Efri Arsyad Rizal Mahasiswa S1 Jurusan Ilmu al Quran dan Tafsir UIN Walisongo Semarang

Daeng Nachoda: Buku Penting bagi Generasi Muda Muslim Bali

2 min read

Bila anda bertolak ke Jembrana Bali, khususnya daerah Loloan, Banyubiru dan sekitarnya, jangan kaget jika kedapatan mendengar masyarakatnya menggunakan bahasa upin-ipin dalam kesehariannya.

Membahas topik ini tentu menjadi perbincangan yang panjang jika kita ingin merunutnya dari akar sejarah. Bahasa Melayu atau lebih tepatnya disebut Bahasa Loloan ini sudah menjadi identitas masyarakat Muslim di wilayah Jembrana Bali.

Tentu ada keterkaitan sejarah mengapa masyarakat muslim di wilayah ini menggunakan bahasa yang berbeda dengan daerah muslim Bali di Buleleng ataupun di Wilayah Bali timur.

Namun realitanya, muslim di Bali menggunakan berbagai macam bahasa komunikasi, seperti bahasa Melayu, Jawa, bahkan ada yang menggunakan bahasa Bali, seperti di daerah Pegayaman, Denpasar, dan juga Klungkung.

Hal itu sudah bukan merupakan hal yang mengagetkan. Karena proses masuknya Islam masuk ke Bali tidak berasal dari satu wilayah saja, melainkan terdapat beberapa pendatang yang berasal dari Jawa, Makassar, Lombok, bahkan ada yang berpendapat dari Serawak Malaysia.

Jika anda tertarik untuk mengetahui lebih jauh tentang sejarah masuknya Islam di Jembrana, anda bisa membaca buku “Daeng Nachoda Terdamparnya Skuadron Pasukan Kesultanan Wajo di Jembrana pada Abad ke-17” karya Eka Sabara”. Buku ini berisi tentang awal mula Islam tiba di wilayah ujung barat pulau dewata.

Pada sepatah kata yang disampaikan oleh penulis disebutkan, “Riwayat rekam jejak Daeng Nachoda di Bali Barat yang telah mendahului kita, sangat perlu ditulis kembali karena beliau telah mengorbankan jiwa raganya untuk generasi sesudah beliau”.

Tentu membaca buku ini akan menjawab pertanyaan di awal tadi, mengapa bahasa melayu menjadi bahasa sehari-hari masyarakat Muslim Loloan.

Selain itu, buku ini memberikan gambaran spesifik tentang sejarah masuknya Islam di Jembrana Bali. Jika di dalam buku Muslim Bali Mencari Kembali Harmoni yang Hilang tulisan Dhurorudin Mashad membahas sejarah masuknya Islam di Bali secara general, maka buku Daeng Nachoda ini memberikan penjelasan lebih jauh, khususnya untuk wilayah Jembrana.

Baca Juga  Nalar Logis Imam Ghazali tentang Imam vis-à-vis Nalar Irasional Atha Abu Rashta perihal Khalifah

Menariknya, tak hanya sejarah saja yang menjadi nilai utama dari buku ini, melainkan kita juga akan lebih mengenal terhadap warisan tradisi budaya, baik yang berkaitan dengan keagamaan, kehidupan, sosial masyarakat, dan juga pengetahuan serta mata pencaharian.

Semua itu merupakan tradisi budaya yang memang sudah turun temurun hingga saat ini masih eksis dan bisa dijumpai jika kita menapakkan kaki di wilayah ini.

Buku yang berisi 88 halaman ini merupakan karya yang sangat apik dari penulisnya. Selain menulis buku, Eka Sabara juga aktif menulis di media online lainnya tentang kesejarahan Loloan Jembrana Bali. Namun sejatinya buku ini menyimpan berbagai pertanyaan yang masih perlu dikaji lebih dalam oleh para peneliti.

Pada halaman 41 misalnya. Pada bagian ini tertulis tentang sejarah Syekh Maulana Yusuf bin Abdullah Al Makassar atau yang sering disebut Syekh Yusuf Al Makassari saat berada di Loloan.

Tentu ini merupakan fenomena yang sangat bersejarah, megingat Syekh Yusuf Al-Makassari sebelum diasingkan di Cape Town Afrika Selatan pada tahun 1699, merupakan ulama yang sangat masyhur dan memiliki peran yang sangat besar pada masanya.

Selain itu, dalam buku ini menggambarkan jelas bagaimana peranan masyarakat muslim dengan kerajaan hindu masa itu. Kerja sama yang dilakukan bukanlah hanya sekadar saling menghormati. Namun juga dalam ekonomi, persaudaraan, bahkan hingga keamanan.

Pada halaman 26 disebutkan, berawal dari ketertarikan Kerajaan Buleleng untuk memperluas daerah kekuasaannya hingga Jembrana pada tahun 1690 M, Kerajaan Jembrana menghadapi sebuah ancaman. Jembrana yang dulunya terisolir menjadi wilayah yang makmur sejak keberadaan Daeng Nachoda di Jembrana. Sehingga kerajaan-kerajaan di sekitar, khususnya Buleleng, mulai melirik Jembrana sebagai sasaran ekspansinya.

Baca Juga  [Resensi] Aswaja dan Marhaenisme: Titik Temu Politik Kebangsaan Islam Nusantara

Mendengar informasi tersebut, Raja Pancoran (Raja Jembrana kala itu) mengundang Daeng Nachoda untuk mempersiapkan strategi pertahanan atas ancaman tersebut. Singkat cerita, Pasukan Kerajaan Jembrana yang dibantu oleh Pasukan Daeng Nachoda memenangi pertempuran tersebut.

Alhasil masyarakat Muslim mendapat perlakuan yang khusus dan diberikan kemudahan-kemudahan, seperti dapat melakukan transaksi perdagangan dan juga menyebarkan agama Islam kepada masyarakat sekitar.

Buku ini menyegarkan kembali tentang keragaman budaya Indonesia di Bali. Generasi sekarang harus selalu diajarkan tentang bagaimana indahnya sejarah yang terjadi di masa lalu. Sehingga persaudaraan antar-umat beragama tidak akan luntur dan justru menjadikan Indonesia semakin unik dengan perbedaan-perbedaannya.

Sayang sekali, nampaknya buku ini tak banyak dikonsumsi oleh generasi muda. Kalau bukan kita sebagai generasi muda, lantas siapa lagi yang akan menjadi penerus bangsa untuk melestarikan kekayaan negara kita?

Editor: MZ

Efri Arsyad Rizal Mahasiswa S1 Jurusan Ilmu al Quran dan Tafsir UIN Walisongo Semarang