Jika mengacu kepada tipologi tasawuf yang dikembangkan oleh banyak akademisi Muslim, kita mendapati dua tipologi utama yang cukup populer, Sunnī/‘Amalī/Akhlaqī dan tasawuf Falsafī/Shī‘ī—walaupun tidak semua sufi terwadahi dalam dua tipologi tersebut.
Belakangan Fazlur Rahman (1919-1988) menghadirkan tipologi baru Neo-sufisme di luar dua mazhab populer—yang kemudian diikuti oleh Nurcholish Madjid (1939-2005) yang memperkenalkan di Indonesia.
Tipologi ini dihadirkan untuk membaca sufisme secara periodik/masa, karena Rahman—sependek amatan saya dalam buku Islam, membagi sufisme dalam dua periodik, ortodoks dan modern.
Di beberapa buku tasawuf berbahasa Indonesia, dua tipologi Sunni dan Falsafi adalah yang paling sering dijelaskan untuk memotret khazanah pemikiran sufisme yang berkembang di dunia Islam. Yang dijadikan acuan salah satunya adalah buku Abū al-Wafā al-Ghanīmī al-Taftāzānī yang berjudul Madkhal ilā al-Tasawwuf al-Islāmī.
Al-Taftāzānī menjelaskan tokoh-tokoh yang dikategorikan sebagai role model sufi Sunnī adalah Abū Hāmid al-Ghazālī (w. 1111 M). Pengaruh sufisme al-Ghazāli pada akhirnya mempengaruhi generasi selanjutnya, seperti Sayyid Ahmad al-Rifā‘ī, ‘Abd al-Qādir al-Jīlanī, Abū al-Hasan al-Shādhilī, Abū al-‘Abbās al-Mursī, dan Ibn ‘Athaillah al-Sakandarī.
Sedangkan generasi sufi yang mengelaborasi doktrin sufisme dan filsafat adalah Suhrawardī al-Maqtūl dengan Hikmat al-Ishrāq-nya dan Muhy al-Dīn b. ‘Arabī, ‘Umar b. al-Fārid, dan Ibn Sab‘īn yang populer dengan doktrin wahdat al-wujūd. Mereka masuk dalam kategori tasawuf Falsafī. [al-Taftāzānī, Madkhal, 18-19]
Akademisi lain seperti Fazlur Rahman merasa perlu menggagas tipologi baru yang mewadahi “gaya sufisme” lain yang tidak masuk dalam kategori kedua tipologi populer dalam tipologi lain, yakni Neo-Sufisme. Barangkali tipologi ini digunakan untuk menangkap gejala sufisme yang sangat ketat dalam menerapkan prinsip-prinsip syariah sebagaimana model ordo sufi (tarekat) seperti Sanusiyah di Afrika Utara dan Muhammadiyah di India yang keluar dari pakem tradisional ordo sufi lama/ortodoks.
Istilah Neo-sufisme sendiri terdiri dari dua kata neo dan sufisme. Neo berarti sesuatu yang baru atau yang diperbarui. Sedangkan sufisme berarti nama umum bagi berbagai aliran sufi dalam agama Islam. Dengan demikian, Neo-sufisme dapat diartikan bentuk baru sufisme atau pembaruan sufisme dalam Islam. Menurut Rahman, Neo-sufisme adalah Reformed Sufism, sufisme yang telah diperbarui. [Fazlur Rahman, Islam, 78-79]
Singkatnya, Neo-sufisme dapat dikatakan sebagai upaya penegasan kembali nilai-nilai Islam yang utuh, yakni kehidupan yang berkeseimbangan dalam segala aspek kehidupan dan ekspresi kemanusiaan.
Dengan alasan ini pula dapat dikatakan, bahwa yang disebut Neo-sufisme itu tidak seluruhnya hal baru, namun lebih tepatnya disebut sebagai sufisme yang diaktualisasikan dalam kehidupan pribadi dan masyarakat sesuai dengan kondisi kekinian.
Neo-Sufisme dalam terminologi Fazlur Rahman atau tasawuf modern dalam terminologi Hamka berusaha tetap mempertahankan hasil-hasil positif dari modernisme dengan mengisi kekosongan-kekosongan yang terdapat padanya [Ahmad Najib Burhani, Sufisme Kota: Berpikir Jernih Menemukan Spiritualitas Positif, 171-172].
Yang menjadi pertanyaan adalah apakah kategori tipologi baru ala Fazlur Rahman—yang akhirnya juga diikuti oleh akademisi lain—ini dianggap benar-benar baru atau model sufisme lama dalam wadah baru, mengingat tidak ada konsensus dalam literatur Arab yang menyebutkan hal ini tipologi ini.
Beberapa figur sufi seperti al-Harawi, Ibn Taymīyah, dan Ibn Qayyim al-Jauziyyah selama ini memang dikenal cukup keras dalam menolak pemikiran-pemikiran Sufisme Falsafi ala Abu Mansur al-Hallāj dan Abu Yazid al-Bistāmī. Hal itu memang sangat berbeda dengan model tipologi Sunni yang dalam melihat fenomena Sufi-Falsafi tidak sekeras Ibnu Taimiyyah. Barangkali pemikiran itulah yang oleh Fazlur Rahman diwadahi dalam kategori baru Neo-Sufisme yang tidak ortodoks, baik Sunni atau Falsafi.
Bagi saya, kategori neo untuk disematkan dalam lafal sufisme ini masuk dalam periode/era kesufian tertentu, modern. Karena itu, Rahman membagi sufisme secara periodik, ortodoks dan modern. Hal ini sebagaimana pula yang ditawarkan Rahman dalam menyebut pemikiran Islam modern-kontemporer di antara tipologi revivalisme, modernisme, neo-revivalisme, dan neo-modernisme. Dalam pandangan saya, istilah ini menyimpan dimensi waktu yang menaungi istilah neo. Bukan menyingkap karakter dan landasan filosofis sufismenya, sebagaimana Sunni dan Falsafi.
Jika kemudian tipologi neo-sufisme ini dipakai untuk menyebut dan mengkategorikan sufisme ala al-Harawi, Ibn Taymīyah, dan Ibn Qayyim al-Jauziyyah, maka hal ini semestinya perlu dilakukan diskusi yang lebih mendalam lagi (Lihat penjelasan Rahman dalam buku Islam halaman 285).
Istilah Rahman ini bukan dianggap clear-cut oleh banyak akademisi. R.S. O’Fahey dan B. Radtke dalam artikel “Neo-Sufism Reconsidered”, Der Islam, University of Bergen Vol. 70 (1993) menyebut istilah ini cukup rancu, karena gambaran fase baru dalam sejarah intelektual tasawuf terutama jika apa yang dimaksud oleh neo-sufisme adalah para sufi yang menolak tradisi mistik dan unsur-unsur filsafat dalam bertasawuf. Apa yang kemudian disebut dengan neo-sufisme—bagi R.S. O’Fahey dan B. Radtke—ternyata tidak benar-benar baru. Kecuali istilah itu dibuat untuk menggambarkan komunitas ordo sufi tertentu di wilayah tertentu di dunia Muslim, sebagaimana Tarekat Sanusiyyah di Afrika dan Muhammadiyah di India.
John O. Voll pun mendukung analisis R.S. O’Fahey dan B. Radtke. Dalam artikel berjudul “Neo-Sufism: Reconsidered Again”, Canadian Journal of African Studies, Vol. 42, Voll berpendapat bahwa perkembangan konsep neo-sufisme sebagai identifikasi ordo sufi pada abad 18 dan 19 ini dianggap terlalu sederhana. Dia setuju dengan pandangan O’Fahey dan Radtke (1993) mengenai gagasan bahwa gerakan yang disebut neo-Sufisme lebih merupakan istilah kenyamanan deskriptif daripada teori yang diusulkan tentang gerakan pembaruan sufisme Muslim.
Dalam masalah ini, tawaran Muhammad Mustafā Hilmī, ‘Abd al-Fattāh Muhammad Sayyid Ahmad, dan ‘Abd al-Qādir Mahmūd perlu untuk dibaca secara saksama. Mereka bertiga di buku yang berbeda mencoba menginventarisir posisi sufisme seperti al-Harawi, Ibn Taymīyah, Ibn Qayyim dll di luar tipologi tasawuf Sunnī dan Falsafī. Tawarannya adalah “Tasawuf Salafi”. [‘Abd al-Qādir Mahmūd, al-Falsafah al-Sūfīyah fī al-Islām: Masādiruhā wa Makānatuhā min al-Dīn wa al-Hayāh (Beirut: Dār al-Fikr al-‘Arabī, t.th.]
Tipologi ini dianggap selaras dengan model ideologi salafisme al-Harawi, Ibn Taymīyah, dan Ibn Qayyim [Baca: al-Tasawwuf bayn al-Ghazālī wa Ibn Taymīyah, 2000, 311].
Salaf secara etimologis berarti “masa lalu”. Yang termasuk golongan salaf adalah para sahabat, tābi‘īn, dan tābi‘ al-tābi‘īn. Secara istilah, salafiyah berarti sekelompok Muslim yang menjaga akidah dan metode Islam sesuai dengan pemahaman Muslim awal yang mendapatkan ilmu langsung dari Nabi Muhammad. Mereka berpegang teguh pada al-Qur’ān dan Sunnah Nabi. [Ibid].
Antara tasawuf Salafi dan Sunnī sangat berbeda. Jika tasawuf Sunnī masih menerima takwil dengan dasar akal yang berpedoman pada aspek sharī‘ah, maka tasawuf Salafi menolak dengan tegas takwil terhadap teks-teks keagamaan.
Sebagai contoh, Ibn Taymīyah secara rigid menghindari segala macam takwil. Misalnya saat ia menyebut Allah menciptakan langit dan bumi selama enam hari dengan jumlah yang tersebut dalam al-Qur’ān, kemudian Ia menempati arsy di sepuluh tempat yang berbeda-beda. Contoh lain tentang kekakuan pandangan Ibn Taymiyah bisa dilihat dalam buku Mahmūd, ‘Abd al-Qādir yang berjudul al-Falsafah al-Sūfīyah fī al-Islām: Masādiruhā wa Makānatuhā min al-Dīn wa al-Hayah.
Tasawuf Salafī mempunyai kecenderungan pada antropomorphisme, sedangkan Tasawuf Sunnī menghindari apapun bentuk yang mengarah pada dimensi antropomorphisme dalam mengkaji Tuhan.
Para Sufi Salafī mendasari semua doktrin sufismenya pada fondasi al-Qur’ān, Sunnah, dan tradisi generasi al-salaf al-sālih. Tidak ada satupun pandangan para sufi yang punya derajat luhur kecuali semuanya didasarkan pada pengetahuan yang bersumber pada sumber autentik Islam. Doktrin sufisme apapun harus berpegang teguh pada prinsip-prinsip shar‘ī. [Baca: Ahmad, ‘Abd al-Fattāh Muhammad Sayyid, al-Tasawwuf bayn al-Ghazālī wa Ibn Taymīyah, hal. 313-322]
Sedangkan Ghozi dalam disertasi berjudul “Konsep Makrifat dan Rekonsiliasi Mazhab Tasawuf Ibn ‘Athaillah al-Sakandarī (UIN Sunan Ampel Surabaya, 2016), membedakan antara Tasawuf Salafi dan Tasawuf Sunni. Baginya, Tasawuf Salafi menekankan pada penerimaan secara utuh (taken for granted) atas apa yang diberikan oleh Allah, bahkan dalam hal tafsir ayat-ayatnya. Sedangkan tasawuf Sunni berusaha menjaga jarak dari implikasi teofani-psiko-metafisik yang dalam pandangan syariah sering dinilai negatif.
Dalam disertasinya, Ghozi—merujuk dari pandangan Ibn Athaillah al-Sakandari—menjelaskan bahwa Tasawuf Salafi adalah mereka yang tidak memandang dunia dengan hina; mereka pasrah total pada Allah dalam Pengaturan-Nya, dan mereka selalu mendorong manusia menjadi khalifah Allah.
Pada akhirnya, perlu ada diskusi lebih mendalam terkait posisi para sufi seperti Ibn Taimiyyah dkk [Baca tulisan saya tentang Ibnu Taimiyyah]. Alih-alih memasukkan dalam kategori neo-sufi, justru dalam karakter sufismenya lebih pas disematkan tipologi Tasawuf Salafi pada model sufismenya.