Kamis subuh kemarin saya silaturrahim ke STAI Imam Syafii Cianjur. Perjalanan jauh pertama yang saya lakukan semenjak adanya pandemic Covid-19. Saya ke sana disamping memenuhi permintaann bang Oman, biasa saya memanggilnya begitu, juga menemani ananda Avisina Anadri untuk seleksi menjadi mahasiswa di STAI Imam Syafii. Nama lengkap bang Oman sebenarnya KH. Abdurrahman Naim, MA. Beliau salah seorang pendiri dan pengurus STAI Imam Syafii yang berbasis asrama (baca: pesantren) bersama Syaikh Prof. Dr. Hasan Hitou, seorang ulama Kelahiran Damaskus Suriah yang menjadi guru besar di Universitas Kuwait dan ketua Halal Control di Jerman. Saya kenal dekat KH. Abdurrahman Naim ini sejak saya di Damskus Suriah tahun 1995 sampai tahun 2000.
Selain KH. Abdurrrahman Naim, di STAI Imam Syafii, saya juga dekat dengan beberapa tenaga pengajar yang berasal dari Suriah, yaitu Syaikh Dr. Muhammad Darwish, Syaikh Dr. Syadi Arbasy dan Syaikh Dr. Mar’I al-Rasyid. Kenapa saya katakan dekat. Karena meskipun ilmu saya tidak seberapa dibanding mereka paling tidak saya dan tiga ulama Suriah ini pernah belajar di lembaga pendidikan yang sama yaitu Ma’had Fath al-Islami, Damaskus, Suriah. Sebuah lembaga pendidikan Islam yang sangat ketat dalam sistem belajarnya, yang didirikan oleh Syaikh Sholeh Farfour dan sekarang ini dipimpin oleh Syaikh Dr. Abdul Fattah al-Bazzam, murid dan juga sahabat dari allamah Syaikh Abdul Rozaq al-Halabi dan syaikh Adib Kallash
Syaikh Dr. Muhammad Darwish selain alumni Fathu al-Islami beliau juga sempat mengajar di sana dan salah satu murid beliau ya… yang nulis renungan ini. Alhamdulillah saya bersyukur sempat belajar dari beliau kitab nahwu “Qatrun Nada wa Ballu as-Shoda”. Untuk Syaikh Dr. Syadi Arbash ini malah unik lagi, beliau sahabat dan teman satu bangku saya di Fath al-Islami. Sedangkan Syaikh Dr. Mar’i adik kelas saya.
Hanya sayangnya, saat saya silaturrahim kemarin saya tidak sempat bertemu dengan Syaikh Dr. Muhammad Darwish. Dari silaturrahim kemarin saya memperoleh oleh-oleh dua kata yang luar biasa yaitu “merasa cukup dan keberkahan”. Anehnya kata yang terakhir, keberkahan, saya peroleh dari dua masyayikh dan KH. Abdurrahman Na’im di waktu yang berbeda, karena saya ngobrol dengan mereka tidak dalam waktu bersamaan tapi pada hari yang sama. Saya tidak perlu menceritakan konteks pembicaraannya, tetapi dua kata itu sangat terkesan pada diri saya sehingga saya terinspirasi untuk menjadikannya sebagai bahan renungan.
Kata “berkah” berasal dari bahasa Arab: barakah (البركة). Artinya, kenikmatan, kebahagiaan, dan penambahan (lihat Kamus al-Munawwir). Istilah lain yang kadang digunakan dalam bahasa Arab adalah mubarak dan tabaruk. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berkah adalah “karunia Tuhan yang mendatangkan kebaikan bagi kehidupan manusia”. Dalam kitab al-Barakah fī Miah Hadīts Nabawiy, dijelaskan bahwa berkah:
جوامع الخير و كثرة النعم ثم اطلقت البركة على ثبوت الخير الالهي في الشيء
“Kumpulan kebaikan dan kenikmatan, kemudian kata berkah itu diucapkan/ditujukan untuk (mendiskripsikan tentang) adanya kebaikan yang bersifat ilahiyah pada sesuatu.”( Kitab al-Barakah fī Miah Hadīts Nabawiy, karya Dr. Muhamamad Zaki Muhammad Khodir, Dar al-Makmun, 2017, hal. 5)
Dari makna dan pengertian di atas, yang namanya berkah tidak mesti terlihat langsung secara indrawi dan lahiriah namun bisa terasakan. Sebagai misal, ketika kita membayar zakat atau mengeluarkan sedekah, secara lahiriah uang kita berkurang tetapi disitu ada keberkahan. Secara lahiriyah memang berkurang, namun hakikatnya tidak, itulah yang dinamai keberkahan.
Dengan kata lain ada kebahagiaan, ada sesuatu pada hati yang terkadang sulit untuk dilukiskan dan tidak ternilai harganya. Disamping tentunya ada pahala dan ganjaran dari Allah SWT. Bahkan terkadang berkat harta yang kita sedekahkan tersebut justru harta yang ada di tangan kita malah bertambah.
Bertambahnya harta termasuk dalam keberkahan. Demikian pula dengan ilmu, terkadang kita heran dengan orang yang—mohon maaf—ilmunya biasa-biasa saja, justru ilmu yang biasa-biasa saja tersebut dirasakan manfaatnya oleh banyak orang dibanding orang lain yang secara keilmuan dan akademik jauh di atas orang tersebut. Inilah yang disebut ilmu yang berkah.
Berkah tidak terbatas pada ilmu dan harta, tapi bisa mencakup apa saja. Yang penting dengan berkah tersebut bisa menambah kebaikan baik pada dirinya maupun orang lain. Dengan demikian semakin berkah seseorang maka akan semakin baik pula prilakunya, semakin bermanfaat perbuatannya dan semakin taat ibadahnya yang akhirnya berujung pada semakin dekat dia kepada Allah SWT. Bila sudah demikian, in syā Allah kehidupan yang berkah tersebut akan membawa pemiliknya pada ketenangan, kedamaian dan kebahagiaan hidup tidak saja di dunia tapi juga nanti di yawm al-qiyāmah.
Namun yang perlu kita pahami juga, kehidupan yang berkah bukan berarti tanpa masalah. Permasalahan hidup sesuatu yang niscaya dan pasti ada serta selalu menyertai kita. Hal ini bukan berarti hidup tidak berkah. Jika patokannya dengan adanya masalah lalu hidup tidaka berkah, maka bagaimana kita mengatakan tentang kehidupan Rasulullah SAW, para sahabat dan ulama al-salaf al-sālih.
Bukankah Rasulullah SAW hidupnya penuh dengan keberkahan, tapi masalah hidup yang beliau hadapi sungguh luar biasa. Demikian juga para sahabat dan ulama al-salaf al-sālih. Mereka tidak hidup santai tanpa permasalahan. Permasalahan mereka hadapi dan mereka atasi dengan penuh ketenangan, kesabaran, ikhtiar yang maksimal serta tawakal kepada Allah SWT. Hasilnya, bisa kita rasakan manfaatnya sampai saat ini. Itu bukti bahwa hidup mereka berkah.
Jadi hidup yang berkah bukan tanpa masalah. Masalah ada, justru untuk membuktikan hidup kita berkah. [MZ]