Muhammad Akbar Darojat Restu Putra Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya

Memahami Sains Lebih Jauh: Dari Problem Netralitas hingga Emansipasi

2 min read

“Now I am become death, the destroyer of worlds.”

Kalimat itu meluncur keluar dari mulut Robert Oppenheimer ketika mengenang penghancuran Nagasaki dan Hiroshima dengan bom atom yang proyek penelitiannya ia pimpin.

Ia mengatakan bahwa sejak peristiwa itu ilmuwan mengenal apa yang disebut dengan dosa. Barangkali Oppenheimer tak pernah membayangkan bahwa bom atom yang ia buat dapat menghancurkan sendi-sendi kehidupan. Ia mungkin terkesiap ketika melihat peradaban dua kota besar Jepang itu luluh lantak seketika.

Ada masa ketika sains dielu-elukan lantaran membawa harapan baru bagi manusia. Konon peradaban yang maju dapat disongsong ketika kita menggenggam sains. Hal-hal yang nonilmiah dan tak bisa teruji haruslah dibuang ke tong sampah sejarah.

Yang perlu dipegang adalah hal-hal yang bersifat ilmiah, dan itu ada dalam diri sains. Positivisme adalah aliran filsafat ilmu yang berada dalam posisi ini. Namun, rupanya tak seperti yang diharapkan.

Pada sisi yang lain, alih-alih menerangi, sains justru membawa kegelapan bagi manusia. Hal ini terjadi ketika nilai-nilai kemanusiaan disembelih demi memenuhi hasrat untuk mengembangkan sains. Penghancuran Nagasaki dan Hiroshima yang sempat disinggung di atas adalah salah satu dari sekian banyak catatan hitam yang melibatkan sains.

Tentu saja ini menimbulkan pertanyaan tentang apa yang salah dari positivisme. Mengapa sains yang diasumsikan membawa progresivitas pada level aksiologis justru membuahkan regresivitas?

Jawabannya adalah problem netralitas. Positivisme meyakini bahwa sains haruslah netral. Dalam arti ini, kerja-kerja ilmiah haruslah dipisahkan dari apa yang disebut dengan nilai.

Bagi kaum positivistik, ketika nilai membaur dengan sains, kerja-kerja ilmiah berubah menjadi nonilmiah. Sains menjadi tidak objektif ketika ia masih dicampurkan dengan nilai. Karena itu, pembebasan atau kemanusiaan harus ditanggalkan ketika ilmuwan ingin merengkuh sains yang objektif.

Baca Juga  Menjadi Manusia Hebat al Muhammad Iqbal

Pascamodernisme yang kemudian muncul menentang anggapan tersebut. Pengetahuan apa pun termasuk sains tak pernah netral. Pada level aksiologis, ia selalu bersandar pada kepentingan tertentu.

Tak ada sains yang tanpa kepentingan atau bebas nilai. Bila pun seorang ilmuwan mengatakan bahwa penelitiannya dilakukan hanya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, pada dasarnya itu adalah kepentingan.

Karena itu, pascamodernisme meyakini bahwa sains selalu bersifat subjektif. Tak ada pengetahuan yang objektif karena kemelekatannya dengan nilai. Entah disadari atau tidak, seorang ilmuwan akan membawa nilai yang ia anut ketika melakukan penelitian.

Pascamodernisme kemudian menambahkan satu hal lagi: pengetahuan apa pun bersifat relatif. Bukan saja bahwa sains selalu terkonstitusi oleh ruang dan waktu tertentu, melainkan juga kebenaran yang bersifat absolut dan universal tak pernah mumgkin.

Bagi kaum pascamodern, upaya untuk merengkuh kebenaran yang tunggal dan universal selalu mengeksklusi kebenaran yang lain. Dalam bahasa saintifik, pengetahuan yang ilmiah selalu meminggirkan pengetahuan-pengetahuan lain yang nonilmiah.

Karena itu, kaum pascamodernis mengajak kita untuk meninggalkan [K]ebenaran (K balok) seraya tidak melupakan [k]ebenaran.

Sains dalam pandangan pascamodernis sebenarnya juga tak luput dari problem. Ketika sains tidak dipijakkan pada landasan yang objektif tentu rentan disalahgunakan oleh pihak tertentu. Lagi pula, tampak aneh apabila pengetahuan yang ilmiah dapat disetarakan atau bahkan sama saja dengan pengetahuan yang nonilmiah.

Dalam konteks ini, tak ada bedanya menganggap peristiwa apel jatuh dari pohon sebagai tarikan gaya gravitasi dengan intervensi kekuatan para dewa. Karena itu, penelitian yang dilakukan oleh ilmuwan menjadi kacau dan jauh dari kata ilmiah.

Lalu, bagaimana kita dapat mencapai sains yang objektif sekaligus tanpa terjerembap dalam kungkungan dogma bebas nilai? Dengan lain kata, bagaimana kita dapat merengkuh sains yang menihilkan landasan subjektif tetapi memiliki visi emansipatoris?

Baca Juga  Mengenal Kiai Misbah Mustofa, Penulis Kitab Tafsir al-Iklil fi Ma‘ani al-Tanzil

Pertanyaan itulah yang coba dijawab oleh seorang filsuf kontemporer bernama Roy Bhaskar. Ia mencoba mendamaikan positivisme dengan pascamodernisme, berargumen bahwa sains dapat dimungkinkan sejauh ia memiliki dimensi transitif sekaligus intransitif.

Dimensi transitif terkait dengan bagaimana sains merupakan produk sosial dari sejarah perdebatan masyarakat. Teori relativitas Einsten adalah hasil dari dialog dengan teori gravitasi Newton.

Sementara itu, dimensi intransitif terkait dengan bagaimana sesuatu ada dengan atau tanpa sains. Dalam hal ini, keberadaan sesuatu tidak terikat oleh sains. Kendati gaya gravitasi ditemukan oleh Newton, tetapi sejak zaman Nabi Muhammad atau bahkan Nabi Adam yang namanya suatu benda pasti akan jatuh ke bawah.

Dengan demikian, sains dapat ada justru karena ada dunia di luar sains. Dapat dipahami di sini bahwa keberadaan dunia niscaya independen dari teropong dan analisis saintifik.

Sejarah perdebatan dalam dunia sains bisa ada justru karena ada objek yang—supaya ada—tidak memiliki keterhubungan dengan pengetahuan manusia. Singkatnya, sains haruslah “realis” dan berangkat dari syarat kemungkinan mengenai ontologi dunia, dan karenanya, “transendental” (Martin Suryajaya: 2013, 208).

Dalam ilmu sosial, Bhaskar kemudian coba untuk membuktikan bahwa sains dapat memiliki daya emansipatoris. Ini menyangkut tentang transisi dari fakta ke nilai. Tidak seperti kaum positivistik yang menolak transisi dari fakta ke nilai demi mengkukuhkan netralitas, Bhaskar justru mengafirmasi transisi dari fakta ke nilai.

Argumennya sangatlah sederhana: “apa yang benar sama dengan apa yang baik.” Maka, jika kenyataan masyarakat menunjukkan kontradiksi, maka perlu bagi sains untuk memiliki laku transformatif dengan mewujudkan perubahan sosial.

Di tangan Bhaskar, sains dan emansipasi menjadi seperti tubuh dengan jiwa. Sebab, tanpa sains, emansipasi menjadi tak lebih dari desas-desus belaka, dan tanpa emansipasi, sains menjadi kerja-kerja ilmiah yang tak ada gunanya. [AR]

Muhammad Akbar Darojat Restu Putra Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya