Refki Rusyadi Dosen IAIN Tulungagung Jawa Timur

Sebelum Kita Lupa Cuitan si STAND Up COMEDY (SuC) (2)

2 min read

Sebelumnya: Sebelum Kita Lupa…(1)

Mungkin itulah analogi sederhana saya menilai SuC atas pengetahuannya yang sempit itu. Siapapun mesti tidak akan terima atas pernyataan itu. Tanpa latarbelakang kesejarahan yang kuat, SuC terlalu nekat berbuat demikian. Fenomena SuC adalah kerikil kecil yang menempel pada sebuah bukit yang kebetulan terlihat dan terpental kepermukaan orang banyak. Artinya, orang-orang yang berfikir semacam SuC ini masih banyak dan bertebaran dimuka bumi Indonesia. Terlebih si SuC adalah influencer bagi kaum muda. Lewat IG, Youtube, Tweeter, FB, WA nya, SuC bisa saja menghipnotis para followersnya untuk berfikir sama dengan dirinya.

Kefatalan berikutnya ialah kecerobohan dalam mengambil sampel penilaian atas sebuah ormas. Saya juga heran, ini si SuC ngakunya pernah kuliah, seharusnya SuC mengedepankan cara berfikir komperhensif. Melibatkan banyak data dan refrensi guna mendapatkan hasil yang valid dan akurat. Tapi itu tidak berlaku dalam nalar SuC. FPI yang disaksikan SuC adalah FPI Jakarta yang memang super power perannya di Jakarta dan menjadi ormas yang mayoritas dan familiar karena berafiliasi dengan ormas asli daerah (Betawi)  yakni FBR, meski tidak semua FBR berafiliasi kesana.

Jika kita analogikan lagi, SuC adalah peneliti yang gagal, sampel yang dipilihnya tidak acak dan tidak menyebar. Lokasi penelitiannya pun hanya sepihak, Namun hasil kesimpulan temuannya di klaim mewakili kepada lokasi yang lebih luas. Tanyakan ke dosen pembimbing skripisimu apa benar tehnik mengolah dan memilih data boleh seperti itu, atau malah tumpukan skripsi bisa melayang ke kepalamu. Hee.

Ada dua hal menarik yang bisa kita perhatikan dalam kasus seorang SuC, pertama, apa makna kenegaraan bagi seorang SuC yang seharusnya menjadi influencer positif dan mengedukatif masyarakat lewat profesinya itu. Secara sah, negara telah melarang dan membubarkan ormas FPI atas dua hal. Ideologi dan orientasinya yang terselubung mengancam kedaulatan negara serta secara administrasi keorganisasian, ormas ini terbilang ilegal karena tidak tercatat dalam kementrian polhukam disebabkan berkas pelaporan afkir, atau habis masa izin.

Baca Juga  Pakaian yang Disunnahkan untuk Shalat Jumat

Atas dua hal tadi maka, ormas ini sah dibubarkan oleh pemerintah. Itu belum dihitung dengan kiprahnya yang selalu memboncengi aksi-aksi rusuh setiap mendemo pemerintahan. Atas fakta ini, dimana letak nalar sehat SuC tentang arti kenegaraan ?. Sedikitpun dia tidak mau belajar bagaimana bersikap menjadi warga negara yang baik dalam mematuhi segala keputusan pemerintah. jika alasannya sama seperti Sugiknur yang teriak-teriak negara ini adalah rezim, apa mungkin keputusan pemerintah bisa berangkat dari sentimen perorangan atau golongan tertentu di kehidupan yang sudah tegak demokrasinya ini ? bukankah perihal itu hanya lazim terjadi kala pak Soeharto berkuasa ?.

Kedua, SuC adalah potret dari masyarakat yang mengidap cara berfikir populer. Berfikir populer lahir dari budaya populer (pop) / budaya massa (mass culture). Mungkin sebagian dari kita awalnya menyangka populer atau popularitas adalah wujud pujian yang abadi dan langgeng. Kita sering disuguhkan dengan istilah ini, populer berarti terkenal, terkenal berarti dipuja banyak orang, padahal fenomena ini diciptakan dari kepentingan industrialisasi. Industrialisasi didukung oleh kapitalisasi (Ariel Haryanto : 2012). Maka populer sifatnya sangatlah fana, ia mudah hilang dan sirna bahkan dilupa karena ia lahir atas selera massa yang diatur oleh kepentingan industrialisasi.

Cara berfikir populer menekankan penampilan ketimbang substansi, menekankan kesenangan ketimbang pengetahuan, gemar dengan berfikir simple dan pintas tanpa peduli proses, mengondisikan dirinya anti berfikir. Dengan frame seperti inilah akhirnya SuC menilai bahwa FPI lebih dibutuhkan masyarakat Indonesia ketimbang NU dan Muhammadiyah, Pemerintah telah salah membubarkan FPI. Haruskah kita yang waras mengirimkan buku-buku sejarah kemerdekaan dan keislaman (SKI) yang berserakan di perpustakaan aliyah-aliyah itu kepada SuC agar dia membacanya ? atau kita menjemputnya untuk berkeliling nusantara, agar SuC tahu, NU dan Muhammadiyah bukan hanya di Jakarta ?. Nji, Indonesia itu bukan Cuma Jakarta !! Tuman.  (mmsm).

Refki Rusyadi Dosen IAIN Tulungagung Jawa Timur