Muhammad Akbar Darojat Restu Putra Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya

Mahasiswa dan Perubahan Sosial

2 min read

Ada rasa senang tersendiri ketika kampus menempatkan saya dalam program Kuliah Kerja Nyata (KKN) di daerah perkebunan kopi. Pasalnya, saya adalah orang yang boleh disebut pecinta kopi. Sehingga, melalui program KKN, saya bukan saja dapat menikmati kopi yang diseduh langsung dari ladang petani, melainkan juga dapat melihat bagaimana proses perawatan kopi dari menanam hingga memanen.

Memang ketika menginjakkan kaki pertama kali di sana, saya dihadapkan langsung pada panorama perkebunan kopi yang sejuk dan indah. Saya juga melihat bagaimana masyarakat di sana begitu ramah ketika menyambut kedatangan kami, para mahasiswa. Keramahtamahan mereka seolah menjadi penghangat bagi kami yang merasakan dinginnya suhu udara di tempat ini.

Selama beberapa hari tinggal di sana, saya menyadari bahwa kopi yang dihasilkan oleh petani di sana memang menjadi salah satu produk kopi unggulan Banyuwangi. Mereka memiliki produk olahan kopi yang dikenal dengan “Kopi Lego”. Lego adalah singkatan dari Lerek Gombengsari yang merupakan nama gabungan dari lingkungan dan kelurahan mereka.

Namun, ketika saya melakukan observasi kecil-kecilan di sana, saya menyadari bahwa tak semua petani dapat merasakan manis dari pahitnya kopi. Malahan lebih banyak petani yang merasakan pahit dari pahitnya kopi.

Ketua kelompok petani di sana bercerita bahwa banyak dari petani kopi yang ada di sini terjerat tengkulak. Dalam hal ini, tengkulak membeli hasil panen petani dengan harga murah melalui sistem ijon.

Umumnya, mereka yang terjerat tengkulak adalah petani kecil yang memiliki lahan tegalan kurang dari satu hektar. Terdesak kebutuhan pokok dan keterbatasan modal menjadi penyebabnya.

Untuk petani yang memiliki lahan tegalan lebih dari satu hektar yang jumlahnya hanya segelintir umumnya memiliki daya tawar lebih ketika berhadapan dengan tengkulak. Sehingga, mereka mampu lolos dari jeratan tengkulak.

Baca Juga  Tingkatan Bersuci Menurut Imam Al-Ghazali

Masalahnya bukan hanya itu. Mereka sering kali dimanipulasi oleh dinas pertanian melalui program pelatihan atau pendampingan. Dengan lain kata, dinas pertanian acapkali membuat program pelatihan tanpa memahami terlebih dahulu problem riil yang dihadapi oleh petani. Namun, petani yang kemudian disalahkan ketika pelatihan yang diberikan tidak dijalankan.

Karena itu, banyak petani menduga bahwa program pelatihan yang diadakan memang bukan bertujuan untuk mengangkat nasib mereka, melainkan hanya untuk mencairkan dana dari pemerintah.

Saya tak tahu pasti mengenai hal tersebut. Hanya saja ketua kelompok petani itu kemudian berpesan bahwa program kerja yang kami lakukan nanti seyogianya dapat menyelesaikan problem riil petani sehingga nasib mereka dapat menjadi lebih baik.

Saya terkejut dengan permintaan itu. Saya pun menjelaskan bahwa agaknya sulit bagi kami untuk membuat program kerja yang seperti itu. Pasalnya, persoalan demikian tentu tak bisa diselesaikan dalam tempo yang singkat. Butuh waktu bertahun-tahun untuk menuntaskan persoalan itu.

Sedangkan waktu KKN yang diberikan oleh kampus hanyalah 40 hari. Sebab itulah saya mengatakan bahwa apa yang kami lakukan tak akan mampu untuk menyelesaikan problem petani secara utuh.

Namun, perbincangan panjang dengan ketua kelompok petani itu menyadarkan saya akan satu hal: ia membayangkan mahasiswa sebagai sosok intelektual yang dapat membawa perubahan sosial.

Saya tak heran dengan bayangan itu karena mahasiswa adalah orang yang memang memiliki waktu dan materi untuk belajar lebih banyak dan lebih tinggi ketimbang petani kopi, dan dalam kehidupan sehari-hari, mahasiswa dianggap memiliki status sosial yang lebih tinggi ketimbang mereka yang hanya lulusan sekolah menengah atau bahkan sekolah dasar.

Walau demikian, predikat itu sebenarnya meninggalkan beban yang mesti ditanggung oleh mahasiswa. Ketika mahasiswa tak mampu melakukan transformasi atau setidaknya perbaikan sosial, tentu ada perasaan sinis yang menyeruak dalam benak masyarakat.

Baca Juga  Alif-lam Digaris Tanganmu

Mereka berpikir seolah tak ada gunanya bagi mahasiswa belajar tinggi-tinggi bila kemudian bergeming dan bingung ketika dihadapkan dengan persoalan masyarakat. Karena itu, ada dua hal yang kiranya perlu dilakukan oleh mahasiswa ketika hendak menjadi agen perubahan sosial.

Pertama, perlu bagi mahasiswa untuk tak hanya membaca buku dan melakukan diskusi, melainkan juga menengok problem masyarakat secara langsung. Saya kira terjun langsung ke masyarakat tak harus dilakukan oleh mahasiswa saat KKN. Mahasiswa dapat melakukan demikian bahkan pada masa awal dan tengah perkuliahan.

Tujuannya bukan hanya bagaimana mahasiswa dapat belajar langsung pada masyarakat, melainkan juga untuk melatih mahasiswa dalam mengkonkretisasi apa-apa yang telah dipelajari dan didiskusikan ke dalam problem riil masyarakat. Dengan ini, mahasiswa tak lagi canggung ketika kelak lulus dan kembali ke masyarakat.

Kedua, penting bagi mahasiswa untuk tak hanya tertuju pada persoalan viral yang terjadi di masyarakat. Selama ini perhatian mahasiswa terbatas pada persoalan masyarakat yang mencuat dalam media sosial, entah itu konflik agraria, kekerasan minoritas, atau intoleransi beragama.

Konflik wadas, penangkapan petani Pakel, penyerangan kaum Syiah di Sampang dsb adalah sederet persoalan viral yang mendapatkan perhatian dari mahasiswa. Padahal, masih banyak kasus lain yang kurang bergema namun memiliki signifikansi yang tak kalah seriusnya dengan persoalan yang viral, sebagaimana terjadi pada petani kopi di atas.

Maka, penting bagi mahasiswa untuk menemukan persoalan serius yang terjadi di masyarakat dengan tidak hanya mengandalkan pada media sosial, melainkan juga melebur pada masyarakat.

Apabila mahasiswa menampik untuk melakukan itu, maka meminjam Tan Malaka, lebih baik pendidikan yang telah diperoleh oleh mahasiswa tidak diberikan sama sekali. [AR]

Muhammad Akbar Darojat Restu Putra Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya