Buku yang sedang saya baca belum lama ini adalah sebuah nasehat bagi anak-anak muda yang sedang bercita-cita menjadi saintis. Buku ini ditulis oleh seorang biolog Inggris yang sangat terkenal, Peter Medawar. Judulnya: “Advice To a Young Scientist”.
Yang menarik dari buku ini bukan sekedar isinya, tetapi juga kualitas bahasanya. Medawar menulis buku ini dengan bahasa Inggris yang elegan dan indah. Buku ini bukan sekedar “petuah saintis sepuh” yang diberikan kepada para generasi penerus, tetapi juga sebuah esai sastra yang memikat.
Bab terakhir dalam buku ini sangat menarik: “Scientific Meliorism versus Scientific Messianism”. Sains, demikian kata Medawar, memiliki watak yang khas: berusaha memecahkan masalah dan rahasia yang tersembunyi di alam yang maha luas ini secara “inkremental”, pelan-pelan, sedikit demi sedikit. Itulah yang oleh Medawar disebut “meliorisme”: memperbaiki sesuatu secara pelan-pelan, tidak grusa-grusu.
Sains bukanlah semacam “Messiah” atau Juru Selamat yang datang dengan semacam “mjölnir”, palu godam milik Thor yang abracadabra bisa mengungkap seluruh rahasia alam secara mendadak. Kerja sains adalah seperti kerja seorang pematung: dia menatah batu sedikit demi sedikit.
“Seorang saintis memiliki ciri khas utama, yaitu penuh harapan,” kata Medawar. Ini berbeda dengan para ilmuwan yang bekerja dalam bidang ilmu-ilmu kemanusiaan yang umumnya cenderung “pesimis”. Medawar menggunakan istilah “habitual despondency of the literary humanists”.
Implikasi sains secara moral-etis selaras dengan ajaran agama: yaitu adanya sikap optimisme, husnuzzann. Meskipun tidak semua orang beragama berhasil menerapkan ajaran ini dalam kehidupan sehari-hari.
Saya amat menikmati buku ini. Saya kira, para calon saintis di Indonesia sudah mengenal buku ini.