Menatap Demokrasi
Pasca wafatnya Gus Dur, wujud demokrasi di negeri ini belum mencapai bentuk utuh ataupun finalnya, ia terus bergerak menuju pola yang ideal. Tentu akan terburu-buru jika kita mengharapkan demokrasi akan final dalam bilangan 10-20 tahun pasca reformasi 1998. Faktanya, reformasi bukan menjadi garansi buat tikus-tikus negara untuk tidak menggerogoti pilar-pilar bernegara yang baru dibangun pasca runtuhnya Orde Baru. Sejatinya edukasi mengenai demokrasi sudah mengena bagi segala kalangan. Jika dahulu wacana demokrasi hanya dipahami dan dikonsumsi oleh kalangan cendekiawan berpendidikan, namun kali ini tidak begitu. Fenomena reformasi yang menasional tahun 1998, telah mengedukasi segenap lapisan masyarakat bahwa demokrasi memuat kebebasan berpendapat dan persamaan hak.
Apa yang dipahami oleh masyarakat secara jamak tentang demokrasi tadi memanglah dirasa cukup. Kebebasan dan persamaan hak merupakan basic definisi atas pemaknaan demokrasi secara an-sich. Meski begitu, akan menjadi boomerang jika definisi tadi mentok pada pemaknaan dasar belaka. Maka demokrasi sejatinya harus terus didialogkan oleh segenap elemen massa baik sipil maupun pemerintah. Semua memiliki kontrol yang sama atas berjalannya demokrasi di negara ini. Ia mustahil berhenti pada satu titik final tafsir subyektif perorangan.
Saat ini, ada sekelompok golongan yang kembali membangkitkan sekterianisme ala jalanan dengan kedok agama. Isu agama selalu menjadi pilihan menarik untuk meraih simpatisan pengikut. Sebagaimana yang kita tahu isu agama bekerja pada level trust pengikutnya, entah kemudian apa yang diserukan pemimpinnya adalah sebuah keganjilan, si pengikut akan sulit membantah untuk menolak. Pada kondisi seperti ini justru peran logika pengikutnya terbengkalai. Meski sebenarnya rong-rongan tadi tidak murni lahir dari arus bawah semata, melainkan ada aktor utama yang dengan sengaja mem framing kekacauan demi kekacauan.
Dengan kasus yang sama soal sentimen agama, di tahun 2016 lalu, kasus Ahok mencuat dengan tuduhan menistakan agama dan kitab suci. Hingga berhari-hari sekelompok massa turun jalan untuk menuntut kasus itu sampai keperadilan dan di penista (baca : Ahok ) harus di penjarakan. MUI pun turut campur tangan sebagai sponsor digelarnya aksi tersebut. MUI dengan ego otoritasnya, seakan berhak dan pantas memvonis siapa saja lewat fatwa. Setali tiga uang , sekelompok golongan tadi berambisi memenuhi nafsu tafsirnya atas agama. Meski fatwa tadi melahirkan kontroversi dikalangan umat islam sendiri.
Dua, adalah kubu yang merasa Islam dan negara sudah final dengan konsensus pancasila. Kubu ini terwakili dengan ormas NU dan Muhamadiyah. Sebagaimana yang kita tahu kedua ormas ini merupakan aktor yang membidangi lahirnya Indonesia sebagai sebuah negara. Lahirnya gerakan massa yang dinamai aksi bela Islam 212 adalah wujud semakin show of force nya golongan sekterianisme tadi untuk mendikte pemerintah mengikuti nafsu mereka. Kasus ini seolah mengulang ributnya anak bangsa 30 tahun yang lalu. Salah satu media masa (baca : Monitor) saat itu dituduh melecehkan nabi umat Islam. Irisan umat islam kanan tadi melancarkan aksi sepihak menuntut pemerintah menutup izin penerbitan media massa tersebut. Bahkan lebih dari itu, gerakan aksi tadi lebih mengarah pada hal pengrusakan dan kebrutalan dalam aksinya.
Semacam melawan arus, pada kasus itu justru Gus Dur berdiri dipihak pembela media massa. Gus Dur menolak aksi kesewenangan kelompok yang mengatasnamakan agama tadi. Bagi Gus Dur dalam melihat kasus ini tentu harus hati-hati. Ada dua kacamata yang harus kita gunakan dalam menimbang kasus yang cukup rumit ini. Secara pribadi, tentu Gus Dur pun marah atas perlakuan media massa tersebut dalam mengilustrasikan sosok nabi. Namun akan menjadi keblinger jika kita menuntut dan memaksa pemerintah untuk memboikot media massa tadi secara sepihak. Kebebasan pers sudah diatur oleh undang-undang bernegara. Wewenang pemboikotan itu bukan wewenang golongan apalagi perorangan. Hal yang paling adil adalah membawa kasus itu keranah hukum untuk diadili. Gus Dur kira langkah itu lebih bijak dan mencerminkan nilai berdemokrasi. Bukan harus marah-marah turun jalan seakan tuhan baru saja melapori mereka jika Tuhan tidak terima agamanya telah dilecehkan. Bersambung… (MMSM)
selanjutnya: “Berpolitik, sebuah ikhtiar… (2)