Siti Aminah Tardi Feminis dan Komisioner Komnas Perempuan

Pendidikan Akhlak Seksual Sebagai Upaya Mencegah Dispensasi Nikah (1)

3 min read

Judul: Pendidikan Akhlak Seksual pada Anak dalam Hukum Islam

Penulis: Amiruddin

ISBN: 978-623-6232-00-2

Penerbit: Refika, Cetakan Kesatu, Maret 2021

Baru-baru ini publik dikejutkan dengan pemberitaan bahwa sebanyak 176 anak di Ponorogo, Jawa Timur mengajukan dispensasi nikah di Pengadilan Agama (PA) Ponorogo. 60 persen diantaranya sudah dalam kondisi hamil. Pemberitaan ini menarik perhatian berbagai pihak, karena ini berarti terjadi perkawinan dibawah usia 19 tahun atau perkawinan anak, padahal UU Perkawinan mengatur seseorang minimal telah berusia 19 tahun.

Dispensasi kawin hanya dapat diajukan dengan alasan sangat mendesak disertai bukti-bukti pendukung yang cukup. Juga, dalam pemberian dispensasi, pengadilan wajib mendengarkan pendapat kedua belah calon mempelai yang akan melangsungkan perkawinan.

Merujuk pada data Badilag, Komnas Perempuan mencatat pada 2020 terdapat 64.211 dispensasi kawin dan pada 2021 terdapat 59.709 dispensasi kawin. Walau terjadi penurunan sebesar 7,01% (4502 kasus) dibanding tahun 2020, angka ini tetap tinggi dan mempengaruhi pemenuhan hak anak perempuan, terlebih pencegahan dan penghentian perkawinan anak menjadi salah satu tujuan pembangunan berkelanjutan. Dengan demikian, angka yang disampaikan PA Ponorogo bukanlah hal baru atau hanya terjadi di Jawa Timur. Melainkan terjadi di seluruh Indonesia, jika mengacu pada data Badilag diatas.

Terdapat alasan permohonan dispensasi kawin dikabulkan, yaitu memenuhi kriteria ‘situasi mendesak’. Hakim menafsirkan situasi mendesak diantaranya adalah anak perempuan telah hamil, anak berisiko atau sudah berhubungan seksual, anak dan pasangannya sudah saling mencintai, serta anggapan orang tua bahwa anak berisiko melanggar norma agama dan sosial atau untuk menghindari zina (Komnas Perempuan, 2022).

Alasan sama juga disampaikan oleh juru bicara PA Ponorogo. Situasi mendesak tersebut dimungkinkan karena anak sedemikian terpapar oleh informasi melalui media komunikasi internet sehingga anak lebih cepat merespon berbagai informasi terkait aktivitas seksual dan belum dipahami resiko dari aktivitas seksual yang kemudian menyebabkan terjadinya ‘kehamilan tidak diinginkan’ atau ‘kehamilan diluar perkawinan’ sehingga harus mengajukan dispensasi kawin.

Baca Juga  Israel, “Etno-Demokrasi,” dan Paradoks Modernitas (2)

Kemudian dalam membahas adanya situasi mendesak, diskusi publik merujuk pentingnya pendidikan seksual atau kesehatan reproduksi komprehensif bagi remaja. Saya mendapati buku berjudul: Pendidikan Akhlak Seksual pada Anak dalam Hukum Islam karya Amiruddin, dosen Fakultas Agama Islam Universitas Singaperbangsa Karawang, yang dapat ditimbang sebagai rujukan untuk menentukan materi pendidikan seks yang sesuai dengan nilai-nilai dan hukum Islam.

Pendidikan Akhlak Seksual

Ketika membicarakan pendidikan seks, sampai saat ini masih terdapat pro dan kontra terkait materi yang terkait dengan tujuan pendidikan seks itu sendiri. Terlebih diksi pendidikan seks adalah terjemahan dari Bahasa Inggris sex education, bahasa yang digunakan negara barat yang memiliki nilai-nilai yang berbeda dengan mayoritas bangsa Indonesia. Sehingga, kemudian terdapat asumsi bahwa pendidikan seks dipahami sebagai pendidikan untuk melakukan aktivitas seksual diluar perkawinan.

Terkait hal ini saya teringat buku berjudul “Pesantren, Tradisi dan Kebudayaan” kumpulan tulisan Ibu Sinta Nuriyah yang dulu pernah saya ulas di tulisan saya “Pemikiran Ibu Sinta Nuriyah untuk Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan” Salah satu kritik terhadap gerakan perempuan dan tawarannya adalah membangun wacana dan bahasa yang bisa diterima di kalangan umat Islam.

Menurut Ibu Sinta, orientasi masyarakat kepada kehidupan akhirat dan sikap keberagamaan yang formal simbolik, menjadi salah satu factor sulitnya untuk menerima wacana dari luar yang dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai atau tidak cocok dengan symbol keislaman.

Misalkan istilah kesehatan reproduksi atau pendidikan seks yang ditolak, diantaranya karena pemilihan bahasa dari luar komunitas mayoritas muslim. Padahal isu pendidikan seks akan lebih diterima jika menggunakan istilah thaharah (bersuci), haidh (menstruasi), wiladah (melahirkan), nifas (pemulihan paska melahirkan), atau aadabul jima (etika bersetubuh).

Setelah membaca pemikiran Ibu Sinta ini, saya mencoba menggunakan istilah “akhlak seksual” atau “adab seksual” ketika membincang bagaimana memperkenalkan hak atas kesehatan reproduksi dan hak seksual khususnya pada anak perempuan.

Baca Juga  Mengenang Mahbub Djunaidi sebagai Pendekar Pena

Maka begitu mendapati judul buku dengan menggunakan istilah akhlak seksual ini, saya tidak berpikir panjang untuk membeli dan membacanya. Buku setebal 331 halaman ini terbagi dalam 10 bab, yaitu pendidikan, akhlak, pendidikan seksual, kedudukan anak, pendidikan seksual dalam keluarga, sekolah dan masyarakat, pendidikan seksual anak usia dini, pendidikan seksual anak usia tamyiz, pendidikan seksual usia muraqabah, pendidikan seksual anak usia bulugh dan pendidikan seksual anak usia dewasa.

Lima bab pertama ini menjadi kerangka konsep dalam menempatkan pendidikan seksual pada anak sebagai pendidikan akhlak.

Amirudin mensintesakan berbagai pendapat ahli tentang pendidikan seksual, menjadi:“membimbing serta mengasuh seorang anak agar mengerti arti, fungsi dan tujuan seks, sehingga ia dapat menyalurkan ke jalan legal” (hal 47). Legal disini adalah dilakukan didalam perkawinan yang sah.

Amirudin berargumen bahwa tujuan pendidikan seks adalah untuk mendewasakan seorang anak baik secara fisik maupun psikis, terutama yang berkaitan dengan kehidupan seksnya dalam pengertian yang luas.

Pendidikan seks termasuk dalam pendidikan akhlak, dan pendidikan akhlak adalah cabang dari pendidikan Islam (hal 49). Sehingga pendidikan seks menggunakan istilah pendidikan akhlak seksual. Karenanya tujuan pendidikan seksual adalah mencegah perbuatan zina dan bukan mencegah terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan.

Lantas kapan diberikan? Amirudin menegaskan bahwa pendidikan seksual diberikan secara terencana, sesuai dengan keadaan dan kebutuhan baik pada usia dini, menjelang remaja dimana proses kematangan fisik maupun mentalnya mulai timbul dan berkembang ke arah kedewasaan (hal 62). Juga terdapat sejumlah metode dalam memberikan pendidikan.

Amiruddin menekankan orangtua-lah yang menjadi pendidik akhlak seksual anak-anaknya. Diantara kutipan terkait metode, saya mengutip kembali pendapat Shahid Attar, yaitu:

Baca Juga  Mengenal Tafsir Rahmat: Tafsir Modernis Karya Oemar Bakry

Pertama: metode tanya jawab dan dialoq; kedua: metode keteladanan; ketiga: metode pengawasam dari hal-hal yang dapat merusak perkembangan seksual anak, seperti mengakses konten pornografi dan sadism; keempat: penanaman sikap displin terhadap norma-norma agama dan sosial; dan kelima: menanamkan sifat maskulin dan feminine melalui permainan (hal 62). Saya bersepakat atas metode-metode diatas, kecuali penanaman sifat maskulin dan feminine melalui permainan, karena permainan apapun dapat dilakukan oleh anak laki-laki maupun perempuan. (AA)

Bersambung ke bagian 2: Pendidikan Akhlak Seksual… (2)

Siti Aminah Tardi Feminis dan Komisioner Komnas Perempuan