Sri Wahyuni Dosen UNUSIA Jakarta

Kontribusi Gus Dur dalam Mewujudkan Indonesia Damai

3 min read

Indonesia merupakan Negara kepulauan yang membentang dari sabang sampai merauke, Negara yang luas nan kaya akan sumber daya yang terkandung didalamnya termasuk sumber daya manusia sebagai sector penggerak peradabannya. Bhineka Tunggal Ika adalah semboyan Negara Indonesia yang diinterpretasikan sebagai kemajemukan dan kekayaan Negara, baik dari suku, budaya, etnis, bahasa, agama, serta pulau-pulau yang membentang di dalamnya, akan tetapi meski berbeda kita disatukan sebagai bangsa Indonesia, disatukan dengan bahasa Indonesia, serta disatukan dengan ideology pancasila.

Dalam bingkai pancasila Indonesia diharapkan mampu menjadi bangsa kuat, bersatu, adil dan makmur, sebagaimana termaktub dalam sila-sila yang terkandung didalamnya: sila 1. Ketuhanan Yang Maha Esa; 2. Kemanusiaan yang adil dan beradap; 3. Persatuan Indonesia; 4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan; 5. Keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia. Sila-sila tersebut mencerminkan semangat persatuan yang dimiliki oleh Indonesia, serta menjadi benteng untuk pertahanan bangsa.

Indonesia menjadi Negara yang rentan akan terjadinya kobaran api permusuhan akibat percikan-percikan perbedaan dari kemajemukan tersebut. Berat memang untuk benar-benar menjamin perdamaian antar suku, antar golongan, dan keanekaragaman yang lain tanpa didasari sikap saling terbuka, menerima, dan mengahargai dari masing-masing kelompok dan golongan. Agama sering dijadikan alasan oleh pihak yang mempunyai kepentingan untuk melawan arus tatanan kehidupan yang damai dan toleran.

Meski Negara telah menjamin kebebasan setiap warganya untuk memeluk dan melaksanakan kegiatan keagamaannya yang tertuang dalam UUD Pasal 29 ayat 2, tapi pada kenyataanya masih ada saja peristiwa pembubaran ritual keagaamaan seperti yang terjadi di Cikarang yang melibatkan seorang muslim sebagai pelaku pembubaran kegiatan ibadah umat nasrani. Hal tersebut menjadi bukti bahwa masyarakat Indonesia masih belum bisa menerima perbedaan sebagai realita masyarakat dan belum mampu menjalankan perannya sebagai manusia yang bermartabat.

Baca Juga  KUA untuk Semua Agama

Dari sudut pandang Islam, manusia merupakan makhluk ciptaan Tuhan yang diberikan amanah untuk menjadi pemimpin dimuka bumi ini, baik pemimpin bagi dirinya sendiri, memimpin kelompok maupun bangsa, serta memelihara alam dan lingkungan sekitar. Seyogyanya manusia dituntut untuk dapat menjalankan perannya dalam tiga dimensi, yaitu peran dalam hubungannya dengan Tuhan, peran dalam hubungannya dengan sesama, serta peran dalam hubungannya dengan alam semesta. Sehingga manusia tidak akan pernah bisa menjalankan peran tersebut tanpa adanya kondisi dan situasi yang aman dan nyaman yang disebut damai. Bisa kita banyangkan betapa sulitnya untuk melakukan aktifitas lahiriyah yang sepele (makan/tidur/senda gurau) jika tempat yang kita huni terjadi kekacauan, ancaman teror, pembantain, yang sangat jauh dari kata perdamaian.

Perdamaian merupakan keniscayaan suatu Negara dalam membentuk masyarakat madani, Perdamaian tidak akan pernah dicapai tanpa didasari sikap toleransi dan pluralisme. Toleransi merupakan sikap saling menghargai dan menghormati apa yang menjadi hak dan kewajiban setiap manusia, dan pluralisame mengandung makna sikap menghargai adanya perbedaan pada masyarakat.

Perdamaian di Indonesia tidak akan pernah terwujud tanpa didasari sikap toleransi dan pluralisme seperti yang diserukan oleh Abdurrahman Wahid. Beliau dikenal sebagai pejuang kemanusiaan mendidik masyarakat untuk bersikap toleran dan plural. Abdurrahman Wahid sebenarnya bukanlah nama aslinya melainkan nama belakang diambil dari nama ayahnya yaitu Wahid Hasyim. Nama asli beliau adalah Abdurrahman Addakhil, dan lebih dikenal dengan sebutan Gus Dur, seperti yang telah kita ketahui beliau banyak memberikan kontribusinya  terhadap perkembangan bangsa Indonesia.

Gus Dur sangat menghargai dan menjunjung tinggi hak asasi manusia, hal ini tidak hanya sekedar pernyataan belaka tetapi diwujudkannya dengan tindakan nyata. Salah satu contohnya adalah Gus Dur memberikan hak kepada etnis cina untuk memeluk kepercayaan dan melakukan kegiatan keagamaannya serta menjadikan hari besar Kong hu cu masuk dalam daftar libur nasional dengan keterangan Tahun baru Imlek. Landasan pemikiran Gus Dur mengambil kebijakan tersebut tidak lain untuk menjunjung dan menghargai hak mereka sebagai manusia seperti yang lainnya.

Baca Juga  Catatan Hari Keluarga Nasional: Pendidikan Anak Bukan Sekadar Urusan Kognitif-Akademik

Selanjutnya reaksi nyata yang dilakukan  Gus Dur dalam mendamaikan konflik internal yang terjadi di Indonesia adalah beliau selalu mengedepankan pendekatan kebudayaan dan humanis. Dilansir dari kebudayaan.kemendikbud.go.id dalam menyelesaikan konflik yang tak kunjung usai yang terjadi di Aceh dan Papua Gus Dur menggunakan pendekatan kebudayaan yang memungkinkan terjadinya dialog secara terbuka antara kedua belah pihak, dan cara ini disinyalir berhasil untuk mendamaikan masing-masing daerah dengan mengabulkan pergantian nama dari aceh menjadi Nangroe Aceh Darussalam, dan Irianjaya menjadi Papua.

Sebagai tokoh Nasional sekaligus tokoh agama Gus Dur merasa mempunyai tanggungjawab di dalam memelihara perdamaian masyarakatnya. Gus Dur menyerukan perdamaian melalui ajaran agama dengan tiga pilar (rukun) yaitu rukun iman, rukun Islam, dan rukun tetangga serta menjadikan ihsan sebagai puncak keberagamaannya. Ihsan merupakan moralitas luhur, perilaku mulia dan hati nurani yang bersih. Ihsan dalam pengertian yang luas diartikan sebagai nilai-nilai kemanusiaan (Husein Muhammad, 2012: 53). Hal ini bisa dimaknai bahwa seorang muslim belum bisa mencapai puncak agamanya jika belum bisa mengamalkan nilai-nilai kemanusiaan tersebut. Sejatinya barang siapa yang mencitai sesamanya maka sama halnya orang tersebut juga mencintai penciptanya.

Hal tersebut berbanding lurus dengan ungkapan Gus Dur, bangsa yang memiliki karakter plural, maka diperlukan suatu tatanan pemikiran dasar yang mampu untuk menghargai golongan lain serta menjadikannya sebagai tatanan idelogi untuk bangsa yang penduduknya beragam (Masyud, 2015: 83). Menurut Gus Dur keberagaman merupakan kemutlakan dalam kehidupan, dan menjadikan Al-Qur’an surat Al-Hujurat ayat 13 sebagai dasarnya.

Dalam perspektif Al-Qur’an telah dijelaskan untuk menjalin kehidupan yang harmonis dalam keberagaman setidaknya ada dua prinsip yang harus dijalankan, pertama Prinsip As-Syu’ub yaitu sikap menerima keberadaan (eksistensi) dan perbedaan suku bangsa lain sebagai sunnatullah. Kedua, Nahdhariyyah al-Nahdha yaitu sikap menerima eksistensi kemanusiaan yang mengandung makna bahwa pada hakekatnya manusia merupakan ciptaan Allah yang mempunyai hak yang sama (kepri.kemenag.go.id).

Baca Juga  Ada Apa Dibalik Jargon "Kembali pada al-Qur'an dan Sunnah"?

Sejalan dengan hal tersebut, untuk menyikapi keberagaman agama, Gus Dur juga berpendapat dari agama-agama yang ada di Indonesia agar dapat diterima oleh masyarakat, maka harus berlandaskan demokrasi serta melakukan kegiatan dialog-dialog keagamaan antar pemuka agama. Dialog merupakan cara untuk membuka pikiran, menyampaikan pendapat, serta sarana diskusi untuk saling bertukaran pikiran yang bertujuan untuk mencapai sebuah kesepakatan yaitu perdamaian. Pada hakekatnya, tidak ada agama manapun yang mengajarkan penganutnya untuk berbuat arogan, menghakimi apalagi sampai mengajarkan pada kekerasan dan penghalalan darah. Agama mengajarkan manusia pada perdamaian, karena perdamaian merupakan bagian dari misi diturunkannya agama ke muka bumi.

Kehadiran Gus Dur di Indonesia merupakan anugerah yang patut disyukuri oleh masayakat, betapa tidak bisa dibayangkan apa jadinya Aceh dan Papua tanpa intervensi dari Gus Dur, mungkin perang saudara akan masih tetap berlanjut, dan Papua akan bernasib sama dengan Timor Leste dengan memerdekakan diri. Gus dur membawa kedamaian baik dari tutur kata, humor, dan tindakannya yang selalu fleksibel tanpa harus melanggar norma yang ada. Gus Dur akan selalu dikenang meski raga sudah terbenam, pemikirannya akan selalu hidup untuk menjawab dinamika jaman.

Sri Wahyuni Dosen UNUSIA Jakarta