Beberapa waktu yang lalu ketika saya sedang asyik memantau beranda twitter, ada salah satu postingan yang membuat saya penasaran untuk membukanya. Isi cuitan tersebut adalah kritik tentang masalah pernikahan anak. Setelah saya buka, ternyata objek dari kritik tersebut adalah pasangan selebgram yang salah satunya berusia 16 tahun, Sabrina namanya.
Setelah melakukan penelusuran lebih lanjut, tampaknya prosesi pernikahan yang sempat rame di jagad twitter ini diabadikan dan diunggah di channel youtube mereka. Informasi yang beredar adalah bahwa Sabrina masih duduk di bangku SMA homeschooling. Ia berasal dari keluarga yang cukup kaya. Adapun suaminya tampak sudah mapan dan berpenghasilan.
Begini, sebenarnya saya tidak peduli tentang keputusan mereka untuk menikah, karena itu merupakan urusan pribadi. Tapi yang membuat menggelitik adalah respon dari viewers dan netizen yang terhormat. Jika diperhatikan, video tersebut semacam menyimpan sekaligus mensosialisasikan propaganda nikah muda, bahkan nikah di bawah umur.
Bagaimana tidak, konsep video mereka sungguh menggiurkan, memamerkan sweet romantisme cinta sehingga berhasil memantik respon dari beberapa netizen yang tentu menganggap mereka pasangan yang romantis, ideal, dan serba so sweet pastinya. Pertanyaannya, bagaimana jika yang berkomentar itu anak-anak seumuran dengan Sabrina? Bagaimana jika nanti orientasi anak-anak mengikuti jejak mereka? Cepat-cepat menikah dan bahagia?
Sebenarnya, ramai riuh nikah muda tidak hanya pernikahan Adhiguna-Sabrina. Youtuber bernama Ukhti Mega, saya kira tidak kalah membuat heboh media sosial. Berbeda dengan Sabrina, Ukhti ini menikah di sekitar usia 17. Akun youtube Ukhti Mega juga mendapat serangan dari netizen. Bagi saya unggahan Ukhti Mega akan berdampak sama dengan apa yang dilakukan Adhiguna-Sabrina, berpotensi meningkatkan pernikahan anak di Indonesia.
Pernikahan anak sudah mendapat kritik sejak dulu dari berbagai pihak, terutama aktivis perempuan. Hal ini dikarenakan pernikahan ini dinilai menimbulkan banyak dampak negatif. Sebuah studi tahun 2004 di Bangladesh yang tercantum dalam Jurnal Studi Pemuda menyatakan dampak pernikahan anak adalah dapat meningkatkan anak putus sekolah dan drop out, meningkatkan kasus KDRT, bahkan yang lebih berbahaya dapat meningkatkan angka kematian Ibu melahirkan.
Selain itu, menurut penelitian di Ethiopia 2006, fenomena pernikahan anak dapat menyebabkan terjadinya ketidakstabilan pernikahan, rendahnya status kesehatan, ketidaksetaraan status perempuan dan persoalan kesejahteraan anak. Inilah yang akhirnya pemerintah merevisi Undang-undang tentang Pernikahan, menjadi Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 tahun 2019 sebagai perubahan atas Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, tentang batas minial usia menikah laki-laki dan perempuan adalah 19 tahun.
Jika diamati, kemudahan akses informasi era sekarang turut menyumbang kenaikan angka pernikahan anak. Sehingga, fenomena ini tidak lagi hanya disebabkan oleh faktor kemiskinan, adat atau yang lain. Tetapi faktor yang tidak kalah berpengaruh adalah faktor media sosial ini. Apa yang menjadi tontonan mereka di internet sangat berpengaruh bagi hidup anak-anak sekarang. Sehingga, pernikahan anak yang dengan mudahnya diunggah dalam media sosial merupakan kenyataan yang sungguh sangat disayangkan. Terlebih jika unggahan tersebut tanpa adanya edukasi dan analisis dampak resikonya.
Media sosial dengan mudah memfasilitasi publikasi kenikmatan nikah di bawah umur seperti bermesraan, plesiran berdua dan ekspresi lain dengan narasi “indahnya pacaran setelah halal”. Narasi lain seperti “Lebih baik menikah daripada zina” misalnya, sudah menjadi hal yang tidak asing di telinga anak-anak sekarang. Tidak ada yang salah dengan promo nikah ini, terutama jika diakitkan dengan upaya mengurangi pergaulan bebas dan maraknya perzinahan. Persolannya, apakah memang jalan keluarnya dengan nikah? benarkah nikah sebagai jalan ninja agar tidak zina? Begitukah tujuan dan makna nikah? ini yang perlu dipikir masak-masak.
Tampaknya ada yang kurang tepat dengan pemahaman hadis berikut:
“Wahai sekalian pemuda! Barangsiapa diantara kalian yang telah mampu ba’ah (memberikan nafkah lahir dan nafkah batin), maka hendaklah ia menikah, karena sesungguhnya menikah itu lebih dapat menjaga pandangan dan memelihara kemaluan, dan barang siapa yang belum mampu maka hendaknya ia berpuasa, karena sesungguhnya puasa itu adalah pengekang baginya.” (HR. Muslim).
Hadis ini bukan berarti Rasulullah menganjurkan menikah bagi anak di bawah umur untuk mengindari zina. Ketika Rasulullah menganjurkan menikah, sebelumnya diawali oleh prasyarat yakni telah mampu dan siap memberikan nafkah lahir maupun batin. Dalam lanjutan teks hadis tersebut, jika syarat tersebut belum terpenuhi, Rasul memberi solusi dengan berpuasa. Nah, dengan puasa inilah kita akan terhindar dari zina. Bisa juga dengan melakukan ibadah-ibadah positif apapun, bukan malah dengan memaksakan nikah, terlebih bagi anak di bawah umur.
Dalam Alquran sendiri, Allah menciptakan manusia berpasang-pasangan sejatinya agar manusia merasakan perasaan tenang dan tentram. Inilah tujuan nikah yang jelas termaktub pada Q.S. al-Rum: 21. Caranya dengan menumbuhkan rasa kasih, sayang dan cinta di antara kedua pasangan. Nah, untuk menumbuhkannya dibutuhkan bekal yang sangat penting yaitu kecukupan harta, kemapanan ilmu dan kemantapan iman. Kesemuanya mesti ditempa melalui jalur pendidikan, baik formal maupun informal. Inilah yang kemudian pada ayat tersebut diakhiri dengan “li qaumin yatafakkarun”, bagi orang-orang yang berfikir. Oleh karena itu, jika kita sembrono dalam bertindak dan memutuskan untuk segera menikah tanpa bekal dan persiapan sebagaimana mestinya, maka yang ada bukan perasaan tentram, tapi malah sebaliknya, pertengkaran, perselisihan, konflik bahkan kekerasan satu dengan lainnya.
Meningkatnya angka perceraian saya kira dapat menjadi alarm atas persoalan nikah dini ini. Perlu adanya edukasi dari semua pihak, terutama keluarga supaya anak-anak dan adik-adik yang notabene masih remaja tidak serta merta tergiur atas romantisme pasangan muda di media sosial. Upaya pendampingan dan penjelasan bahwa menikah bukan hanya persoalan romantisme saja, tetapi juga menyangkut persoalan hiruk pikuk membingkai keluarga, persoalan keturunan, serta masa depan anak dan seterusnya. (HM)