Pemikiran Politik Moderat KH. Abdurrahman Wahid

3 min read

Abdul Rahman Wahid al-Dakhil atau yang kerap disapa Gus Dur dilahirkan di desa Denanyar Jombang pada 4 Agustus 1940 dan wafat pada 30 Desember 2009 di Jakarta. Ia merupakan putra pertama dari enam bersaudara. Ayahnya bernama KH. Wahid Hasyim seorang ulama yang pernah menjabat sebagai mentri agama. Sementara ibunya bernama Hj. Sholihah yang merupakan putri KH. Bisri Syamsuri, pendiri pesantren Denanyar Jombang. Dari lingkungan keluarga ini dapat diketahui bahwa sejak kecil Gus Dur diasuh dalam lingkungan pesantren. Kemudian pendidikan masa dewasanya diteruskan di Universitas al-Azhar, Mesir dan Universitas Baghdad, Irak.

Gus Dur adalah salah satu sosok cendekiawan muslim kebanggaan Nahdlatul Ulama secara khusus dan Indonesia pada umumnya. Karena ia merupakan cucu dari pendiri ormas tersebut, yaitu KH. Hasyim Asy’ari. Ia sangat dikenal, bukan karena ia pernah menjabat sebagai presiden RI yang keempat yang menggantikan BJ. Habibi pada tahun 1999, tetapi juga dikenal sebagai seorang pemikir yang jenius dengan pemikiran-pemikiran  nyelneh dan ‘melampaui zaman’ sehingga dianggap kontroversial oleh berbagai kalangan, bahkan dalam tubuh organisasinya sendiri NU,  sehingga sering menjadi perdebatan umat.

Kepopulerannya tidak hanya di dalam negeri saja, namun juga dikenal oleh umat diseluruh dunia. Hal ini dikarenakan, selama hidup, Gus Dur mengabdikan diri untuk kepentingan umat manusia. Bukti kepopuleran dan pengaruhnya dapat diketahui dari berbagai penghargaan yang didapat baik dari dalam negeri maupun luar negeri.

Mengutip buku 101 Jejak Tokoh Islam Indoneisia, penghargaan-penghargaan yang diperoleh Gus Dur, dari dalam negeri misalnya, Gus Dur pernah mendapat penghargaan sebagai Man of the Year pada tahun 1990 dari majalah editor. Penghargaan juga datang dari harian Surya, Surabaya sebagai tokoh yang popular. Sementara dari luar negeri, pada tanggal 31 Agustus tahun 1993 ia mendapat penghargaan Magsaysay dari negara Filipina. Penghargaan ini diberikan karena Gis Dur dianggap telah menjadi actor penting sebagai integrator bangsa, membangkitkan kerukunan umat antar agama, menjunjung tinggi demokasi dan sebagainya.

Baca Juga  Rame Diskusi "Pemakzulan Kepala Negara", Begini Pandangan Imam Mawardi dan Imam Nawawi

Karena sebagai pelayan umat, maka ada banyak sisi pemikiran-pemikiran yang ia kemukakan, mulai dari bidang politik, sosial, dan budaya. Begitu luasnya pemikiran Gus Dur dan karena keterbatasan tempat, disini penulis akan memfokuskan pada pemikiran politiknya. Sebagai seorang cedekiawan Islam, Gus Dur memberikan sumbangsih pemikiran politik yang juga tidak jauh dengan ppandangan Islam itu sendiri. Adapun pandangan Gus Dur tersebut dalam dunia politik tergolong dalam pandangan yang moderat, artinya politik yang tidak hanya berorientasi pada masalah duniawi namun juga melibatkan masalah ukhrowi.

Pancasila: Antara Teokrasi dan Sekularisme

Di dunia ini, terdapat sekitar seratusan lebih negara-negara yang berdiri dengan berbagi latar belakang sosial, politik dan budaya. Masing-masing menganut ideologi-ideologi tersendiri sesuai dengan situasi dan kondis serta penguasa negara tersebut. Di antaranya yang dijadikan sebagai ideologi bangsa sebagai tunggangan politik ialah dua kecenderungan besar yang saling bertolak belakang, yakni antara teokrasi dan sekularisme.

Teokrasi berasal dari bahasa Yunani yang terambil dari kata Theos yang berarti Tuhan dan cratein yang berarti memerintah. Sementara dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), teokrasi ialah cara memerintah negara berdasarkan kepercayaan bahwa Tuhan secara langsung memerintah suatu negara, hukum negara yang berlaku adalah hukum tuhan, pemerintahan dipegang oleh para ulama atau organisasi keagamaan.

Dari pengertian ini dapat dipahami bahwa ideologi kebangsaan yang mensyaratkan agama sebagai landasan dasar perundang-undangan negara. Segala macam bentuk hukum dimabilkan daribteks-teks kitab suci keagamaan. Ideologi seperti ini menggambarkan ‘kekuasaan’ Tuhan secara mutlak, sehingga menafikan ‘kekuasaan’ manusia sepenuhnya. Sehingga manusia tidak memiliki andil untuk berkreasi dalam menata ruang kehidupan di dunia. Bentuk ideologi seperti ini banyak dianut oleh sebagian besar negara di Timur Tengah.

Baca Juga  Hubungan Islam dan Kekuasaan Menurut Al-Amiri

Ideologi di atas berbeda seratus delapan puluh derajat dengan paham sekularis. Sekularisme sendiri pengertiannya dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) ialah paham atau kepercayaan yang berpendirian bahwa paham agama tidak dimasukkan dalam ruang politik, negara atau institusi publik. Dari pengertian ini, ideolologi sekularis memisahkan sepenuhnya antara agama dan negara. Agama hanya mengatur antara manusia dengan Tuhan, sementara negara berposisi sebagai pengatur hubungan manusia dengan manusia. Keduanya berjalan sendiri-sendiri, tidak dapat disaling kaitkan.

Ideologi ini, dalam pandangan agama, secara langsung telah menolak ‘kuasa’ Tuhan atau agama dalam mengatur ruang kehidupan manusia. Meskipun demikian, negara tidak melarang warganya untuk memeluk agama apaoun, karena memang negara tidk ikut campur dalam masalah yang satu ini. Ideologi seperti ini banyak dianut oleh negara-negara Barat.

Dari dua ideologi kebangsaan di atas tampak memiliki cara pandang yang berbeda-beda terhadap isu politik. Menurut Gus Dur, kedua pandangan ini kurang tepat jika diterapkan, utamanya di Indonesia. Dalam bukunya, Islamku, Islam Anda, Islam Kita, Gus Dur memberikan pandangan politik dengan menawarkan Pancasila. Menurutnya dalam tubuh Pancasila memuat pandangan-pandangan yang dapat mengakomodir atau mengkompromikan kedua pandangan politik di atas.

Kita tahu, dalam Pancasila telah termuat masalah yang menjadi bahasan yang sifatnya ukhrowi dan duniawi. Pada aspek pertama, dengan sangat jelas sila pertama sangat bernuansa ukhrowi yang mengatakan ideologi untuk berketuhanan. Pernyataan ini secara langsung ‘memukul’ ideologi politik sekularisme. Pandangan seperti ini didukung oleh Bakri Syahid, seornang penulis Tafsir al-Huda. Dalam penafsiran Qs.  Yunus/10: 7, Bakri mengemukakan bahwa pandangan sekularis sangat bertentangan dengan ajaran agama dan ideologi Pancasila.

Sementara ada aspek kedua, pada sila-sila yang selanjutnya sangat kental dengan nuansa duniawi seperti tentang keadilan, kesejahteraan, dan kesetaraan terhadap umat manusia. Pandangan pada aspek kedua ini juga secara langsung telah menolak ideologi teokrasi. Dengan demikian, tawaran yang dikemukakan Gus Dur di atas berada dalam posisi tengah di antara keduanya (moderat).

Baca Juga  Kutemukan Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah dalam Satu Atap (2)

Pandangan politik Gus Dur di atas pada dasarnya tidak dapat dilepaskan dari latar belakang lingkungan sosial yang mengitarinya. Sebagaimana menurut teori sosiologi Karl Mannheim, pemikiran seseorang tidak dapat dilepaskan dari kondisi sosial yang melingkupinya. Menurut Mannheim, lingkunganlah yang membentuk jati diri serta pandangan pemikiran seseorang.

Di atas sudah penulis singgung bahwa Gus Dur adalah cucu dari pendiri ormas Nahdlatul Ulama Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari yang merupakan ormas paling disegani di mata dunia. Ormas ini dikenal dengan sikapnya yang tawasuth (moderat) dalam berbagai pandangan. Menurur ormas ini secara lebih dalam, pandangan moderasi dapat diterapkan dalam berbagai aspek meliputi teologi, tasawuf, fiqih, akhlaq, pergaulan antara golongan, bernegara dan yang lainnya. Dari lingkungan seperti inilah Gus Dur mendapat pelajaran sejak kecil sehingga yang mempengaruhi pemikiran politik moderatnya.

Pandangan moderat Gus Dur juga tidak dapat dilepaskan dari pergumulan masa kuliahnya di al-Azhar. Diketahui secara umum, al-Azhar merupakan universitas Islam yang pertama di dunia dan menjadi basis pemikir-pemikir yang moderat. Dari sinilah Gus Dur mendapat tranmisi keilmuan yang juga turut mempengaruhi cara pandangnya, termasuk pada dunia politik. Pandangan politik Gus Dur yang moderat di atas semakin meneguhkan ideologi Pancasila sebagai dasar perundang-undangan negara Indonesia, yang diyakini oleh segenap bangsa Indonesia dan seluruh warga negaranya.