Ilmu tajwid adalah ilmu yang sudah tidak asing lagi di telinga kita. Ilmu ini mengajarkan tentang tata cara membaca Alquran dengan baik dan benar. Umumnya diajarkan di TPQ, musala maupun di pondok pesantren. Pentingnya ilmu ini semakin dirasakan kembali sejak akhir-akhir ini banyak para pendakwah dadakan yang viral di medsos dengan lihai berfatwa namun sangat miris dalam bacaan ayat Alqurannya. Fenomena tersebut membuat kita berkaca kembali bahwa ilmu tajwid sangat penting dikuasai sebelum menguasai ilmu Alquran lainnya, apalagi jika ingin berdakwah dengan mengutip ayat-ayat Alquran.
Bagi kalangan santri, kitab ilmu tajwid yang populer dipelajari antara lain Tuhfat al-Athfāl, Matn al-Jazarīyah, dan Hidāyat al-Sibyān. Namun masyarakat Muslim di Bali sedikit berbeda, khususnya di wilayah Jembrana. Ada yang unik saat kita ingin menelusuri kitab apa yang dijadikan pedoman ketika mempelajari ilmu tajwid.
Alih-alih menggunakan kitab berbahasa Arab seperti Tuhfat al-Athfāl, Matn al-Jazarīyah, dan Hidāyat al-Sibyān, masyarakat Muslim Jembrana menggunakan kitab bahasa Melayu, A’māl al-Khairāt untuk mempelajari ilmu tajwid. Walaupun begitu, kitab tajwid Hidāyat al-Sibyān fī Tajwīd al-Qur’ān karangan Syekh Said Nabhan juga merupakan kitab tajwid populer yang digunakan oleh masyarakat Jembrana Bali. Dalam proses pembelajarannya seringkali mengombinasikan dua kitab tersebut (Hidāyat al-Sibyān fī Tajwīd al-Qur’ān dan A’māl al-Khairāt).
Di Bali terdapat Pondok Pesantren Manba’ul Ulum yang didirikan oleh KHR. Ahmad Al-Hadi. Pondok ini didirikan pada tahun 1930 dan menjadi pondok tertua di Bali. KHR Ahmad Al Hadi lahir pada tahun 1895 (pendapat lain tahun 1899) dari pasangan Kiai Dahlan Al-Falaky dan Nyai Siti Zahroh (putri KH Soleh Darat Semarang).
Beliau juga merupakan pendiri NU di Bali dan pernah belajar dengan Kiai Soleh Darat, Kiai Kholil Bangkalan, Kiai Termas, dan Kiai Umar Sarang sebelum menapakkan kaki ke Bali. (selengkapnya baca: Pendiri NU Pertama di Bali, nu.or.id)
Ustaz Semarang (Julukan Kiai Ahmad Al-Hadi) memiliki beberapa karya diantaranya kitab A’māl al-Khairāt yang berisi tentang ilmu tajwid, ilmu fiqih, doa-doa, serta beberapa amalan-amalan. Selain itu adapula kitab “Kumpulan Sya’ir: KHR. Ahmad Al-Hadi bin Dahlan Al-Falaky (1895-1976)”.
(Cover Kitab Kumpulan Syair)
Sumber: Dokumen Pribadi
Menurut Hasbil Ma’ani (Cucu KHR. Ahmad Al-Hadi), terdapat beberapa karya lain dari KHR. Ahmad Al-Hadi. Namun karya-karya tersebut sudah hilang. Ia menyampaikan bahwa kitab yang eksis saat ini merupakan salinan dari ibundanya, Ny. Hj. Musyarrofah Ahmad binti KHR. Ahmad Al-Hadi.
Hal ini juga dibuktikan di bagian pengantar, sebelum muqoddimah kitab, tertulis dengan menggunakan tulisan pegon, “dengan berkah hidayah dan taufiq inayah Allah. Alhamdulillah kami dapat merangkum dzikr dan syair-syair yang berkaitan dengan ilmu tajwid, fiqih, dan lain-lain. Agar mudah dapat dipahami. Oleh para pencari ilmu”.
Kitab ini ditulis menggunakan tulisan pegon dengan menggunakan bahasa melayu. Sebagai pendakwah yang mendakwahkan Islam di wilayah Jembrana, bahasa Melayu merupakan bahasa yang tepat untuk menyampaikan ajaran-ajaran agama ke masyarakatnya.
(Kata Pengantar Penyalin Kitab A’māl al-Khairāt)
Sumber: Dokumen Pribadi
Untuk mengetahui lebih jauh tentang KHR. Ahmad Al-Hadi, penulis menyarankan membaca beberapa refrensi antara lain, Disertasi yang ditulis oleh Rohil Zilfa, “Eksistensi Pondok Pesantren Manba’ul Ulum Loloan Timur di Tengah Masyarakat Multikultural Kabupaten Jembrana Provinsi Bali” (2019), “Pendiri NU Pertama di Bali”, tulisan Rifkil Halim Muhammad yang diunggah di laman nu.or.id, dan ““KH Ahmad Dahlan” Bukan Pendiri Muhammadiyah, Tapi Ahli Falak” di laman dutaislam.com oleh M. Rikza Chamami. Selain itu juga bisa membuka video Perjalanan Dakwah Ustad Semarang—Sebuah Film Pendek tentang Sejarah Ulama di Jembrana Bali di channel youtube Loloan Project.
Kitab Ilmu Tajwid
Kitab A’māl al-Khairāt jilid 1 sampai 5 yang berada di tangan penulis merupakan kitab yang mengalami beberapa penyempurnaan tulisan. Hasbil Ma’ani menyampaikan bahwa pada awalnya kitab ini disalin langsung dari tulisan KHR Ahmad Al-Hadi yang belum tersusun rapi dan terdapat beberapa tulisan yang sudah tidak jelas untuk dibaca.
Penyalinan kitab ini dilakukan pada tahun 1994 oleh generasi kedua. Awalnya hanya jilid 1, 2, dan 3 saja yang disalin menggunakan tulisan tangan. Kemudian seiring berkembangnya zaman, jilid 4 dan 5 disalin dengan ketikan komputer. Namun karena jilid 1 yang merupakan salinan tangan terdapat beberapa tulisan yang kabur, dilakukan pengetikan ulang dengan beberapa penyempurnaan kembali agar lebih mudah dibaca.
Sejak tahun 1994, kira-kira sudah dicetak kembali sebanyak 2600 eksemplar hingga saat ini dan masih untuk kalangan santri dan masyarakat sekitar saja. Adapula rencana agar kitab ini bisa dicetak di penerbit, supaya menjangkau publik secara luas dan lebih banyak lagi yang membaca dan mengkaji kitab ini.
Ilmu tajwid terdapat dalam kitab A’māl al-Khairāt jilid 2 pada halaman 4 sampai 19. Dalam muqoddimah bagian ilmu tajwid tertulis, “Sebelum kita mempelajari membaca Alquran, lebih dahulu kita mengenal ilmu tajwid. Karena ilmu tajwid alat untuk memperbaiki membaca Alquran”. Lalu dilanjutkan dengan penjelasan tentang ilmu tajwid, pengertian, hukum bacaan, dan syair-syairnya.
(Mukadimah Ilmu Tajwid dalam Kitab A’māl al-Khairāt)
Sumber: Dokumen Pribadi
Penggunaan syair menggunakan bahasa melayu ditujukan agar masyarakat mudah memahami dan menghafal hukum-hukum tajwid. Tradisi menghafal syair-syair tersebut masih eksis hingga sekarang. Salah satunya di Pondok Pesantren Nurul Ikhlas Jembrana Bali.
Pondok Pesantren yang pengasuhnya merupakan anak dari KHR. Ahmad Al-Hadi, KH. Fathurrahim Ahmad, melestarikan syair-syair karangan KHR Ahmad al-Hadi di aktivitas sehari-harinya. Seperti membaca bait-bait syair sebelum waktu pengajian kitab kuning, puji-pujian sebelum salat berjemaah, dan juga di waktu ngaji Alquran ba’da subuh dan ba’da maghrib.
Dengan tulisan ini, penulis berharap agar kekayaan khazanah keislaman di Nusantara khususnya di Bali dapat terus dilestarikan. Santri Bali yang memiliki keunikan tersendiri harus menjadi garda terdepan sebagai penerus para gurunya. Terlebih KHR. Ahmad Al-Hadi merupakan cucu dari KH Soleh Darat yang merupakan “Mahaguru Ulama Nusantara” yang sudah tidak diragukan lagi kealimannya.
Syair-syair ilmu tajwid dalam kitab A’māl al-Khairāt jilid 2:
- Syair Nun tasydid dan Mim tasydid
“begitu juga nun musyaddadah wajibul ghunnah tak boleh pindah”
“mim musyadadah itu sempurna wajibul ghunnah lain tak kena”.
- Syair Idghom Mitslain ma’al Ghunnah
“idhom mitslain itulah satu, hurufnya mim yang sudah tentu”.
- Syair Ikhfa Syafawi
“wa man ya’tasim billah itu, ikhfa syafawi namanya itu”.
- Syair Idzar Syafawi
“matinya mim idzhar rupanya, selain mim ba’ berjumpanya”.
- Syair Idhom bighunnah
“hurufnya idhom bighunnah empat, dilafaz nuwmiy telah berempat”.
- Syair Ikhfa’
“hurufnya ikhfa’ ya lima belas, janganlah lengah janganlah waswas”.
- Syair Idzhar Halqi
“hurufnya idzhar yaitu enam, harap perhati harap dighunam”.
- Syair Iqlab
“hurufnya iqlab yaitu satu, yaitu ba’ bertitik satu”.
- Syair Idhom bilaghunnah
“idghom yang tidak ghunnah hurufnya, cumalah dua lam ro’ namanya”.
- Syair Qolqolah
“huruf qolqolah banyaknya lima, di qotbu jadiy telah bernama”.
- Syair Huruf Itbaq (Isti’la’)
“huruf isti’la’ banyaknya tujuh, khosso dho’tin qidz itu ditujuh”.
- Syair Mad Wajib Muttasil
“adanya hamzah disuatu kalimat, sesudah huruf mad yang genap”.
- Syair Mad Lazim Mutsaqol Kilmiy
“jika ba’danya huruf mad itu, huruf musyaddadah namanya itu”.
Editor: MZ