tudi tersebut menunjukkan bahwa mayoritas responden memiliki sikap toleransi terhadap pemeluk lain, entah itu dalam lingkup lingkunga, pertemanan, maupun organisasi. Studi tersebut juga menunjukkan bahwa 62 persen responden mengatakan sangat toleran terhadap topik atau tema agama lain yang muncul di media sosial. Mereka bahkan menentang pernyataan yang menghina agama lain di media sosial.
Mengenai latar belakang identitas, data yang diungkap malah lebih positif, di mana 85 persen responden mengaku merasa nyaman ketika berteman dengan etnis atau suku lain dan 87 persen mengaku memilih grup media sosial dengan etnis dan suku yang beragam.
Hasil penelitian yang sama juga ditemukan oleh International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) yang menunjukkan bahwa sebagian besar Gen Z memiliki sikap positif terhadap keberagaman dan inklusivitas setelah melakukan survei terhadap 1.200 responden dari 36 kota yang tersebar di 10 provinsi yang dianggap oleh Setara Institute melakukan pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) terbanyak.
Survei yang dilakukan pada tahun 2021 tersebut mengatakan bahwa 96 persen mayoritas responden dapat berhubungan baik dengan pemeluk agama lain dalam lingkungan pendidikan maupun pekerjaan dan 82 persen responden tidak setuju dengan adanya pemisahan tempat tinggal berdasarkan kelompok agama.
Apa yang membuat Gen Z memiliki tingkat tolerasi yang tinggi bila merujuk kepada data-data tersebut ialah karena mereka hidup dalam kondisi zaman yang multikultural. Ini adalah suatu zaman yang mana seseorang dapat berhubungan dengan orang lain melewati batas suku, bangsa, dan bahkan negara dengan fleksibel.
Akibat meleburnya batas-batas itu, stigma-stigma yang dilontarkan atau diajarkan oleh nenek moyang mereka nyatanya tak berlaku ketika mereka mengetahui secara langsung. Misalnya, orang yang berbeda agama itu jahat dan orang yang berbeda suku itu ganas.
Dalam konteks demikian, kita tidak boleh melupakan peran media sosial dalam mendorong peleburan batas tersebut. Bagaimanapun, Gen Z adalah generasi yang paling aktif dalam berrmedia sosial dan yang paling melek dengan teknologi dan internet. Sehingga, mereka tentunya memiliki privelege tersendiri dalam menemukan seambrek informasi ketimbang generasi sebelumnya.
Promosi Toleransi Tak Boleh Berhenti!
Melihat data-data tersebut, kita dapat menarik kesimpulan bahwa kerja-kerja yang selama ini dilakukan oleh media, lembaga, atau organisasi dalam menyebarkan nilai-nilai toleransi dan inklusivitas di media sosial dapat diterima. Artinya, tema-tema tersebut—bila disajikan secara menarik di media sosial—nyatanya toh dapat diterima dengan baik oleh kalangan Gen Z.
Namun, apakah kemudian promosi toleransi di media sosial tersebut sudah cukup dan tak perlu dilanjutkan lagi? Apakah kemudian kita perlu berleha-leha dengan adanya temuan tersebut?
Jawabannya tentu tidak. Meskipun mayoritas responden dalam data tersebut menerima toleransi, namun masih ada respoden yang menolak toleransi kendati hanya minoritas. Kelompok kecil inilah yang mesti kita perhatikan agar tingkat kesadaran akan keberagaman di kalangan Gen Z menjadi lebih tinggi. Sehingga tidak ada lagi, misalnya, seperti kelompok mahasiswa di Aceh yang menolak kedatangan etnis Rohingiya.
Dengan ini, Gen Z akan menjadi modal yang baik bagi bangsa Indonesia ke depannya. Nyatanya, mereka tak seburuk yang dibayangkan. Mereka yang berapa puluh tahun lagi memanggul tanggung jawab negara ini tak disangka-sangka memiliki sikap inklusif yang baik. Tentunya ada segenggam harapan bahwa negara Indonesia nantinya akan menjadi negara yang jauh lebih toleran. [AA]