Kemenangan Taliban di Afghanistan beberapa waktu yang lalu turut menambah perwajahan Islam di kancah dunia yang tampak kaku dan tidak menyenangkan. Citra Islam yang tidak menyenangkan sudah dimulai sejak Al-Qaeda beberapa kali meledakkan bom di Barat dan gerakan Islamic State of Iraq and Syiria (ISIS) menguasai sebagian Timur Tengah pada beberapa tahun silam dengan penuh kekerasan.
Dunia Islam kemudian tampak beririsan dengan bom dan kekerasan. Perwajahan dunia Islam yang negatif seperti ini tampaknya perlu kita refleksikan, terlebih lagi konteks Indonesia perwajahan Islam pada level tertentu juga tidak jauh berbeda dengan yang sedang terjadi di kancah global. Di tanah air, ide-ide konservatisme Islam yang mendasari Al-Qaeda dan ISIS juga berkembang cukup signifikan.
Nuansa konservatisme Islam juga tampak pada wacana pelarangan mendengarkan dan bermain musik, membuat film, dan hal-hal lain kebudayaan perkotaan. Islam tampak bergitu memusuhi hal-hal yang bernuansa kesenang-senangan. Nuansa keislaman yang tampak kemudian hanya terkait dengan kekakuan dalam hidup.
Islam dan Urgensi Ruang (Publik) Bermain yang Menyenangkan
Penulis mempunyai tesis bahwa munculnya nuansa Islam yang konservatif dan radikal seperti yang dikhawatirkan pemerintah hari ini, bermula dari kurang adanya perhatian para ulama’ terhadap pentingnya ruang (publik) bermain yang menyenangkan bagi semua kalangan.
Selama ini, proposal pembangunan di lingkungan dunia Islam hanya perkaitan kepada pembangunan fasilitas ibadah dan belajar mengajar. Hal itu bukanlah sesuatu yang tidak penting. Namun, untuk membangun masyarakat yang humanis dan menggembirakan membutuhkan fasilitas ruang bermain yang banyak. Karakter pembangunan dunia Islam yang demikian tentu tak lepas dari teologi yang berkembang dan dominan dalam dunia Islam saat ini.
Saya membayangkan bahwa peradaban Islam dapat memunculkan bentuk masyarakat yang menyenangkan dan damai seperti yang ada pada sebagian besar suasana kota-kota di Barat. Di Finlandia misalnya, di setiap sore hari masyarakat jalan-jalan di taman kota untuk berolahraga dan bermain-main bersama keluarga dan warga kota.
Di negeri-negeri Barat sangat memperhatikan pentingnya penyediaan fasilitas taman kota yang menyenangkan. Di Amerika Serikat sendiri, mengutip A. Bagus Laksana di Majalah Basis berjudul Di Antara Ruang Tipis dan Vertigo Identitas menyatakan bahwa Amerika Serikat sendiri terobsesi untuk membuat taman kota sebagai bagian dari pengembangan identitas nasional.
Hadirnya taman bermain dapat menjadi medium yang natural untuk menumbuhkan rasa kecintaan masyarakat terhadap negeri yang ditinggalinya. Rasa ‘klangenan’ atas hal-hal menyenangkan yang ditemui atas taman bermain di kotanya masing-masing dapat menumbuhkan rasa kepemilikan terhadap kota dan negerinya.
Teologi Ruang Bermain dan Inklusi Sosial
Sebagaimana yang telah penulis kemukakan di awal bahwa teologi Islam yang berkembang saat ini turut sangat memengaruhi gaya pembangunan sosial di kalangan umat. Teologi keislaman dominan saat ini hampir nyaris tidak memiliki perhatian kepada persoalan yang sifatnya insaniyah (kemanusian) dalam konteks peradaban.
Perhatian umat Islam terhadap pembangunan peradaban hanya meliputi pembangunan rumah ibadah dan tempat belajar mengajar saja. Padahal, untuk membangun masyarakat yang ceria dan gembira, memerlukan sarana yang memungkinkan tumbuhnya suasana yang menyenangkan dan damai.
Saat ini perlu adanya pembaharuan teologi Islam untuk memuat variabel perhatian kepada ruang (publik) bermain. Ruang bermain yang inklusif dapat menjadi perekat sosial dan pembelajaran sosial multikulturalisme dimana umat dapat belajar bahwa realitas sosial penuh dengan keberagaman agama dan etnis.
Ruang bermain dapat menjadi alternatif aktivitas bagi kalangan muslim sehingga yang dipikirkan tidak saklek apa-apa harus berkaitan dengan agamanya. Taman bermain dapat menjadi wahana multikultural yang mana dapat berjumpa dengan kalangan yang beragam. Meminjam istilahnya filsuf Emmanuel Levinas, wahana “berjumpa dengan wajah yang liyan.”
Tempat perjumpaan umat dengan wajah sang liyan ini dapat juga dijadikan wahana untuk kontra narasi terhadap sikap beragama yang ekstrem dengan ciri yang eksklusif hanya berkumpul dengan kelompoknya saja. Ruang bermain dalam konteks ini dapat menjadi wahana penyemaian benih-benih toleransi antar umat beragama. (mmsm)