Intoleransi masih menjadi ancaman dan tantangan serius keberagaman masyarakat Indonesia. Beberapa tahun terakhir, angka-angka pelanggaran kebebasan beragama masih mencatatkan jumlah yang tinggi. Berdasarkan laporan lembaga Setara Institute, sejak tahun 2014 hingga 2023 kemarin perilaku intoleransi yang melanggar hak kebebasan beragama di Indonesia terus menorehkan angka lebih dari 100 kasus per tahun. Bahkan pada tahun 2023 yang lalu, kasus pelanggaran kebebasan beragama mencapai 329 kasus.
Data-data tersebut menggambarkan bahwa fenomena intoleransi masih menjadi persoalan yang harus terus mendapatkan perhatian. Fenomena intoleransi terjadi tidak lepas dari berbagai faktor, baik politik, ekonomi, maupun faktor sosial. Namun, dari berbagai pendekatan terhadap persoalan intoleransi kerap mengabaikan sisi-sisi psikologis bagaimana perilaku intoleransi bisa terjadi.
Psikologi sebagai ilmu yang membedah sisi-sisi terdalam perilaku manusia, memiliki kelebihan untuk dapat memahami secara lebih mikro, mendalam dan detail tentang perilaku manusia. Pemahaman yang lebih mendalam atas perilaku intoleransi tersebut kedepannya dapat dimanfaatkan untuk membangun pendidikan sikap toleransi secara lebih optimal.
Adapun salah satu konsep Psikologi yang sedang berkembang adalah teori Psikologi moral yang dikembangkan oleh ilmuwan Psikologi Sosial asal Amerika Serikat. Ia bernama Jonathan Haidt. Haidt memperkenalkan konsep Psikologi moral melalui bukunya yang sangat populer di negerinya Donald Trump itu. Bukunya berjudul The Righteous Mind: Mengapa Orang-orang Baik Terpecah Karena Agama dan Politik.
Dalam karyanya tersebut, Jonathan Haidt menjelaskan mengapa orang memiliki pandangan moral yang berbeda-beda. Haidt berpendapat bahwa moralitas manusia didasarkan pada enam pondasi dasar.
Pertama, care/harm (kepedulian dan bahaya); kedua, fairness/cheating (keadilan dan penipuan); ketiga, loyalty/betrayal (loyalitas dan pengkhianatan), keempat, authority/subversion (otoritas dan subversi); kelima, sanctity/degradation (kesucian dan degradasi); dan keenam liberty/oppression (kebebasan dan penindasan).
Penting untuk dipahami bahwa berbagai kelompok sosial, termasuk masyarakat muslim di Indonesia, dapat mengutamakan pondasi moral tertentu lebih dari yang lainnya. Misalnya, dalam konteks masyarakat Indonesia, pondasi seperti “kesucian” dan “otoritas” sering kali sangat dijunjung tinggi, sementara fondasi seperti “care” atau “fairness” bisa jadi tidak mendapat perhatian yang sama. Ini bisa memengaruhi bagaimana masyarakat merespons kelompok-kelompok yang dianggap “berbeda” secara agama.
Secara khusus, dalam konteks masyarakat muslim Indonesia, ajaran agama yang kuat mengenai kesucian, ketertiban sosial, dan kewajiban terhadap ajaran yang benar dapat memengaruhi bagaimana individu melihat kelompok agama yang lain. Di satu sisi, nilai-nilai kesucian dan otoritas agama bisa memperkuat solidaritas antar umat muslim, namun pada sisi negatifnya, bisa juga memperburuk intoleransi terhadap mereka yang dianggap “menyimpang” atau “tidak sah” dalam ajaran agama. Hal ini seperti yang terjadi pada kelompok minoritas seperti Ahmadiyah.
Ada sebuah penelitian yang menarik perihal Psikologi moral konteks masyarakat muslim Indonesia beberapa tahun yang lalu. Penelitian yang dilakukan oleh Irfan Fahmi, Bagus Takwin, dan Roby Muhamad (2019) tersebut menghasilkan temuan yang menarik perihal Psikologi moral masyarakat muslim kita. Mereka menemukan bahwa orang-orang yang terafiliasi dengan kelompok muslim konservatif dan eksklusif memiliki moral “kesucian” yang tinggi. Moral “kesucian” yang tinggi tersebut juga berkorelasi dengan orientasi politik keagamaan yang eksklusif dan intoleran.
Kelompok muslim konservatif dan eksklusif sebagaimana yang dijelaskan dalam penelitian tersebut merupakan kelompok ormas yang kerap menjadi sponsor utama perilaku intoleransi yang sering terjadi di Indonesia. Melalui pemahaman Psikologi moral, akhirnya saat ini kita lebih memahami pondasi moral apa yang dominan pada mereka. Tingginya moral “kesucian” pada mereka inilah yang kerap menjadikan alasan mereka menganggap kelompok seperti Ahmadiyah sebagai kelompok yang “menyimpang” dan “sesat.”
Berbeda dengan kelompok konservatif, menurut penelitian tersebut, orang-orang yang terafiliasi dengan kelompok ormas moderat memiliki moral “kesucian” yang sedang. Moral “kesucian” yang sedang tersebut juga berkorelasi dengan orientasi politiknya yang inklusif. Mereka lebih bersahabat dalam melihat perbedaan-perbedaan keyakinan agama yang ada di masyarakat. Mereka tidak mudah menjustifikasi kelompok minoritas sebagai orang yang menyimpang.
Melihat temuan-temuan ini membantu kita untuk memahami sisi moral mana yang perlu mendapatkan perhatian dalam konteks untuk meningkatkan perilaku yang toleran di Indonesia. Pada kelompok konservatif, perlu untuk terus mempromosikan nilai-nilai keislaman yang inklusif agar dapat menurunkan kadar moral “kesucian” yang terlampau tinggi tersebut.
Dalam konteks masyarakat yang luas, penting untuk memperkuat pendidikan moral berbasis nilai-nilai pluralisme dan saling menghargai. Pendekatan ini dapat membantu masyarakat memahami pentingnya keseimbangan antara nilai-nilai agama yang menjadi bagian integral dalam kehidupan mereka dengan prinsip-prinsip moral universal seperti kesetaraan dan kebebasan beragama.
Melalui pemahaman yang lebih dalam tentang Psikologi moral, masyarakat diharapkan dapat merangkul nilai-nilai yang mengutamakan kesadaran akan keragaman dan pluralitas. Di samping itu, perlu juga diingat bahwa peran ulama’ dan pemuka agama sangat penting dalam memberikan panduan moral yang inklusif dan mengedepankan toleransi, bukan pemahaman yang memecah-belah. [AA]