Suryono Zakka Pengurus Nahdlatul Ulama Sumatera Selatan; Mengajar di Yayasan Yanuris Srimaju Pondok Pesantren Nurul Islam Bayung Lencir

Ada Apa Dibalik Jargon “Kembali pada al-Qur’an dan Sunnah”?

1 min read

Source: generasisalaf.wordpress.com

Kelompok Wahabi paling getol mengampanyekan jargon kembali pada al-Qur’an dan Sunnah (al-rujū‘ ilā al-Qur’ān wa al-Sunnah). Di setiap pengajiannya selalu didengungkan “ayo kita kembali pada al-Qur’an dan Sunnah”, “tidak perlu bermazhab karena mazhab penyebab perpecahan umat”, “kita kembali pada ajaran Islam yang murni sesuai ajaran Rasulullah dan sahabat”. Begitulah jargon-jargon Wahabi.

Bagi masyarakat awam, jargon semacam itu tampaknya indah dan bagus. Simpel dan tidak perlu bertele-tele pakai imam mazhab. Lebih puris (murni) dan orisinal (asli). Bagi kalangan yang paham agama terutama ulama NU, jargon semacam itu sungguh sesat dan menyesatkan—untuk tidak mengatakan kacau balau. Memahami agama tak sesimpel itu.

Bagaimana mungkin memahami Islam langsung memakai al-Qur’an dan Sunnah tanpa tafsir dari ulama? Tanpa mengetahui asbāb al-nuzūl, nāsikh-mansūkh, muhkamāt-mutasyabihāt, makkiyyah-madaniyah, ayat ‘ām dan khās dan perangkat lain ilmu tentang al-Qur’an. Sungguh bohong jika bisa memahami al-Qur’an dan Sunnah tanpa memerlukan bantuan ulama tafsir dan ulama hadis. Tanpa memakai pendapat imam mazhab, mustahil bisa ibadah dengan benar.

Tidak pernah hidup dengan nabi, tidak pernah berinteraksi dengan sahabat kok langsung mau menafsirkan al-Qur’an dan Sunnah? Para sahabat saja yang jelas-jelas hidup bersama Rasulullah tidak semuanya ahli al-Qur’an dan tidak semuanya ahli Hadis. Lha ini kok ada umat akhir zaman yang hidup 1400 tahun setelah Rasulullah langsung mau menafsirkan Al-Qur’an dan Sunnah dengan otaknya. Sungguh pekok kuadrat.

Lantas apa maksud tersembunyi dari jargon Wahabi mengajak kembali pada al-Qur’an dan Hadis? Kita harus paham bahwa jargon ini bukan jargon biasa melainkan jargon menipu alias taqiyah ala Wahabi. Bagi kalangan awam yang tidak pernah nyantri tentu akan tertipu dengan jargon ini. Tipuan muslihat kaum Wahabi yang sasarannya adalah kaum remaja milenial.

Baca Juga  Ustadz 'Media' sebagai Primadona Generasi Muda untuk Belajar Islam

Misi Wahabi dari jargon ini adalah untuk menjauhkan umat dari ulama. Menjauhkan umat dari ulama Aswaja yang ilmunya lurus, bersanad sampai ke Rasulullah. Dengan jauhnya umat dari ulama, maka umat akan masuk perangkap Wahabi berikutnya. Apa perangkap Wahabi selanjutnya?

Wahabi bertujuan mempromosikan ulama versi mereka. Itulah yang disebut ulama Wahabi. Agar umat mengukuti ulama yang direkomendasikan oleh pengikut Wahabi. Antek-antek Wahabi ini terus menerus merekomendasikan ulama mereka kepada masyarakat awam yang mereka anggap ulama lurus melebihi ulama mazhab dan ulama tafsir.

Tokoh-tokoh Wahabi yang kerap dikutip dan di-share oleh bolo-bolo Wahabi tidak jauh dari beberapa tokoh ini, di antaranya Muhammad bin Abdul Wahab (pendiri Wahabi), Muhammad Nasiruddin al-Albani (tokoh Hadis versi Wahabi), Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz dan Shalih Utsaimin (ahli fatwa versi Wahabi) dan Ibnu Taimiyah (teolog yang dianut Wahabi).

Itulah inkonsistensi Wahabi. Mengajak kembali pada al-Qur’an dan Sunnah, mengajak anti-mazhab kemudian mengajak ikut tokoh-tokoh versi mereka. Jadi pada dasarnya, Wahabi itu mengajak anti-mazhab empat tapi mengajak ikut mazhab versi mereka, yakni pola pikir dan ideologi Wahabi. Walaupun mereka mengaku anti-mazhab namun hakikatnya mereka juga bermazhab, yakni mazhab Wahabi. [MZ]

Suryono Zakka Pengurus Nahdlatul Ulama Sumatera Selatan; Mengajar di Yayasan Yanuris Srimaju Pondok Pesantren Nurul Islam Bayung Lencir