Kita semua tahu KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) adalah orang yang selalu santai dan tenang dalam menghadapi masalah. Seberat apapun masalah itu, Gus Dur selalu menunjukkan gelagat enteng. Seolah-olah yang dihadapi adalah sesuatu yang biasa saja. Beliau bersikap demikian karena tidak mau menguras energi terlalu dalam. Pun tak mau ribet dan langsung gerak cepat menyelesaikan masalah itu.
Bukan berarti beliau menyepelekan atau bahkan tak mau meninjau masalah secara kritis, namun beliau memilih untuk mencari akar persoalan dan kemudian langsung dituntaskan. Daripada banyak bicara ngalor ngidul dan overthinking hingga pusing atau stress, lebih baik langsung melakukan apa yang mesti dilakukan. Inilah yang dipikirkan oleh Gus Dur. Tentu saja dengan dibumbui humor sembari berkelakar “Gitu Aja Kok Repot”.
Sikap itulah yang diajarkan Gus Dur kepada kita. Orang tak perlu berpusing-pusing tujuh keliling atau malah dihantui kecemasan ketika masalah datang, tetapi tetap bersikap tenang dan berkepala dingin. Kalau bisa ditambah dengan humor agar tidak tegang. Ketika solusi telah ditemukan, langsung saja masalah diselesaikan. Beres sudah.
Salah satu manifestasi konkret dari sikap tersebut ialah tatkala beliau membubarkan Departemen Sosial. Di mana-mana orang bertanya “Kok bisa Departemen Sosial itu dibubarkan, padahal kan itu bertugas untuk mensejahterakan rakyat?” “Nanti bagaimana ya nasib rakyat kalo departemen sosial itu dibubarkan?”
Hingga suatu ketika pertanyaan itu dilontarkan oleh Andy Nova dalam acara talkshow Kick Andy. Maka, tanpa tedeng aling-aling Gus Dur pun menjawab “Persisnya itu, karena departemen sosial yang mestinya mengayomi rakyat ternyata korupsinya gede-gedean. Sampai hari ini”.
Namun, Andy Nova tak puas dengan jawaban itu dan kembali bertanya “Kalau membunuh tikus kan, enggak perlu membakar lumbungnya?” Dengan santai Gus Dur menjawab “Oh, memang”. Andy Nova bingung dan kembali bertanya “Lantas, kenapa dibakar lumbungnya”? Gus Dur dengan tenang menjawab “Karena tikusnya sudah menguasai lumbung”. Para audiens pun tertawa kemudian terbahak-bahak.
Sikap Gus Dur yang demikian mengingatkan saya pada Stoikisme, sebuah aliran filsafat Yunani Kuno yang berkembang dari abad ke 3 SM hingga 3 M. Aliran ini awalnya bernama Zenonisme, yang merujuk pada founding father yaitu, Zeno.
Namun, karena kaum stoik tidak percaya bahwa seorang pendiri memilki kebijaksanaan yang sempurna dan demi menghindari filsafatnya menjadi kultus personal, maka mereka kemudian menggantinya menjadi Stoikisme, yang merujuk pada Stoa, teras atau serambi yang menjadi tempat mereka berkumpul dan kegiatan belajar mengajar berlangsung.
Berbeda dengan filsafat lain yang umumnya sangat teoritis dan melangit-langit, filsafat ini justru mengajarkan tentang seni/praktek hidup demi mencapai kebahagiaan. Namun, kebahagiaan yang dimaksud di sini berbeda dengan apa yang dipahami oleh kebanyakan orang.
Stoikisme memahami kebahagiaan sebagai Ataraxia yang artinya ialah “Tiadanya gangguan”. Kebahagiaan ialah keadaan jiwa yang tenang dan damai karena tidak ada sesuatu yang mengganggu. Dalam istilah lain, kebahagiaan juga disebut sebagai Apatheia yang artinya “Tiadanya penderitaan”. Maka, kita bisa merasa bahagia apabila tidak menderita. Pertanyaannya: apakah yang membuat gangguan dan penderitaan?
Jawabannya adalah emosi-emosi negatif. Bagi kaum stoik, orang bisa merasa bahagia apabila terbebaskan dari emosi-emosi negatif seperti, iri hati, takut, rasa sesal atau pahit. Salah satu yang menyebabkan perasaan itu muncul ialah apabila ada masalah yang tiba-tiba datang, entah itu kecil atau besar, dan kita keliru dalam memberikan respon.
Sebenarnya, tanpa pernah kita sadari, kita sering memunculkan emosi-emosi negatif dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, saat mengendarai motor dan di tengah perjalanan kedapatan macet, maka kita seringkali merasa kesal. Kemudian, apabila ada pengendara yang ngawur dan tiba-tiba saja menyenggol atau menyerempet kita, maka rasa kesal itu berubah menjadi amarah yang tak jarang diungkapkan melalui kata-kata kotor atau sumpah serapah.
Belum lagi masalah-masalah besar seperti, kehilangan orang-orang terdekat, pemfitnahan, pelecehan seksual, bencana alam, korupsi dst—yang sudah jelas membuat kita kecewa. Untuk itu, kaum stoik memberikan resep kepada kita saat menghadapi masalah. Di dalam karyanya yang bejudul Meditations, Marcus Aurelius, Tokoh Stoik pernah berkata:
Kamu menadapatkan ketimun pahit? Ya, buang saja. Ada semak berduri di jalan setapak yang kamu lalui? Ya berputar saja. Itu saja yang perlu kamu tahu. Jangan menuntut penjelasan, “Kenapa ada hal yang tak menyenangkan ini”? mereka yang mengerti sesungguhnya dunia akan menertawakanmu, seperti tukang kayu yang melihat kamu kaget karena banyak debu hasil gergaji di tempat kerjanya, atau tukang sapu melihat kamu kaget karena banyak sampah kulit sisa di tempat kerjanya.
Pernyataan itu mengajarkan kita bahwa kalau ada masalah apapun tak perlu diambil hati atau dipikirkan terus menerus mengapa hal tersebut bisa terjadi. Kalau dihadang kemacetan, dibawa santai saja. Kalau diserempet orang, dibawa senyum saja. “Tolaklah rasa sakit itu dan rasa sakit itu akan hilang sendiri”, begitulah yang dikatakan Marcus. Maka, apabila ada masalah yang lebih besar datang, sebisa mungkin kita tidak marah, tetap tenang dan langsung cari apa solusinya. Seperti kata Gus Dur, “Gitu saja kok repot”.
Itulah kemiripan antara apa yang dulu dilakukan oleh Gus Dur dengan ajaran stoikisme. Sehingga, dalam hal ini, saya menyebut Gus Dur sebagai orang stoik. (mmsm)