Sampah merupakan salah satu persoalan ekologis yang dihadapi Indonesia. Persoalan ini tak berhenti pada bagaimana sampah dibuang di sembarang tempat, melainkan juga masifnya sampah yang diproduksi oleh masyarakat Indonesia.
Data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada tahun 2022 mencatat bahwa dari dua ratus dua kabupaten/kota seluruh Indonesia jumlah timbunan sampah mencapai angka 19,45 juta ton.
Hal tersebut menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia memang gemar “menyampah”. Entah disadari atau tidak, menyampah memang sudah menjadi bagian dari kehidupan kita.
Sampah yang dihasilkan tentu saja beragam, seperti sisa makanan, punting rokok, botol plastik, kain, kaleng, tisu, dan sejenisnya. Dari beragam sampah itu tentu yang paling menimbulkan masalah adalah sampah berbahan plastik. Hal ini tak mengherankan mengingat sampah plastik menghasilkan banyak dampak katastrofik bagi lingkungan.
Aktivitas mengubur plastik ke dalam tanah atau yang biasanya disebut dengan dekomposisi dapat menghilangkan kesuburan tanah. Bukan itu saja, aktivitas tersebut juga dapat membuat air menjadi beracun. Ketika seseorang memilih untuk membakar sampah plastik bukan berarti masalah kemudian menjadi hilang, sebab pembakaran sampah plastik dapat mengakibatkan polusi udara.
Berbagai problem tersebut perlu dituntaskan dengan langkah yang fundamental, yakni mengurangi sampah hingga taraf yang maksimum. Salah satu solusi yang kemudian ditempuh oleh pemerintah ialah dengan cara memanfaatkannya sebagai energi listrik melalaui Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa).
Upaya tersebut terbilang menarik mengingat barang yang tak berguna layaknya sampah hendak diubah menjadi barang yang berguna. Sampah diklaim tak hanya hanya akan berkurang, melainkan juga dapat mengalirkan energi listrik yang dibutuhkan banyak orang.
Namun, apakah benar demikian?
Perpres No.35/2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolahan Sampah menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan memilih dua belas kota di Indonesia untuk menjadi tempat operasi PLTSa. Kota itu antara lain ialah Bandung, Jakarta, Denpasar, Surabaya, Surakarta, dan Makassar.
Pemakaian frasa “Ramah Lingkungan” dalam Perpres tersebut agaknya ingin menunjukkan bahwa PLTSa dapat menjadi energi alternatif bagi PLTU yang cenderung merusak lingkungan. Namun, dalam praktiknya, PLTSa sebenarnya tak jauh beda dengan PLTU.
Teknologi pembakaran dengan sistem insinerator yang digunakan oleh PLTSa akan memproduksi limbah beracun dan zat dioksin yang tak hanya berbahaya bagi manusia, melainkan juga lingkungan hidup.
Hal itu ditambah dengan penggunaan batu bara kualitas rendah untuk membakar sampah yang justru bisa berpotensi meningkatkan merkuri ke udara. Sungguh ironi memang mengingat PLTSa yang diklaim ramah lingkungan justru berkompromi dengan energi yang tak ramah lingkungan. Akhirnya, PLTSa bukan malah mengurangi sampah, melainkan hanya memindahkan sampah ke udara.
Dalam konteks tersebut, proyek PLTSa justru bertentangan dengan UU No. 18 Tahun 2008 Pasal 4 yang menyebutkan bahwa pengelolaan sampah bertujuan untuk meningkatkan kesehatan masyarakat dan kualitas lingkungan hidup.
Masalah lain yang perlu dicatat adalah pasokan sampah yang besar untuk menunjang PLTSa. Pemerintah akhirnya mesti mengenjot konsumsi masyarakat agar PLTSa dapat terus beroperasi. Tujuan yang awalnya untuk meminimalisasi atau bahkan memaksimalisasi penurunan sampah menjadi lenyap seketika. Belum lagi dengan hilangnya pekerjaan pemulung atau orang yang mendaur ulang sampah.
Dengan demikian, PLTSa bukan saja tak efektif dalam menangani pengelolaan sampah, melainkan juga membawa masalah baru yang tak hanya bersifat ekologis, melainkan juga biologis dan sosiologis.
Lantas bagaimana?
Untuk menyelesaikan persoalan sampah, pemerintah sebenarnya dapat kembali menengok UU No.18 Tahun 2008. Dalam Pasal 20 paragraf pertama UU tersebut dijelaskan bahwa pengurangan sampah dapat dilakukan dengan membatasi timbulan sampah dan memfasilitasi daur ulang dan pemanfaatan sampah.
Pasal tersebut juga menerangkan perlunya memfasilitasi penerapan teknologi, label produk, dan pemasaran yang ramah lingkungan. Artinya, pelaku usaha dituntut untuk menghasilkan sampah sesedikit mungkin dengan bahan yang dapat didaur ulang.
Dalam hal ini, pelaku usaha mesti menggunakan bahan yang tak sekali pakai (non-plastik) yang dapat diubah menjadi barang lain atau mudah terurai oleh proses alami. Selanjutnya, bagi mereka yang bergiat mengurangi sampah akan diberikan insentif dan sebaliknya, mereka yang justru menghasilkan banyak sampah akan diberikan disinsentif.
Mengenai penanganan sampah, dalam Pasal 22 dijelaskan bahwa langkah yang perlu ditempuh ialah mengelompokkan dan mengubah sampah berdasarkan jumlah, jenis, dan sifat, serta kemudian memindah sampah dari sumber ke tempat pembuangan sementara (TPS) dan menuju tempat pemrosesan akhir (TPA) dalam bentuk pengembalian sampah ke lingkungan dengan cara yang aman.
Dalam konteks tersebut, hal yang harus dilakukan bukan hanya mengelompokkan sampah berdasarkan kategori alami (organik) dan non-alami (anorganik), melainkan juga memanfaatkannya menjadi barang yang lebih berguna.
Misalnya, sampah organik keras diolah menjadi kompos dan sampah organik lunak diolah menjadi tong komposer atau pakan ternak. Sementara, sampah anorganik bisa didaur ulang menjadi pernak-pernik dan hiasan atau dijual ke bank sampah. Tentunya, pemrosesan akhir di TPA mesti dilakukan dengan cara yang ramah lingkungan.
Dalam menangani sampah, masyarakat juga harus berperan dalam memberikan usul, kritik, pertimbangan, atau saran kepada pemerintah dalam merumuskan kebijakan terkait pengelolaan sampah. Maka, pemerintah hanya perlu menerapkan UU tersebut dengan seutuhnya, bukan membuat Perpres untuk melaksanakan proyek PLTSa yang nyatanya malah mencederai tujuan tolak telaahnya. [AR]