Apa yang kita bayangkan ketika mendengar kata “polisi”? Sosok berseragam yang memberantas kejahatan atau sosok pembawa pentung yang memukul ketidakadilan? Bila gambaran demikian yang ada di batok kepala kita, berarti bisa dikatakan bahwa kita apatis dengan kondisi sekitar atau tak mengikuti perkembangan informasi terkini.
Bisa jadi kita masih terbawa momen-momen masa silam ketika guru Taman Kanak-Kanak kita mengajarkan bahwa polisi adalah cita-cita yang luhur—masa ketika seragam polisi sering dipakai dalam suatu festival atau karnaval sebagai bentuk penghormatan dan penghargaan padanya atas jasa yang diberikan untuk negeri tercinta ini.
Anggapan demikian akan segera roboh ketika kita sedikit saja peduli dengan kondisi sekitar. Misalnya, dengan membaca berbagai macam berita di media massa, kita dapat merasa geram melihat kebengisan polisi dalam menangani kasus. Hal ini bisa dilihat dari polisi bertindak represif terhadap demonstran, melakukan tindakan kekerasan dalam persoalan konflik agraria, dan bahkan ada yang sampai memperkosa anaknya sendiri.
Maka, kita tidak terkejut ketika kemudian di laman media sosial banyak dijumpai hashtag #PercumaLaporPolisi. Hashtag tersebut merepresentasikan pandangan banyak orang atas bobroknya kinerja polisi. Alih-alih memberantas tindak kejahatan, polisi yang sekarang kita kenal justru melakukan tindak kejahatan.
Namun, patut untuk dipahami, bila kita hanya menyebarkan dan menggembar-gemborkan hashtag itu, saya kira tak akan cukup berhasil untuk mentransformasi kinerja kepolisian secara menyeluruh. Apa yang kita butuhkan adalah`suatu tindakan yang jauh lebih esensial dan radikal. Di sini saya mencoba untuk menawarkan apa yang disebut dengan reformasi kepolisian.
Reformasi Kepolisian di Era Gus Dur
Dalam konteks sejarahnya, reformasi kepolisian pernah coba dilakukan Gus Dur dengan mengeluarkan Tap MPR No. 6 Tahun 2000. Tap MPR itu berisi reformasi pada tubuh TNI, di mana jabatan Menteri Pertahanan dipisah dari Panglima TNI dan Menteri Pertahanan dapat dijabat oleh orang sipil. Gus Dur juga menunjuk Panglima TNI dari angkatan yang biasanya dijabat oleh Angkatan Darat.
Hal lain yang dilakukan oleh Gus Dur ialah membubarkan Badan Koordinasi Strategi Nasional (Bakorstanas) pengganti Kopkamtib dan Penelitian Khusus (Litsus). Tap MPR itu juga menyebut pemisahan TNI dan Polri yang mana Polri langsung di bawah kendali presiden.
Pemisahan ini bertujuan untuk menegaskan tugas pokok dari Polri dan TNI. Polri adalah lembaga yang mengurusi keamanan dan pengamanan di wilayah sipil, sementara TNI adalah lembaga yang mengurusi kemanan dan pertahanan negara di wilayah militer.
Barangkali tak terlepas dari konteks zaman itu, reformasi yang dilakukan oleh Gus Dur dapat dikatakan belum radikal. Sebab, ia belum menyasar secara utuh akar dari bobroknya kinerja kepolisian. Maka, penting bagi kita untuk mewujudkan reformasi kepolisian dengan menuntaskan problem tersebut hingga ke akar-akarnya.
Pengawasan Demokratis atas Sektor Keamanan
Secara historis, kinerja kepolisian yang buruk tak terlepas dari ideologi pretorianisme yang mewabah di Dunia Ketiga. Pretorianisme adalah ideologi yang mendorong orang militer merasa lebih berhak mengurusi suatu negara ketimbang orang sipil.
Ideologi itu bisa dilacak asal-usulnya pada zaman perjuangan kemerdekaan, di mana banyak negara di Dunia Ketiga yang menempuh kekerasan bersenjata untuk mengusir penjajah. Orang yang memperjuangkan kemerdekaan itu merasa bahwa dirinya lebih punya andil ketimbang orang sipil. Sehingga, mereka merasa memiliki tanggung jawab lebih untuk menjaga kemerdekaan ketika masuk gelanggang politik.
Bobroknya kinerja kepolisian juga tak terlepas dari problem sektor keamanan itu sendiri. Dalam tulisannya yang berjudul “Problem Pengawasan Sektor Keamanan dan Kemunduran Demokrasi”, Muhammad Haripin menunjukkan beberapa problem yang mengendap dalam sektor kemananan di Indonesia.
Problem itu antara lain ialah kaburnya batas antara profesionalisme dan politik partisan yang diakibatkan oleh gesekan kepentingan antara elite politik dengan aparat keamanan, upaya partai politik dalam menghalangi pengawasan di DPR, ketertutupan aktor keamanan terhadap kasus pelanggaran hukum dan perbuatan sewenang-wenang yang dilakukan oleh personelnya, dan terjadinya jurang pendapat dan kepentingan di antara aktor pengawas dalam menguji suatu perbuatan aktor pengawanan.
Dengan penelisikan problem yang demikian, maka reformasi kepolisian harus dimanifestasikan dalam suatu kerja pengawasan yang menuntut keterlibatan aktif institusi demokratis: parlemen dan komite di dalamnya, media, masyarakat sipil, pemerintah, dan bahkan aparat keamanan itu sendiri.
Kendati demikian, keterlibatan itu juga harus dibarengi dengan transformasi atas relasi politik negara dalam hubungannya dengan monopoli kekerasan. Selama relasi politik negara masih timpang, keterlibatan institusi tersebut hanya berada pada taraf simbolik.
Di sinilah pentingnya membangun oposisi sosial dari kelompok masyarakat sipil yang rentan mengalami represi dari aparat keamanan. Oposisi yang kuat dari masyarakat sipil memungkinkan aparat keamanan tidak berani melakukan kekerasan secara arbitrer.
Dengan merealisasikan hal tersebut, supremasi sipil dalam sektor keamanan akan terwujud dan aparat kepolisian terdorong untuk menghargai hak asasi manusia. [AR]